Faisal Basri, Asal Kritik dan Tak Bisa Kerja

By Admin


Oleh: Syarif Hadi 

TAK ada yang menyangkal bila pengamat ekonomi Faisal Basri sangat populer sebagai seorang pengeritik yang tajam. Bisa dikatakan bila hampir semua sektor publik pernah terkena ‘lidah’ tajamnya. Sebagai seorang pengamat dengan basis pendidikan ekonomi dan juga sebagai akademisi, bisa dimaklumi bila apa yang dilakukan Faisal Basri dengan segala kritikannya tersebut bisa diterima. Namun yang jadi permasalahan adalah apakah seluruh kritiknya dapat dijadikan rujukan –baik dari sisi akademik-ilmiah maupun dari sisi etika seorang intelektual? 

Pertanyaan seperti ini memang harus menjadi bagian dari introspeksi seorang Faisal Basri. Bagaimana tidak, bila dibentangkan jauh ke belakang, kehadiran Faisal Basri dalam ranah isu publik demikian sarat dengan tudingan dan bahkan telah mengarah ke fitnah. Dengan kata lain, hampir setiap hari, kerja seorang Faisal Basri hanya melakukan kritikan, tudingan dan mengumbar kesombongan intelektualnya. 

Bahkan dalam sebuah artikel yang ditulis Philip Ayus berjudul “Kesalahan Besar Faisal Basri” (Kompasiana, 2012) menyebutkan bila seorang Faisal Basri bisa dikatakan seorang penyebar ‘virus kebencian’. Seorang yang merasa intelektual namun sejatinya hanya seorang pembenci tulen. Hal ini terjadi sewaktu dia mencoba terjun ke dunia politik lewat Pemilihan Gubernur DKI dan kalah telak di sana dan lantas “ngambek” meminta para pemilihnya untuk golput dan tidak memilih dalam putaran kedua. 

Ternyata, seorang Faisal bukanlah “manusia setengah dewa” yang demikian sempurna. Dari cara dia ‘ngambek” dan menyimpan kebencian, bisa dilihat bahwa ternyata seorang Faisal Basri mengidap semacam manusia yang sangat haus dengan kekuasaan. Dengan terjun ke dunia politik pada Pilgub lalu, Faisal Basri juga ternyata sangat doyan kekuasaan dan cenderung tak puas-puasnya ingin menikmati popularitas. 

Hal yang juga menarik adalah ketika Faisal Basri terlibat polemik dengan sesama koleganya di tahun 2015, Drajat Wibowo terkait kebijakan pembangunan smelter dan Pilpres 2014. Saat itu Faisal Basri mengancam tidak akan meluluskan mahasiswa yang punya pendapat seperti Drajat. 

“Sebagai seorang akademisi, mestinya Bang Faisal berhati-hati membangun hubungan kausalitas antara fakta-fakta”, ucap Drajat seperti dikutip dari media teropongsenayan.com. Dengan kata lain, sosok seorang Faisal Basri tidak mampu lagi membedakan antara mana sisi perdebatan intelektualitas dan mana sisi emosional pribadi. Ada kecenderungan yang sangat besar memusuhi orang yang berbeda perdapat dan mencapur baurkan antara Fakta dan Fiksi, antara data dan kebencian. 

Kritikan paling anyar yang dilemparkannya adalah menuding pemerintahan Jokowi-JK melakukan kebijakan “ugal-ugalan”. Bahkan dalam kritikannya itu, dia meminta Menteri Keuangan sekaliber Sri Mulyani untuk mudur dari jabatan. Permintaan seperti ini justru membuka kedok Faisal Basri bahwa dia memang hanya mengandalkan kengawurannya dalam berpendapat. 

Dengan demikian, oleh beberapa kalangan, baik itu legislator, sesama akademisi, pejabat publik menilai Faisal basri sebagai sosok pengeritik yang tak bisa melakukan apa-apa selain kritik. Sosok yang demikian getol mencari kesalahan orang lain, hanya untuk menutupi kegagalannya dalam kerja. 

Pernah, Faisal Basri diamanahkan menduduki jabatan publik yang sangat penting. Ketika itu dia ditunjuk sebagai Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas. Namun disanalah dia menunjukkan jati diri sebenarnya bila dia memang tak bisa bekerja dan tak tahu apa-apa. Seorang Faisal yang oleh seorang pengamat kebijakan energi, Sofyano Zakaria dianggap hanya mampu mengumbar janji dan sangat tak becus bejerja ketika dia menjabat sebagai Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas (TRKM) seperti dikutip dari media energitoday.com. 

Kecenderungan asal main kritik, ngawur dan bahkan mengekspoitasi kebohongan memang cukup banyak ditunjukkan oleh Faisal Basri. Bahkan persoalan kretek yang sama sekali tak dipahaminya juga dikritiknya. Dalam sebuah surat terbuka dari komunitaskretek.or.id, Muhammad Yunus menulis dengan judul “Surat Terbuka Seorang Perokok untuk Faisal Basri yang Termasyur”, bisa menjadi titik terang bagaimana seorang Faisal Basri yang memang punya kecenderungan asal ngomong dan haus popularitas yang dibangun dengan mengeritik apapun bahkan pada persoalan yang tidak dipahaminya. 

“Pernahkah Bung meneliti apakah benar seorang perokok itu otomatis menjadi pemakai narkoba? Ini kan sama saja menuduh orang membeli golok (kategori senjata tajam) untuk dipakai membunuh seseorang, itu adalah kasuistik. Tidak bisa kita simpulkan setiap orang yang mempunyai golok adalah pembunuh”, demikian tulisan Muhammad Yunus.

Memang dalam sejarah kritik yang dilontarkan Faisal Basri, ujung-ujungnya selalu menganggap kebenaran menjadi hak prerogatifnya. Hal ini terjadi di semua sektor publik yang terkena tudingannya. 

Segudang daftar kritikannya bisa kita lacak dari berbagai media seperti: 

ESDM 

Satu hal yang paling mencolok dari bagaimana seorang Faisal Basri memang lebih kental hanya dengan kritikan dibanding dengan kerja, ketika dia diamanahkan menjadi Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas. Sebuah tugas dan kepercayaan besar dari pemerintah untuk mampu membenahi sektor Migas indonesia. 

Namun yang menonjol pada saat itu adalah show of force dengan berbicara ke sana-ke mari tanpa ada kejelasan hasil dan out put yang bisa membuktikan kinerjanya. Bahkan kalangan pekerja di PT Pertamina saat itu mengatakan bila Faisal Basri menuding bila Tim yang dipimpin Faisal sangat memble alias tak punya kapasitas sama sekali untuk memberantas mafia Migas dan tidak memiliki agenda rencana kerja yang jelas. 

“Tim Reformasi Tata Kelola Migas yang diketuai Faisal Basri tidak punya kapasitas apa-apa untuk memberantas mafia, Dia memble dan hanya pintar mengumbar kata” ujar Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Migas Indonesia, Faisal Yusra, seperti dikutip dari teropongsenayan.com. 

Dicurigai Antek Asing 

Tudingan dari Faisal Basri yang dianggap sangat ngawur dan berbau fitnah keji adalah ketika dia menuding ada keterlibatan Hatta Rajasa dalam kekacauan industri bauksit nasional. Ketua Komisi VI DPR yang saat itu dijabat Achmad Hafisz Tohir (Mei 2015) tidak menerima tudingan tersebut, “Itu Faisal sangat ngawur dan tak berdasar, saya mencurigai dia antek asing yang dikendalikan oleh asing untuk keruk dan menghabisi kekayaan negara”, kata Achmad Tohir. Bahkan Politisi PAN Tjatur Sapto Edy balik menuding Faisal membawa sebuah agenda politik dari luar dan memiliki motif tertentu dibalik tudingannya pada Hatta Rajasa. 

Hal yang senada juga dikatakan oleh Peneliti Senior Indonesia Public Institute (IP), Karyono Wibowo yang menyampaikan bila kerja Faisal Basri di Tim Reformasi hanyalah membuat gaduh dengan segala penyataannya yang kontroversial, 

“Seharusnya dia memahami dulu persoalan di Petral sebelum mengeluarkan pernyataan, sehingga sangat terkesan tidak konsisten. Mencla-mencle dan cuman bisa tuduh sana-tuduh sini”, ujar Karyono (tribunnews.com, 2014). 

Bahkan dalam indonesianreview.com mengangkat berita dengan judul Sudirman Said dan Faisal basri layak diinvestigasi terkait tak adanya langkah konkret untuk membongkar mafia migas dibalik Petral. Faisal dicurigai telah menjadi kolaborator pihak asing (Singapura) dan telah jauh terlibat dalam belitan mafia tersebut. 

BUMN 

Satu sektor lain yang menjadi sasaran kritik Faisal basri adalah Menteri BUMN, Rini Soemarno yang dianggapnya sebagai biang kerok permasalahan dari kekusutan BUMN selama ini. Bahkan Faisal dengan seenaknya mengatakan , Menteri Rini sumber masalah, kenapa tidak diganti? 

Pernyataan ini menurut seorang pengamat BUMN sebagai pernyataan kekanak-kanakan dari seorang yang tak paham letak dasar persoalan. “Main tuding, main ganti, hanya itu yang dipikirannya”, kata pengamat itu.

Kritiknya terhadap Menteri BUMN memang terkesan lucu apalagi mengingat dia tak pernah menjadi eksekutor yang berhasil, bahkan bisa dikatakan selalu gagal apabila diberi amanah, kata pengamat tersebut.

BPK 

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pun tidak luput dari tudingan Faisal Basri ketika menyebutkan bila ketua BPK Anwar Nasution (2009) melakukan politisasi kasus Bank Century dengan menyebarkan hasil pemeriksaan sementara yang proses pemeriksaannya belum selesai. 

Tudingan tersebut sangat disesalkan oleh BPK karena tidak benar dan cenderung menyesatkan . Main tuding dan cenderung melakukan “pembunuhan karakter” menjadi salah satu sifat kritikan seorang Faisal Basri. 

BPK dalam rilisnya tersebut meminta masyarakat untuk tidak terhasut oleh provokasi yang sangat menyesatkan dan justru lebih bersifat politis. Siapa lagi sang provokator dan penghasut itu klu bukan Faisal Basri.

Keuangan 

Kritikan teranyar dari Faisal Basri bahkan ditujukan kepada Presiden Jokowi dan kebijakan ekonominya yang dianggap “ugal-ugalan”. Faisal bahkan menganggap Menteri Sri Mulyani layak mundur. 

Padahal diketahui bersama prestasi Sri Mulyani yang demikian mencorong karena pernah menjabat salah seorang pejabat tinggi World Bank tidak ada apa-apanya dibanding prestasi Faisal Basri yang tak jelas dan cuma bisa mengeritik tapi tak bisa melakukan apa-apa ketika diberi amanah jabatan publik.

Wajarlah bila ada yang mengatakan bila Faisal Basri telah pikun, dan cenderung mengalami disorientasi intelektual dan emosional (*)

*Penulis adalah Pengamat Kebijakan Publik