Demokrasi Indonesia Terancam karena Koalisi ‘Gemuk’ Jokowi-Ma’ruf?

By Admin


nusakini.com - Jakarta - Wajah politik Indonesia besar kemungkinan akan berubah, jika Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto merapat ke pemerintah. Beberapa kalangan menilai `koalisi gemuk` yang dibentuk Presiden Joko Widodo dipandang menjadi `sinyal negatif` bagi demokrasi.

Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berkukuh di `barisan oposisi`, meski Prabowo Subiantoā€¯yang menjadi rival Presiden Joko Widodo dalam dua kali pemilihan presidenn menyatakan siap menjadi menteri di bawah komando Jokowi.

Praktis, saat ini semua partai yang meraup suara besar dalam pemilu lalu, mulai dari PDI-P, Golkar, Nasdem, PKB, PPP dan yang terbaru, Gerindra, bergabung di kubu koalisi pendukung Jokowi.

Pakar politik dari Universitas Indonesia (UI), Hurriyah, memandang dalam periode kedua pemerintahannya, Jokowi berfokus pada mengamankan dukungan elit politik sehingga menjadi pilihan strategis untuk merangkul sebanyak-banyaknya elite.

"Tapi ketika kita bicara apakah ini baik untuk politik Indonesia ke depan, untuk demokrasi kita, saya lihat ini menjadi sinyal yang sebenarnya negatif untuk perkembangan demokrasi kita ke depannya," ujar Hurriyah yang dilansir dari BBC News Indonesia, Selasa (22/10).

Dia menambahkan, ke depan, Jokowi berpotensi terkendala dalam mengelola "koalisi gemuk" ini karena sulitnya menggabungkan semua partai politik dalam gerbong yang sama.

Masing-masing partai dalam gerbong punya konflik sendiri dengan partai lain dan punya kepentingan yang berbeda, boleh jadi dalam banyak hal sikap politik mereka berbeda," kata Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia ini.

Namun, hal itu dibantah oleh mantan tenaga ahli Kantor Staf Presiden (KSP), Ali Mochtar Ngabalin, yang menyebut pengalaman yang dimiliki Jokowi selama lima tahun memerintah Indonesia menjadi modalnya untuk mengelola koalisi ini.

"Tantangan kita ke depan adalah tantangan yang membutuhkan kemampuan kinerja para pembantu presiden yang memiliki kemampuan eksekutor yang bagus, kemampuan untuk bisa memiliki kompetensi yang bagus," ujar

 Santernya kabar bahwa Partai Gerindra merapat ke kubu pemerintah terkonfirmasi setelah sang ketua partai, Prabowo Subianto, menyatakan kesanggupannya menjadi menteri di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo. 

Prabowo mengatakan Presiden Jokowi meminta untuk memperkuat kabinet dan keputusan Gerindra adalah "siap apabila diminta".

Drajad Wibobo, Wakil Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional (PAN) yang dalam pilpres lalu berada di gerbong yang sama dengan Gerindra sebagai pendukung pasangan Prabowo Subianto - Sandiaga Uno, menghormati pilihan politik Prabowo dan Gerindra.

Dia menyebut bahwa Prabowo "punya pertimbangan-pertimbangan sendiri kenapa sampai mengambil pilihan politik tersebut."

Namun Drajad memastikan partainya yang pada Kabinet Kerja Jilid I sempat bergabung dengan pemerintahan kali ini memutuskan berada di kubu oposisi.

"Di luar pemerintahan. Demokrasi yang baik di manapun juga perlu checks and balances," ujar Drajad.

Senada, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang selama ini berada di gerbong yang sama dengan Gerindra, berkukuh tetap berada di "barisan oposisi", seperti dijelaskan oleh Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera.

"Apapun keputusannya, PKS berharap kalaupun di oposisi tidak sendirian dan tetap berharap agar seluruh partai pendukung Prabowo-Sandi: Gerindra, Demokrat, PAN, PKS, Berkarya, bersatu dalam barisan oposisi," ujar Mardani.

Ketika ditanya alasan menjadi oposisi, dia mengatakan keputusan partai berada di kubu oposisi adalah untuk menjadi `kekuatan penyeimbang` pemerintah.

"Kekuatan penyeimbang di demokrasi itu sesuatu yang niscaya dan mesti ada karena kebijakan publik harus lahir dari dialektika: tesa, antitesa dan sintesa. Menjadi aneh kalau kita tidak memiliki kekuatan penyeimbang dan PKS ingin demokrasi kita sehat, oleh karena itu kami memerlukan barisan kami oposisi," ungkapnya.

"Akan aneh jika seluruh partai mendukung pemerintah karena siapa yang akan memerankan fungsi sebagai kekuatan penyeimbang," tegasnya kemudian.

Kekhawatiran yang sama diungkapkan Surya Paloh, Ketua Umum Partai Nasdem yang selama ini menjadi partai pendukung Jokowi, yang menyebut `demokrasi sudah selesai` jika `tidak ada yang beroposisi`.

Bahkan, dia sempat melontarkan sinyal siap jadi oposisi. Namun itu terbantahkan, ketika kader partainya, Syahrul Yasin Limpo, akhirnya dipanggil istana dan ditawari posisi menteri, kemarin.

"Nasdem kan selalu dengan komitmen yang kritis untuk kepentingan negara dan bangsa. Oleh karena itu mau oposisi atau bukan oposisi bukan itu yang jadi persoalan. Tapi Nasdem tetap akan kritis kepada siapa saja," ujarnya kepada para wartawan usai bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara, Selasa (22/10).

"Walaupun ada orangnya di Kabinet, Nasdem akan tetap kritis," cetusnya.

Sementara itu, Agus Harimurti, putra dari Ketua Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono yang sempat digadang-gadang jadi menteri, urung dipanggil ke istana di saat-saat terakhir menjelang pengumuman kabinet baru yang rencananya akan dilakukan Rabu (23/10) pagi.

Hingga kini, Demokrat belum bersikap terkait keputusan untuk bergabung dalam koalisi atau berada di luar pemerintahan.

Dengan Partai Gerindra kemungkinan besar merapat ke pemerintah, praktis, saat ini partai-partai yang meraup suara besar dalam pemilu lalu, mulai dari PDI-P, Golkar, Nasdem, PKB, PPP dan yang terbaru, Gerindra, bergabung di kubu koalisi pendukung Jokowi.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus mengatakan dengan demikian, parlemen akan dikuasai oleh partai-partai pendukung Presiden Joko Widodo dan hanya menyisakan PKS dan PAN di kubu oposisi.

"Potensi bahaya yang mungkin kita bisa bayangkan dari sekarang parlemen akan semakin sulit bisa secara objektif melakukan kontrol terhadap kerja pemerintah," ujar Lucius.

"Bagaimana berharap anggota DPR yang menjadi kader dari partai politik yang elitnya ada di istana itu kemudian akan melancarkan kontrol yang objektif untuk apa yang dilakukan elite yang ada di istana," katanya.

Senada, Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Hurriyah menjelaskan, ketika tidak ada kekuatan di luar koalisi pemerintahan, otomatis potensi untuk terjadinya oposisi yang aktif relatif kecil, walaupun fungsi saling mengawasi dan mengimbangi atau checks and balances antara Presiden dan DPR tetap berjalan.

Hurriyah mengungkapkan apa yang disebut sebagai `koalisi gemuk` ini menjadi sinyal buruk bagi demokrasi Indonesia.

"Ketika semua masuk ke pemerintahan, peluang pemerintah untuk mengamankan dukungan di DPR tentu saja menjadi sangat besar," kata dia.

"Ini yang berbahaya, karena sangat dimungkinkan misalnya terjadi antara pemerintah dan DPR saling kongkalikong karena mereka punya satu kepentingan yang sama, ada di gerbong yang sama," imbuh Hurriyah kemudian.

Dia melihat adanya tendensi pemerintahan Jokowi di periode kedua ini sangat menunjukkan keberpihakannya pada elit dan partai politik dan justru mengabaikan kebebasan sipil dan politik di masyarakat.

"Jadi kita kembali lagi ke otoritarianisme orde baru ketika DPR dan pemerintah itu menjadi satu kesatuan, DPR hanya menjadi alat stempel karena semuanya dikuasai oleh pemerintah," kata dia.

Lebih lanjut, Hurriyah menjelaskan dengan kondisi oposisi yang sangat lemah, pilihan yang tertinggal adalah mengandalkan oposisi ekstraparlementer, yakni kekuatan yang berasal dari masyarakat yang memiliki komitmen demokrasi dan secara konsisten mengontrol dan mengkritisi kebijakan-kebijakan pemerintah secara objektif.

Kelompok masyarakat yang sangat diharapkan menjadi kekuatan oposisi alternatif atau ekstra-parlementer di antaranya adalah para aktivis, mahasiswa, kelompok buruh, tani, nelayan, dan kelompok masyarakat sipil lainya.

Namun Hurriyah mengatakan ketika gerakan oposisi harus mengandalkan oposisi ekstra-parlementer, "Ini menjadi tidak normal".

"Karena tidak mungkin dalam dinamika kebijakan sepanjang lima tahun mendatang, rakyat harus memainkan fungsinya sebagai kekuatan ekstra-parlementer. Harusnya kekuatan ekstra-parlementer muncul sebagai moral force ketika ada situasi yang dianggap urgent ," kata dia.

Dia mencontohkan, gerakan oposisi ekstra-parlementer sudah terjadi ketika masyarakat bersatu menentang Rancangan Undang-Undang KPK, yang akhirnya disahkan, maupun RKUHP yang pembahasannya ditunda.

Dia memprediksi, gerakan oposisi ekstra-parlementer yang sama potensial akan terjadi kembali jika rancangan undang-undang yang gencar ditolak publik, seperti RKHUP, RUU Pertanahan, RUU Sumber Daya Air, RUU Masyarakat Adat dan RUU Perlindungan Data Pribadi, dibahas lagi pada masa periode ini.

"Jadi saya lihat sinyalnya sangat negatif ke arah demokrasi kita. Dan sebenarnya, kalau kita bicara sinyal demokrasi sudah beberapa tahun ini kita melihat penurunan drastis dalam indeks kebeasan sipil dan politik dan Indonesia," ungkap Hurriyah.

Namun, mantan tenaga ahli Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin, menyebut meski jumlah partai yang berada di luar pemerintah jauh lebih kecil dibanding koalisi gemuk Jokowi, dia memastikan, prinsip saling mengawasi dan mengimbangi atau antara Presiden dan DPR tetap berjalan.

"Persoalan yang paling mendasar itu apakah yang dilakukan DPR dan pemerintah itu bertentangan dengan hati nurani masyarakat. Adakah di seluruh dunia satu kebijakan pemerintah bisa memenuhi kebutuhan masyarakat? Tentu tidak," ujar Ngabalin.

"Maka dari itu demokrasi menjadi penting, ada satu pihak yang menerima, ada satu pihak yang menolak. Di antara kedua itu diambil keputusan terbaik untuk kepentingan bangsa dan negara. Normal-normal saja," imbuhnya.

Lebih jauh Ngabalin mengungkapkan alasan Prabowo merapat ke pemerintahan, "bukan sekedar memikirkan jabatan" semata, melainkan demi kepentingan bangsa dan negara di masa mendatang. (b/ma)