Daeng Malewa
By Admin
Cerpen Oleh Egha
Sore jelang malam, angin menyusup di sela pepohonan, menggoyang daun-daun kering yang enggan jatuh. Di pinggiran desa itu, lima bayangan menyusuri setapak sempit dengan langkah teratur, nyaris tanpa suara. Laskar bayangan, begitu mereka biasa menyebut dirinya. Tak memakai seragam, hanya ikat kepala merah pudar yang jadi penanda.
Mereka berhenti di depan sebuah rumah panggung dari kayu, tua dan berderit.
Dua anak kecil Alwi dan Marwah sedang bermain di halaman, tertawa kecil sambil saling lempar dedaunan. Cahaya senja menyinari wajah mereka yang polos dan belum tahu apa-apa tentang revolusi atau darah.
Di teras rumah, —duduk bersila, dua anak yg lebih tua Sultan dan Tadjuddin menyalin pelajaran dari buku tua, otak mereka bergulat dengan soal matematika.
Pemimpin laskar, Betta'e mendekat ke teras. Wajahnya kaku, namun matanya menyiratkan segan. Ia menunduk pada anak tertua--Sultan, seorang anak laki-laki jelang remaja dengan garis wajah mirip ayahnya.
"Maaf... Nak," ucapnya pelan. "Bisakah kau panggilkan Ayahmu?"
Sultan menoleh, matanya memicing, curiga. Ia menatap ke arah para lelaki asing yang berdiri di bawah cahaya jingga.
"Siapa kalian?" tanyanya.
"Kami... kawan lamanya."
Si sulung mengangguk ragu, lalu berdiri dan masuk ke dalam. Tak lama, pintu rumah terbuka, dan ayahnya Daeng Malewa muncul dengan langkah perlahan. Tubuhnya tegap dan tatapannya masih tegas seperti komandan yang tak pernah gentar. Ia melihat Betta'e dan mengenal wajah-wajah itu—anak-anak muda yang dulu pernah ia latih di hutan, kini kembali bukan sebagai prajuritnya, tapi sebagai penjemput.
"Aku sudah menebaknya sejak seminggu lalu," kata Daeng Malewa, dengan senyum tipis. "Ada yang gelisah ya?"
Betta'e menunduk. "Kami tak akan membahas itu. Tugas kami hanya menjemput."
Daeng Malewa berdiri tenang, ia menyingkap tirai jendela di samping pintu. Di halaman, dua anak bungsunya masih tertawa.
Di teras, anak pertamanya kini berdiri diam, menatap ayahnya dengan wajah bingung—tak tahu apakah harus bangga, khawatir, atau marah.
"Mereka tak tahu apa-apa, Betta'e"
"Kami akan pastikan mereka tetap selamat," jawab Betta'e. "Ini hanya soal kau dan kami."
Seorang perempuan muncul dari balik pintu. Langkahnya terburu, matanya merah, napasnya sesak. Istrinya, Kiddong Daeng Tamera —perempuan kuat yang selama ini setia menanti, memahami, dan menerima sunyi yang dibawa oleh seorang pejuang.
"Jangan pergi, Daeng..." ucapnya, pelan namun gemetar. Tangannya menggenggam lengan suaminya, seakan bisa menahan waktu.
Daeng Malewa menoleh, menatap wajah istrinya. Dalam sorot matanya, terlihat sesuatu yang jauh lebih berat dari kematian: penyesalan karena harus meninggalkan orang yang ia cintai.
"Kiddong," bisiknya lembut, seperti memanggil embun pagi, "aku tak bisa memilih. Aku hanya bisa menjaga agar anak-anak tetap tumbuh tanpa dibayangi rasa takut."
"Biarkan aku ikut. Biarkan aku mendampingimu, apa pun itu," jawab istrinya, memeluk Daeng Malewa dengan seluruh tubuhnya yang bergetar. "Jangan tinggalkan Aku. Aku hanya tahu, kau suamiku. Ayah anak-anakku. Rumahku."
Daeng Malewa membelai rambutnya perlahan, menahan suara gemetar yang nyaris pecah dari dadanya.
"Kalau aku tetap tinggal, mereka akan datang lagi. Mungkin lebih banyak. Mungkin dengan senjata. Dan saat itu... bukan aku saja yang mereka ambil."
Istrinya menangis dalam diam. Isaknya tertahan, tapi air matanya jatuh satu-satu, membasahi dada Daeng Malewa yang penuh bekas luka lama.
"Jangan jadikan aku janda, Daeng. Aku sudah menunggumu berbulan-bulan dari satu pertempuran ke pertempuran lainnya. Biarlah malam ini kau tinggal, sekali saja... untuk kami."
Daeng Malewa menarik wajah istrinya ke pelukannya, mengecup keningnya lama, sangat lama.
"Aku tidak pergi sebagai pengkhianat, Kiddong. Aku pergi sebagai lelaki yang mencintaimu, yang mencintai anak-anak kita, dan mencintai tanah air ini lebih dari hidupku sendiri."
Daeng Malewa mematung. Sejenak ia bimbang. Tapi kemudian ia berjalan perlahan ke arah teras. Anak-anaknya masih di sana. Empat pasang mata yang belum mengerti sepenuhnya makna kematian. Hanya mengenal ayah sebagai tokoh masyarakat, kuat, perhatian, tegas dan pelindung rumah.
Ia berlutut di hadapan anak pertamanya Sultan —remaja laki-laki yang kini matanya bergetar, tahu sesuatu sedang sangat salah. Daeng Malewa meraih pundaknya dengan kedua tangan.
"Jadilah kepala keluarga kalau Ayah tak ada. Jagalah Ibu dan adik-adikmu. Kau sudah tahu caranya."
Anak itu menggigit bibirnya, menahan tangis. Ia mengangguk kaku, lalu tiba-tiba memeluk ayahnya dengan erat, tubuhnya gemetar.
Lalu Daeng Malewa menoleh ke anak keduanya, Tadjuddin. Matanya sembab, tapi belum tumpah. “Kau yang paling bijak di rumah ini. Dengarkan Ibumu. Jangan biarkan rasa marah tumbuh karena ini semua. Maafkan Ayah…”
Tadjuddin memeluknya cepat dan kuat. “Ayah bukan pengecut, kan?” bisiknya pelan.
Daeng Malewa menggenggam tangannya. “Tidak. Ayah hanya mencintai terlalu dalam.”
Kemudian ia menunduk, menatap dua buah hati terakhirnya yang masih kecil. Si ketiga Alwi masih tertawa pelan, belum paham, hanya heran mengapa semua orang menangis. Dan si bungsu—anak perempuan-- Marwah usia lima tahun—berlari ke arah Daeng Malewa dan langsung meraih tubuh ayahnya.
Daeng Malewa mengangkatnya ke pelukan. Pelukan itu membuat tubuhnya lemas seketika. Tangisnya yang sejak tadi ditahan meledak tanpa suara—air matanya mengalir deras menuruni pipi dan jatuh di pundak kecil si bungsu.
“Ayah kenapa nangis?” tanya si kecil sambil menyentuh wajahnya.
Daeng Malewa mencium kening anak itu lama sekali. “Karena Ayah terlalu sayang… terlalu sayang sama kamu.”
Ia memeluk si bungsu erat-erat, seolah memindahkan seluruh kasih sayangnya ke dalam tubuh mungil itu, agar kelak si anak tumbuh dengan kekuatan cinta yang pernah dimiliki seorang ayah yang tak bisa kembali.
“Jangan pernah lupakan suara Ayah, ya. Kalau kau dengar suara angin malam, mungkin itu Ayah sedang nyanyi buat kamu.”
Istrinya berdiri tak jauh, menangis tertahan sambil memeluk kedua anak lain. Sementara itu, Daeng Malewa menyerahkan si bungsu kembali ke pelukan ibu, memandang mereka sekali lagi—satu per satu. Hening. Waktu seperti membeku.
“Kalau bisa,” katanya kepada Betta'e dengan suara yang telah berubah—parau, berat, hancur— “jangan di sini. Aku tak ingin rumah ini jadi kenangan buruk bagi keluargaku.”
Mereka pun berjalan masuk hutan. Bayangan mereka larut dalam gelap malam. Di bawah pohon tua, langkah mereka terhenti.
Embun masih menetes dari ujung dedaunan ketika lima orang laskar ini mendesaknya, di tengah-tengah mereka, Daeng Malewa dengan tangan terikat dibelakang, berdiri tegap tanpa rintihan. Wajahnya bersih, dagunya terangkat, dan matanya lurus menatap ke depan seakan maut bukan sesuatu yang baru baginya.
Betta’e menyandang senapan, matanya tajam, penuh keyakinan, namun tak bisa menyembunyikan luka batin yang mengendap, mantan buruh pabrik gula, kini laskar revolusi berpaham Marxis—pengikut Muso.
"Ini tempatnya," kata Betta’e singkat.
Daeng Malewa memandang sekeliling. Ia menarik napas panjang. “Indah. Bahkan tempat matiku lebih jujur dari penjara.”
Betta’e menghela napas. “Kau tahu mengapa kau harus mati.”
“Karena kita berbeda dalam cara mencintai tanah air,” jawab Daeng Malewa, tenang. “Aku dengan harapan, kau dengan amarah.”
“Bukan. Kau mati karena bangsawan sepertimu tak pernah benar-benar mengerti lapar.”
Daeng Malewa tersenyum tipis. “Aku tidak menyangkal darahku. Tapi aku tak duduk diam di balik tembok istana. Aku berjuang, Betta’e. Aku memilih untuk berseberangan dengan sahabatku Andi Pabenteng.”
“Dan tetap menolak menyerahkan tanahmu. Tetap menolak program Muso. Kami ingin dunia tanpa tuan.”
“Muso,” gumam Daeng Malewa. “Ia pernah berkata, ‘Republik ini harus dibersihkan dari kaum borjuis dan para pengkhianat revolusi.’ Tapi jangan lupa, Soekarno berkata, ‘Jangan engkau cabut revolusi ini dari akarnya sendiri, dari ruh bangsa ini.’ Kita terpecah, Betta’e. Padahal kita sama-sama berdarah dan berdebu demi merah putih.”
“Revolusi saat ini salah jalan, balas Betta’e. “Ini bukan revolusi proletariat tapi revolusi borjuis, hingga front ini harus dipimpin orang-orang proletariat.”
Betta’e menggenggam senapan lebih erat. Tangannya bergetar, entah oleh amarah atau ragu.
Daeng Malewa menatap tajam, “Izinkan aku shalat sebelum aku mati.”
“Tapi kau tak shalat Daeng Malewa,” sindir salah satu laskar lain. “Kau mainkan agama di ujung ajal?”
Daeng Malewa menoleh. “Tidak. Justru karena aku tahu waktuku tinggal sejenak dan kau tidak paham shalatku. Aku mengenal Tuhanku yang selama ini kusembah.”
Betta’e diam. Hujan mulai turun gerimis.
Betta’e memberi isyarat. Tali di tangan Daeng Malewa dilepas. Ia berdiri menghadap ke arah kiblat, tubuhnya gemetar dalam dingin dan lumpur. Tak ada sajadah. Hanya tanah dan keheningan.
Ia mengangkat tangan. “Allahu Akbar.”
Saat takbir itu keluar dari mulutnya, seolah seluruh alam menunduk bersama. Angin berhenti sebentar, seperti memberi ruang. Suara rintik hujan jatuh di daun-daun menjadi musik yang lembut, mendampingi tiap gerakan tubuhnya.
Rukuk, sujud, duduk. Setiap gerakan membawa hatinya lebih dalam ke sebuah tempat yang tak pernah ia singgahi selama hidupnya. Di sujud terakhir, wajahnya menempel pada tanah basah yang mengandung aroma tanah dan dedaunan mati. Tapi justru di sanalah ia merasa hidup.
Ia merasa kecil, namun bukan hina—melainkan utuh.
Tak ada lagi bangsawan, tak ada lagi pejuang, tak ada lagi pengkhianat atau pahlawan. Hanya manusia yang kembali pada bumi, pada langit, pada suara yang tak bersuara. Tubuhnya seakan larut dalam keheningan pepohonan, dalam nyanyian samar burung, dalam tetes air yang jatuh dari ujung daun.
Di dalam shalat itu, ia bukan lagi Daeng Malewa sosok pejuang. Ia adalah bagian dari segala sesuatu.
Usai salam, ia menarik napas panjang. Dingin. Hening. Tapi tidak sunyi. Seolah dunia baru saja menjawab doa yang tak sempat ia lafazkan.
Ia menoleh, lalu tersenyum kecil. “Terima kasih. Sekarang aku siap.”
Betta’e mengangkat senapan, namun matanya basah. “Kita seharusnya bertarung di meja, bukan begini…”
“Terlambat,” bisik Daeng Malewa. “Sejarah sudah retak.”
Betta’e mengangguk pelan. Dengan suara rendah, ia menghitung, “Satu… dua… tiga…”
Letusan menggema memecah pagi.
Burung hantu itu terbang menjauh.
Dan hutan kembali sunyi, seolah menyembunyikan satu lagi luka dari bangsa yang berjuang mencari dirinya sendiri. (*)