"Tribute To Niky Sumule"
By Admin
Foto : Niky Sumule
-Oleh Egha-
Senin pagi, 9 Juni 2025. Angin lembut berhembus menyusuri pepohonan yang rindang di Villa Djonggol Huize, Jonggol, Kabupaten Bogor. Daun-daun bergoyang pelan seolah tahu, hari ini bukan hari biasa. Hari ini, villa yang biasanya hanya menjadi tempat peristirahatan tenang, berubah menjadi panggung kecil bagi kenangan besar tentang seorang sahabat yang telah pergi: Niky Sumule.
Di bawah langit yang bersahabat, dengan rimbunan pohon sebagai atap alami dan tawa sahabat-sahabat lama sebagai musik latar, sebuah turnamen domino digelar. Tapi ini bukan sekadar kompetisi. Tidak ada hadiah mewah, tidak ada gengsi yang dipertaruhkan. Yang hadir di sini membawa sesuatu yang lebih dalam: kenangan, rasa sayang, dan rasa hormat.
Tema acara ini adalah "Tribute To Niky Sumule". Sebuah frasa yang mungkin terdengar sederhana, tapi menyimpan makna mendalam. Tribute bukan hanya penghormatan biasa — ini adalah upaya untuk menghidupkan kembali semangat seseorang melalui tindakan nyata. Dalam kasus ini, melalui pertandingan domino, tawa sahabat, dan kisah-kisah yang mengalir hangat dari hati ke hati.
Salah satu momen yang paling membekas datang dari Kohen, sang tuan rumah. Dengan suara bergetar dan senyum yang mencoba menutupi haru, ia bercerita tentang percakapan terakhirnya dengan Niky, hanya seminggu sebelum Niky pergi.
“Saya bilang ke Niky rencana turnamen ini, dan dia langsung jawab: ‘Kohen, jangan hari Minggu. Kami ibadah. Senin aja, supaya saya juga bisa pergi main domi ke tempatmu.’”
Ucapan itu, kini menjadi gema. Sebuah ironi yang menyentuh — bahwa Niky sudah ‘menjadwalkan’ kehadirannya dalam bentuk yang lain. Dan pagi itu, semua yang hadir percaya: dia memang datang. Bukan dalam wujud raga, tetapi dalam semangat yang merasuk di antara setiap langkah kartu yang dijatuhkan.
Turnamen berlangsung dalam suasana yang akrab. Aroma kopi hitam dan tawa ringan bercampur dengan suara kartu yang disusun dan dijentikkan ke meja. Tapi ada satu pertandingan yang menggelitik dalam turnamen ini.
Ketika pasangan Jati dan rekannya bertemu dengan pasangan Iqbal, 'tensi sedikit naik' — bukan karena persaingan, tapi karena satu momen kocak yang mengandung kenangan mendalam. Jati membuka permainan dengan kartu dua-satu. Seketika Iqbal tertawa dan berkata,
“Menurut Om Niky, kalau turun awal kartu dua-satu, orang itu gak bakal domi.”
Penonton dan pemain hening sejenak, lalu tawa meledak. Tapi Jati justru menoleh ke atas, menangkupkan tangan, dan dengan nada setengah serius, setengah bercanda, berkata:
“Om Niky, maafkan saya… kali ini, saya berharap ramalanmu salah.”
Momen itu lucu, tapi sekaligus menyayat. Karena justru dalam celotehan ringan seperti itulah Niky terasa sangat dekat. Seolah dia sedang duduk di sekitar pertandingan, tersenyum sambil memeluk secangkir kopi dan berkata, “Lihat kan, saya masih ada.”
Kematian dan Kenangan
Kematian sering kali dianggap sebagai titik akhir. Tapi bagi mereka yang hidup dalam kenangan, kematian bukan penutup, melainkan pintu pembuka — menuju pelestarian nilai, cinta, dan semangat.
Niky, dengan caranya sendiri, telah menjadi baik. Bukan hanya karena dia ramah, tapi karena dia hadir — betul-betul hadir — bagi orang-orang di sekelilingnya. Dan kini, dalam kematiannya, dia mengajarkan kita sesuatu yang jauh lebih abadi: bahwa hidup bisa terus berlangsung melalui cerita yang kita rawat, melalui tawa yang kita bagi, dan melalui permainan kecil seperti domino yang mendekatkan manusia satu sama lain.
Duka memang datang. Tapi duka adalah bentuk lain dari cinta yang tidak menemukan tempat pulang. Dalam kata-kata Ernest Hemingway, penulis besar yang begitu dalam menuliskan luka dan kehilangan:
“Setiap kehidupan manusia berakhir dengan cara yang sama. Hanya rincian tentang bagaimana ia hidup dan bagaimana ia mati yang membedakan satu orang dengan yang lain.”
Maka, ketika kita mengenang Niky, kita tidak hanya mengingat kepergiannya, tetapi cara ia hidup — dengan ketulusan, dengan tawa, dengan kehadiran. Kehidupan seperti itulah yang tak pernah benar-benar mati.
Sementara, Rumi — penyair dan sufi besar — menuturkan kematian bukan sebagai perpisahan, tetapi sebagai pertemuan. Ia menulis:
“Jangan tangisi kematianku. Aku bukan di bawah tanah ini. Aku adalah angin yang berhembus di antara pepohonan, cahaya pagi yang menyapa hangat, dan tawa yang kalian bagi saat saling mengenang.”
Maka saat daun-daun di Villa Djonggol Huize bergoyang pelan, dan saat celetukan tentang kartu dua-satu terdengar di sela tawa, barangkali itu adalah Niky — hadir bukan sebagai sosok, melainkan sebagai semangat yang tak bisa dikubur.
Akhir Kata: Sebuah Tribute Adalah Janji
Tribute To Niky Sumule bukanlah penutup, melainkan janji — bahwa mereka yang pernah membuat hidup kita lebih hangat takkan pernah benar-benar pergi. Mereka hanya pindah tempat, dari ruang fisik ke ruang batin.
Semoga turnamen ini terus berlanjut. Bukan hanya sebagai kompetisi, tetapi sebagai ritual kecil untuk terus menghidupkan seseorang yang telah lebih dulu pergi.
Karena seperti yang dikatakan oleh Albert Camus:
“Jangan berjalan di depanku, aku mungkin tidak mengikuti. Jangan berjalan di belakangku, aku mungkin tidak memimpin. Berjalanlah di sampingku, dan jadilah sahabatku.”
Dan hari ini, Om Niky, kamu tetap berjalan bersama kami — di setiap celetukan, di setiap kartu dua-satu, di setiap tawa yang meledak begitu tulus. (*)