Profile

Tengku Amir Hamzah Pangeran Indera Putera

Tempat Lahir : Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Timur

Tanggal Lahir : 29/02/191y


Description

Tengku Amir Hamzah yang bernama lengkap Tengku Amir Hamzah Pangeran Indera Putera adalah seorang sastrawan Indonesia angkatan Pujangga Baru. Nama Amir Hamzah diberikan oleh sang ayah, Tengku Muhammad Adil, karena kekagumannya kepada Hikayat Amir Hamzah. Dia lahir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Timur pada tanggal 28 Februari 1911 dalam lingkungan keluarga bangsawan Melayu (Kesultanan Langkat). Amir Hamzah mulai mengenyam pendidikan pada umur 5 tahun dengan bersekolah di Langkatsche School di Tanjung Pura pada 1916. Setamat dari Langkatsche School, Amir Hamzah melanjutkan pendidikannya di MULO, sekolah tinggi di Medan. Setahun kemudian, Amir Hamzah pindah ke Batavia (Jakarta) untuk melanjutkan sekolah di Christelijk MULO Menjangan dan lulus pada tahun 1927. Amir Hamzah kemudian melanjutkan studinya di AMS (Aglemenee Middelbare School), sekolah lanjutan tingkat atas di Solo, Jawa Tengah. Di sana dia mengambil disiplin ilmu pada Jurusan Sastra Timur. Amir Hamzah adalah seorang siswa yang memiliki kedisiplinan tinggi. Disiplin dan ketertiban itu nampak pula dari keadaan kamarnya. Segalanya serba beres, buku-bukunya rapih tersusun di atas rak, pakaian tidak tergantung di mana saja, dan sprei tempat tidurnya pun licin tidak kerisit kisut. Persis seperti kamar seorang gadis remaja. Selama mengenyam pendidikan di Solo, Amir Hamzah mulai mengasah minatnya pada sastra sekaligus obsesi kepenyairannya. Pada waktu-waktu itulah Amir Hamzah mulai menulis beberapa sajak pertamanya yang kemudian terangkum dalam antologi Buah Rindu yang terbit pada tahun 1943. Pada waktu tinggal di Solo, Amir Hamzah juga menjalin pertemanan dengan Armijn Pane dan Achdiat K Mihardja. Ketiganya sama-sama mengenyam pendidikan di AMS Solo, bahkan mereka satu kelas di sekolah itu. Di kemudian hari, ketiga orang ini mempunyai tempat tersendiri dalam ranah kesusastraan di Indonesia. Setelah menyelesaikan studinya di Solo, Amir Hamzah kembali ke Jakarta untuk melanjutkan studi ke Sekolah Hakim Tinggi pada awal tahun 1934. Semasa di Jakarta, rasa kebangsaan di dalam jiwa Amir Hamzah semakin kuat dan berpengaruh pada wataknya. Bersama beberapa orang rekannya di Perguruan Rakyat, termasuk Soemanang, Soegiarti, Sutan Takdir Alisyahbana, Armijn Pane, dan lainnya, Amir Hamzah menggagas penerbitan majalah Poedjangga Baroe. Amir Hamzah mulai menyiarkan sajak-sajak karyanya ketika masih tinggal di Solo. Di majalah Timboel yang diasuh Sanusi Pane, Amir Hamzah menyiarkan puisinya berjudul “Mabuk” dan “Sunyi” yang menandai debutnya di dunia kesusastraan Indonesia. Sejak saat itu, banyak sekali karya sastra yang dibuat oleh Amir Hamzah. Revolusi sosial yang meletus pada 3 Maret 1946 menjadi akhir bagi kehidupan Amir Hamzah. Dia menjadi salah satu korban penangkapan yang dilakukan oleh pasukan Pesindo. Kala itu pasukan Pesindo menangkapi sekitar 21 tokoh feodal termasuk di antaranya adalah Amir Hamzah pada 7 Maret 1946. Pada tanggal 20 Maret 1946, orang-orang yang ditangkap itu dihukum mati. Amir Hamzah wafat di Kuala Begumit dan dimakamkan di pemakaman Mesjid Azizi. Amir Hamzah kemudian diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 106/ tahun 1975, tanggal 3 November 1975 Hingga kematiannya, Amir Hamzah telah mewariskan 50 sajak asli, 77 sajak terjemahan, 18 prosa liris, 1 prosa liris terjemahan, 13 prosa, dan 1 prosa terjemahan. Jumlah keseluruhan karya itu adalah 160 tulisan. Jumlah karya tersebut masih ditambah dengan Setanggi Timur yang merupakan puisi terjemahan, dan terjemahan Bhagawat Gita. Dari jumlah itu, ada juga beberapa tulisan yang tidak sempat dipublikasikan.