Mengaku lebih senang menjadi peneliti karena tidak terikat dengan birokrasi, nama Taufik Abdullah dikenal ahli di bidangnya sebagai ahli sejarah. Menurutnya, seorang peneliti dituntut untuk berpegang teguh pada etika ilmiah. Karena itu, diperlukan kejujuran, sehingga tercapai integritas intelektual.
Lahir di Bukittinggi, 3 Januari 1936, Taufik memulai karirnya selepas lulus dari Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada (UGM) sebagai Kepala Bagian Umum Majalah Ilmu Pengetahuan Indonesia (Biro MIPI) pada tahun 1962-1963 yang selanjutnya mengantarkannya berkarir lebih jauh sebagai peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Menganggap sastra sangat dekat dengan sejarah, ayah dari tiga anak ini berpendapat bahwa antara sejarah dan sastra mempunyai hubungan kesinambungan yang saling berkaitan sehingga tidak bisa dipisahkan. Selain itu, suami dari Rasidah ini menambahkan bahwa sejarawan terkemuka pastilah seorang literer, seperti yang ia lakukan di samping kegiatannya sebagai peneliti. Baginya, novel memperkaya pengertian tentang dinamika dan sejarah.
Taufik sempat membagi cerita tentang perjalanan hidupnya yang merasa bahwa dirinya tidak pintar, namun selalu masuk kategori 'atas' dari sekolah dasar hingga lulus menjadi sarjana. Menurutnya, resep untuk menjadi seorang yang pandai adalah dengan banyak membaca. Ia sendiri pun mengakui bahwa kegemarannya pada dunia tulis menulis dan yang mengantarkannya menjadi seorang peneliti adalah melalui membaca. Ada sekitar puluhan karya tulisnya yang telah dipublikasikan dan dominasinya adalah tentang sejarah.
Menanggapi perkembangan sejarah di Indonesia, beberapa tahun lalu lulusan Universitas Cornell Amerika Serikat ini sempat mengutarakan pendapatnya bahwa spiral kebodohan masih terjadi di Indonesia sehingga terus menggerogoti kehidupan dan budaya yang diagungkan adiluhung. Lebih lanjut, spiral kebodohan ini terus membesar ketika tindakan kebodohan dibalas dengan kebodohan juga. Ia menjelaskan, upaya mencerdaskan kehidupan bangsa seperti semakin menjauh akibat banyak tindakan bodoh yang dilakukan dalam semua lapisan masyarakat, sehingga terus melingkar bagai spiral yang makin membesar setiap hari.
Mendapatkan banyak penghargaan di bidang pemikiran sejarah salah satunya Penghargaan Achmad Bakrie yang didapat pada 2008 lalu, Taufik mengaku bahwa rejeki yang diterimanya sebagian ia sisihkan untuk zakat sebesar 20%. Di tahun sebelumnya, penghargaan di bidang serupa diraih Romo Franz Magnis Suseno namun ditolak lantaran Bakrie adalah pemilik saham terbesar pada Lapindo sehingga dianggap tak pantas memberikan penghargaan tersebut. Namun, berbeda dengan Taufik yang menganggap bahwa apa yang diberikan padanya adalah rejeki yang telah diberikan Tuhan dan tidak boleh ditolak.