Tati Soemirah adalah seorang pemain bulu tangkis nasional yang populer mulai akhir tahun 1960-an sampai awal tahun 1980-an dan telah mengharumkan nama bangsa melalui sejumlah kejuaraan dunia yang dimenanginya. Meskipun demikian, Tati merupakan mantan atlet yang bernasib muram setelah ia pensiun dari bulu tangkis.
Pada masa kejayaan dulu, Tati selalu merebut emas di arena Pekan Olahraga Nasional (PON). Ia juga meraih peringkat kedua kejuaraan dunia bulu tangkis di Jakarta dan Kuala Lumpur, Malaysia. Prestasi tertingginya mengantarkan tim bulu tangkis tunggal putri merebut Piala Uber pada 1975.
Tahun 1982, Tati meninggalkan bulu tangkis. Ia kemudian menjadi pegawai di salah satu apotek di Jakarta karena pemiliknya adalah salah satu penggemar Tati. Namun pada 2005 lalu dia mengundurkan diri dari apotek tersebut. Untuk menyambung hidup, Tati membuka rental play station (PS) yang terletak di rumahnya di daerah Waru Doyong, Jatinegara. Kehidupan yang semakin sulit membuatnya terpaksa harus menjual vespa yang pernah ia beli dari hasil bermain bulu tangkis. Akan tetapi empat bulan setelah Tati keluar dari apotek, ia cukup beruntung karena mendapat bantuan sepeda motor baru dari Komunitas Bulu tangkis Indonesia (KBI).
Tati dapat dibilang sebagai salah satu mantan atlet yang diabaikan oleh pemerintah. Meskipun ia telah membela negara dengan berprestasi dan mendedikasikan hidupnya untuk bulu tangkis selama 24 tahun, namun sampai saat ini Tati masih merasakan hidup yang sangat pas-pasan. Perempuan yang masih melajang ini sempat melatih bulu tangkis di Pekayon, Bekasi. Sampai akhirnya ia diangkat sebagai pegawai oleh Rudy Hartono, juara All England delapan kali, untuk bekerja di Top One. Di perusahaan minyak pelumas itu Tati bekerja di Bagian Umum.
Anak sulung dari enam bersaudara ini tidak pernah menyesal menjadi atlet, meskipun keadaanya cukup memprihatinkan karena miskin di usia tua. Alasannya adalah karena ia memang berasal dari keluarga atlet. Ayahnya, MS Soetrisno, adalah seorang atlet, penjaga gawang dan petinju. Sang ayah pula yang mendorongnya menjadi atlet, walaupun kadang Tati selalu merasa sedih setiap kali melihat piala-piala yang pernah dimenangkannya. Kini Tati hanya bisa berharap bahwa pemerintah bisa lebih memperhatikan para atlet maupun mantan atlet yang telah berjasa pada negara.