Lahir sebagai anak ketiga dari empat bersaudara (Haida Nizar, Azwar Marah, Risman Marah, dan Dotty Suryati), Risman berasal dari keluarga tukang foto, karena di kampungnya, sejak jaman Belanda kakeknya Saleh Angku Pakamo, adalah seorang praktisi fotografi, mengelola sebuah studio foto keliling yang dibantu oleh kedua anaknya Dasima dan Nawazir.
Risman Marah mulai memotret sejak 1972. Kegelisahan dan kebosanan pada teknik fotografi membuat dia bereksperimen dengan fotografi buta yang melibatkan penyandang tunanetra guna memotret obyek-obyek yang biasa diabadikan oleh orang-orang dengan penglihatan. Maka, sejumlah penyandang tunanetra pun diajaknya memotret berbagai obyek. Khusus untuk itu, Risman memilih penyandang tunanetra sejak lahir. Sebab, mereka yang pernah melihat sudah tahu garis horizon sehingga saat diminta memotret, akan langsung mencari sumber suara dan memperkirakan komposisinya.
Ia ingin mendobrak kreativitas dunia fotografi Indonesia dengan teknik fotografi buta yang diciptakannya. Sedangkan, di dunia internasional, berdasarkan catatan Kompas, Anja Ligtenberg, fotografer profesional yang sempat bermukim di New York, Amerika Serikat, juga melakukan hal serupa dengan proyek bernama Seeing The Unseen yang lalu dijalankan pula oleh Skyway Foundation pada 2004-2006.