Diangkat menjadi raja karena menggantikan ayahnya yang telah meninggal akibat kolera, nama Si Singamangaradja XII bisa dikatakan lebih populer dibandingkan dengan raja-raja sebelumnya. Lahir di Bakkara, Tapanuli, 18 Februari 1845, Si Singamangaradja XII dikenal sebagai sosok yang menentang perbudakan. Ia bahkan kerap kali meminta penduduk kampung yang ia datangi untuk melepaskan tawanan atau budak yang memiliki hutang dan budak yang akan diperjualbelikan.
Pada bulan Juni 1876, Belanda mulai memasuki wilayah Tapanuli setelah sebelumnya telah berhasil menduduki sebagian besar wilayah Sumatera dan Aceh tiga tahun sebelumnya. Bersama dengan para raja yang lain, Si Singamangaradja XII pun mulai menyusun strategi dan merundingkan segala kemungkinan yang akan dan bisa saja terjadi kapan saja. Dalam rundingan tersebut, Si Singamangaradja XII mendapatkan hasil di antaranya adalah menyatakan perang terhadap Belanda, Zending agama tidak diganggu, dan menjalin kerjasama antara Batak dan Aceh untuk melawan Belanda bersama-sama.
Menyatakan kesiapannya dalam berperang, Si Singamangaradja XII lantas menyerang Belanda dengan pasukan yang dipimpinnya. Dalam perang pertama tersebut banyak penduduk yang tewas dan pasukan Si Singamangaradja XII berhasil dipukul mundur oleh Belanda. Namun, bukan Si Singamangaradja XII namanya jika ia patah arang, meski pasukan yang dipimpinnya terpukul mundur, ia lantas menyelamatkan diri bersama pasukan tersisa untuk menyusun perang selanjutnya.
Dalam perang berikutnya, Si Singamangaradja XII sempat terkena tembakan pada lengan atas, namun tak sampai membahayakan nyawanya. Meski begitu, kuda yang biasa ayah tiga anak ini tunggangi mati terkena tembakan. Seperti perang sebelumnya, banyak penduduk tewas karena peralatan yang tidak seimbang.
Mengerti bahwa kondisinya semakin rumit, Si Singamangaradja XII lantas mengambil jalan tengah untuk melakukan perang gerilya dan berpindah-pindah tempat. Pergerakan Si Singamangaradja XII ini dianggap Belanda justru semakin merepotkan, sehingga timbul pertempuran di mana raja Si Singamangaradja XII menjadi sasaran utamanya. Semakin terhimpit, Si Singamangaradja XII bersama keluarganya kemudian berpindah tempat menuju Dairi. Di sana, ia melakukan konsolidasi bersama dengan raja Aceh untuk berjuang bersama-sama dalam menaklukkan Belanda.
Bergabungnya dua suku membuat Belanda merasa harus siap setiap saat jika sewaktu-waktu pihak Si Singamangaradja XII menyerang markasnya. Penyerangan yang tiba-tiba pun kerap terjadi, sehingga Belanda menduga bahwa penyerangan ini ada di balik tangan Si Singamangaradja XII. Dalam upayanya, Belanda meminta Si Singamangaradja XII untuk melakukan damai dan mengangkat Si Singamangaradja XII sebagai sultan Batak. Tapi, tawaran tersebut ditolaknya. Hal inilah yang menyebabkan pertempuran antara Belanda dan rakyat kembali pecah setelah sempat vakum perang terbuka selama 21 tahun.
Dalam pertempuran sengit yang terjadi pada tahun 1907 tersebut, hampir sebagian besar keluarga Si Singamangaradja XII tewas dalam pertempuran. Tak terkecuali Si Singamangaradja XII yang gugur akibat tubuhnya penuh dengan luka tembak. Bagi Si Singamangaradja XII, gugur dalam peperangan lebih terhormat dibandingkan harus hidup membela Belanda. Akibat jasanya dalam membela tanah air tersebut, pemerintah menobatkan Si Singamangaradja XII sebagai Pahlawan Nasional Indonesia yang gugur di medan perang.