Bergabung dengan pribumi yang turut serta dalam membela tanah air di usia yang relatif muda, empat belas tahun, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I atau yang biasa dikenal dengan sebutan Pangeran Sambernyowo alias Raden Mas Said, mulai mengajak teman-temannya untuk bertempur dalam barisan rakyat.
Mengasah kemampuan berperang selama lebih kurang satu tahun bersama dengan pasukan lainnya, RM Said kemudian menyatakan siap untuk berperang melawan Belanda. Dalam latihannya tersebut, pria kelahiran Kartasuro, 7 April 1725 ini juga bergabung dengan Sunan Kuning atau Raden Mas Garendi. Penggabungan kekuatan tersebut dimulai dengan adanya pemberontakan laskar Tionghoa di Kartasuro pada 30 Juni 1742 yang mengakibatkan benteng keraton Kartasuro setinggi empat meter roboh. Pemberontakan tersebut bemula saat Belanda yang berkompromi dengan raja Mataram, Pakubuwono II, menindas rakyat Mataram dan warga etnis Tionghoa yang berakibat pada pengepungan kraton Kartasura dan pelarian diri sang raja.
Berhasil menggulingkan kraton Kartasura, RM Said kemudian membangun pertahanan di Randulawang. Di sini, ia bergabung kembali dengan Sunan Kuning untuk melawan Belanda yang sebelumnya juga bersekutu dengan Pangeran Mangkubumi, adik dari Pakubuwono II. Pertempuran ini dianggap tak seimbang lantaran Belanda dan Mangkubumi mengirimkan pasukan yang cukup besar hingga pasukan RM Said terdesak. Dalam pertempuran tersebut, RM Said berhasil meloloskan diri dan membentuk kekuatan baru.
Pada tahun 1746, meletuslah perang saudara yang disebut Perang Suksesi Jawa Ketiga di mana Pangeran Mangkubumi menggabungkan diri dengan RM Said untuk melawan Belanda dan Pakubuwono II. Di tengah pertempuran tersebut Pakubuwono jatuh sakit dan akhirnya meninggal sehingga kepemimpinan diserahkan sepenuhnya pada anaknya, Pakubuwono III.
Meski Pakubuwono II telah meninggal, namun perang saudara masih berlangsung. Belanda bahkan menjalankan politik "devide et impera" di mana dalam perjanjian tersebut wilayah Mataram dibagi menjadi dua yaitu kerajaan Surakarta dan Yogyakarta. Tak hanya itu, perjanjian tersebut nyatanya mampu membujuk Mangkubumi untuk melakukan perdamaian antara ketiga pihak yakni, Belanda, Pakubuwono III, dan Mangkubumi. Sedangkan RM Said bersikukuh untuk terus melawan Belanda dengan pasukannya yang masih tersisa.
Kewalahan. Itulah kalimat yang dilontarkan pasukan Belanda ketika mendapati serangkaian serangan RM Said yang selalu pulang dengan membawa kematian bagi pihak Belanda. Banyak pihak menyebut RM Said dengan sebutan Pangeran Sambernyowo lantaran banyaknya korban yang ditimbulkan saat perang. Beberapa sejarawan menyebutkan bahwa taktik yang digunakan oleh RM Said dalam peperangan sehingga disebut Pangeran Sambernyowo adalah dengan menggunakan taktik tiga cara yaitu dhedhemitan, weweludan, dan jejemblungan di mana taktik tersebut berarti menghindar dari musuh yang berjumlah besar, menyerang musuh ketika lengah dengan secepat-cepatnya, bunuh musuh sebanyak-banyaknya, setelah itu pergi dan menghilang.
Perang terus berkecamuk, hingga enam belas tahun berjalan, Pakubuwono III mengirimkan surat pada RM Said untuk menghentikan perlawanan serta mengajaknya turut serta membangun kembali kerajaan Surakarta yang telah rusak akibat peperangan. Dengan adanya perjanjian yang kemudian disebut perjanjian Salatiga, RM Said diangkat menjadi kepala pemerintahan dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunegoro I.
Berkat usahanya yang gigih melawan penjajah, pada tahun 1983 pemerintah memberikan gelar pahlawan nasional karena jasa-jasa kepahlawanannya serta mendapatkan penghargaan Bintang Mahaputra yang merupakan penghargaan tertinggi yang diberikan pemerintah terhadap orang yang telah berjasa pada negara.