Nama Lulut Sri Yuliani perlahan dikenal publik berkat kiprahnya dalam menciptakan batik mangrove, batik yang motifnya terinspirasi dari tanaman mangrove yang tumbuh subur di pesisir pantai Surabaya.
Awal mula Lulut Sri Yuliani bergelut dengan tanaman mangrove terjadi sejak awal tahun 2000. Sebelumnya ia merupakan seorang tenaga pengajar bahasa Jawa sekaligus menjabat sebagai kepala sekolah di SMK Panglima Sudirman dan SMPK Prapanca 2 Surabaya. Namun saat krisis moneter menyerang Indonesia dan muncul gelombang reformasi politik, ibu satu putri ini pun dilanda krisis hidup yang luar biasa. Tubuhnya lumpuh karena aliran darahnya tak normal. Ia pun menghentikan segala aktifitasnya.
Singkat cerita, mukjizat terjadi. Lulut dinyatakan sembuh. Sejak itulah dia bertekad membaktikan hidupnya untuk kepentingan masyarakat dan konservasi lingkungan. Di tahun 2007, sebagai Ketua Forum Peduli Lingkungan (FPL) Kecamatan Rungkut, dia total berdedikasi untuk lingkungan dan masyarakat. Dari sinilah dia berjumpa dengan tanaman mangrove sebagai tanaman unggulan di Rungkut.
Tak lama kemudian, Wali Kota Surabaya pada saat itu yakni Bambang DH memberinya sebuah buku tentang budidaya dan pemanfaatan mangrove. Mulai dari sinilah dia mulai menekuni dunia mangrove.
Selain batik mangrove, Lulut bersama UKM binaannya membuat aneka macam produk berbahan dasar mangrove. Ada Sirvega (sabun cair mangrove dan toga) yang khusus untuk mencuci kain batik. Ada juga Weruh Bekul, minuman penghangat dan pelancar peredaran darah dari bakau.
Sejak UNESO mengakui batik sebagai world heritage, kesibukan Lulut pun semakin bertambah. Ia harus wira wiri ke sejumlah instansi pemerintah dan swasta untuk mengurus mulai dari hak paten, pelatihan batik, persiapan pameran, hingga melayani batik pesanan konsumen.