Tercatat sebagai anggota DPR-RI komisi VI dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP), Iskandar D. Syaichu bisa dikatakan cukup aktif dalam menanggapi hal-hal yang sedang booming belakangan. Lihat saja saat ia berkomentar mengenai perlunya penyegaran dan revitalisasi manajemen di jajaran direksi BUMN termasuk mengaudit kinerja dan audit dengan tujuan tertentu. Komentar tersebut tentunya bukan tanpa alasan, hal tersebut didasarkan pada banyaknya laporan dari masyarakat terkait dugaan korupsi besar-besaran yang ada di PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni). Pihaknya juga akan meminta bantuan pada Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) untuk mengaudit PT Pelni untuk tujuan tertentu seperti pemeriksaan yang dilakukan dalam kasus Century.
Di lain berita, pria kelahiran Jakarta, 27 September 1965 ini mengungkapkan kekecewaannya atas putusan pemerintah yang menghapuskan bea masuk impor komoditi pangan dalam rangka penstabilan harga yang dinilai akan membunuh perekonomian petani Indonesia. Ia menilai bahwa kebijakan pemerintah tersebut adalah kebijakan yang tidak memikirkan jangka panjang, yakni nasib petani di desa-desa dan produsen lokal yang nantinya secara perlahan-lahan akan mematikan perekonomian petani lokal. Menurutnya, pemerintah seharusnya mengkonsultasikan putusannya terlebih dahulu dengan DPR sembari mendengarkan masukan dan saran dari petani dan pelaku bisnis di bidang ini tujuannya tentu saja agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan atas putusan tersebut. Jika hal tersebut akhirnya ditempuh pemerintah tanpa berkonsultasi terlebih dahulu, ia menganggap bahwa pemerintah melakukan pembantaian kepada petani dengan memberikan keleluasaan bagi komoditas asing.
Terkait dengan keanggotaannya sebagai anggota komisi VI yang membawahi bidang perdagangan, perindustrian, investasi, koperasi, UKM, BUMN, standarisasi nasional, baru-baru ini dalam rapat yang melibatkan komisi VI, Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, dan direksi PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) (Persero), ayah dari empat anak ini menyatakan ketidakpuasannya dengan rapat yang digelar pada 5 April 2012 lalu. Rapat tersebut terkait dengan penunjukkan BUMN di lingkungan Kementrian Perdagangan dalam mengimpor gula kasar. Ia beranggapan bahwa PT PPI merupakan BUMN yang cenderung merasa besar dan merasa rekam jejaknya lebih baik dibandingkan dengan PTPN sehingga PT PPI menyatakan mampu mengolah impor gula. Hal inilah yang dianggap suami dari Yulia Ellyda menyalahi aturan karena omset PT PPI Rp 2,25 triliun dengan keuntungan hanya Rp 24,2 miliar. Padahal penunjukkan PT PPI diambil setelah pemerintah melakukan rapat koordinasi dengan berbagai instansi terkait. Selain itu, PTPN juga telah menyatakan tidak mampu dalam mengolah impor gula karena hasil yang diberikan justru kurang layak impor dibandingkan yang dihasilkan oleh PT PPI.