Hartono Rekso Dharsono yang lebih dikenal dengan sapaan Pak Ton adalah seorang tokoh militer dan politik Indonesia. Hartono Rekso Dharsono lahir di Pekalongan, Jawa Tengah pada tanggal 10 Juni 1925. Dia adalah anak kesembilan dari 12 bersaudara putra R. Prajitno Rekso, mantan prajurit Wedana Paninggaran pekalongan. Pak Ton memulai karirnya di dunia militer dengan menjadi anggota Divisi Siliwangi sebagai seorang komandan regu, pleton dan kemudian komandan batalyon pada masa perang kemerdekaan (1946-1949).
Setelah itu, Pak Ton diangkat menjadi kepala staf brigade di Siliwangi dan kemudian ditugaskan di Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) dari tahun 1954 hingga tahun 1956. Pada tahun 1956, Pak Ton menerima kenaikan jabatan dengan menjadi Wakil Gubernur Akademi Militer Nasional hingga tahun 1959. Setahun kemudian, Pak Ton ditarik untuk bertugas sebagai Staf Kodam Siliwangi. Pada tahun 1965, Pak Ton yang sebelumnya mendapat tugas sebagai atase militer di London, Inggris diangkat menjadi Asisten III Panglima Angkatan Darat selama setahun. Di saat terjadi reformasi Orde Lama menjadi Orde Baru, Pak Ton yang waktu itu berpangkat Mayor Jenderal dipercaya menjadi Pangdam ke-9 Kodam VI Siliwangi (kini Kodam III) (1966-1969).
Sosok Pak Ton yang kerap tampil dengan baret hijau kebanggaannya mulai melontarkan gagasan-gagasan baru di tingkat nasional yang sasarannya adalah perombakan system politik Orde Lama. Pada tahun 1969, Pak Ton diangkat menjadi Duta Besar di Thailand. Tugas ini dijalaninya hingga 1972 di mana dia kemudian diangkat menjadi Duta Besar di Kamboja (1972-1975). Pak Ton juga pernah ditugaskan untuk menjadi Ketua Delegasi RI pada International Commission for Control and Supervision (ICCS) dalam upaya mengakhiri Perang Vietnam (1973-1975).
Ketika Sekretariat ASEAN dibentuk, Pak Ton menjadi Sekretaris Jenderal ASEAN yang pertama (1976-1978). Namun lima bulan sebelum jabatannya berakhir, pemerintah RI menarik dukungannya. Ada pihak menganggap Pak Ton telah menyimpang dari tugasnya sebab selaku SekJen ASEAN Pak Ton dinilai terlalu mencampuri urusan dalam negeri Indonesia, setelah dia mengkritik kebijakan pemerintah dalam pidatonya di upacara peringatan ke-10 Tritura pada bulan Februari 1978 di Bandung.
Pak Ton juga disinyalir ikut terlibat dalam kelompok Petisi 50, yaitu sekelompok tokoh politik, militer dan masyarakat yang tidak setuju dengan kebijakan-kebijakan Presiden Soeharto saat itu. Sejak saat itu banyak pintu lembaga pemerintahan yang tertutup baginya. Apalagi setelah Pangkopkamtib yang kala itu dijabat Laksamana (Purn) Sudomo mencapnya desiden.
Posisi berseberangan dengan penguasa tersebut kian melebar yang pada akhirnya memicu timbulnya pemikiran-pemikiran kritis menyoroti persoalan politik melalui diskusi-diskusi. Salah satunya adalah catatan keprihatinan atas tragedi berdarah di Tanjung Priok pada 12 September 1984 yang dikenal sebagai Lembaran Putih Tanjung Priok.
Pada tanggal 8 November 1984 Mantan Sekjen ASEAN ini memasuki babak baru sebagai tahanan politik, setelah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam sidangnya menjatuhkan vonis 10 tahun penjara, yang kemudian oleh Pengadilan Tinggi dikurangi menjadi 7 tahun setelah mantan Pangdam Siliwangi ini menyatakan banding. Hukuman 7 tahun itu lalu dikuatkan oleh Mahkamah Agung. Pak Ton sendiri dinyatakan bersalah karena melakukan delik politik dan tindak pidana subversi ketika ia menghadiri rapat-rapat setelah “Peristiwa Tanjung Priok” 1984.
Rapat-rapat itu dianggap berkaitan dengan peledakan bom di pusat perdagangan Glodok dan BCA tahun 1984. Sampai akhir sidang, Pak Ton tetap menolak dakwaan karena merasa tidak bersalah. Pak Ton menjalani hukuman di LP Cipinang hanya 5 tahun 10 bulan setelah akhirnya dinyatakan bebas pada hari Minggu 16 September 1990. Sejak keluar dari LP Cipinang, Pak Ton mengidap penyakit bronkitis hingga akhirnya dia divonis menderita kanker.
Setelah dua minggu dirawat di Rumah Sakit Advent Bandung, Pak Ton menghembuskan napasnya yang terakhir pada tanggal 5 Juni 1996. Jenazahnya dikebumikan di Tempat Pemakaman Umum Sirna Raga, Bandung, dengan upacara kemiliteran. H.R. Dharsono kehilangan haknya untuk dikebumikan di Taman Makam Pahlawan karena ia pernah dipenjarakan selama lebih dari satu tahun.