Chalid Muhammad lahir serta dibesarkan di bentang alam Kabupaten Parigi, Sulawesi Tengah yang berombak dan berpantai membuat dia benar-benar jatuh cinta pada kearifan alam yang selalu berinteraksi dengannya. Inilah yang menjadi dorongan kuat bagi Chalid menjadi seorang pejuang lingkungan.
Keterlibatannya dalam dunia aktivis lingkungan berawal saat dirinya menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Tadulako, Palu, Sulawesi Tengah. Saat itu dia aktif di sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan pada tahun 1989, Chalid bergabung dengan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Tengah. Setelah menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Hukum Universitas Tadulako dengan beasiswa dari pemerintah maka sebagai konsekuensinya Chalid diharuskan menjalani ikatan dinas, minimal dua tahun.
Kalau tidak Chalid harus mengembalikan dua kali lipat dana beasiswa yang diterimanya. Chalid saat itu diminta untuk harus menghabiskan masa ikatan dinasnya dengan menjadi pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Sultan Adam, Banjarmasin, Kalimantan Selatan (Kalsel). Selama menjadi pengajar di Banjarmasin, Chalid juga giat di berbagai kegiatan organisasi nonpemerintah (ornop) dan ikut menggerakkan Walhi Kalimantan Selatan.
Chalid yang saat itu terpanggil untuk mengadvokasi masyarakat korban pertambangan di Banjarmasin akhirnya memutuskan mempelajari lebih dalam ilmu hukum pertambangan. Dari sinilah pria kelahiran 1965 ini mulai intensif melakukan advokasi terhadap masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan konflik pertambangan. Pada tahun 1994, Chalid bergabung dengan Walhi di Jakarta.
Dia pun semakin larut dalam isu-isu lingkungan di tanah air. Pada tahun 1996, Chalid dipercaya untuk menjadi menjadi Koordinator Nasional Jaringan Tambang (Jatam) selama lima tahun (1999-2004). Di bawah koordinasinya, Jatam dikenal sangat galak terhadap perusahaan-perusahaan yang merusak atau mencemari lingkungan.
Pada tahun 2005, Chalid diangkat menjadi direktur eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menggantikan Longgena Ginting hingga tahun 2008. Bersama Walhi, Chalid kerapkali mengkritik dengan keras kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro lingkungan atau bertentangan dengan pembangunan berkelanjutan.
Organisasi nirlaba itu menghimpun 430 lembaga yang tersebar di 26 provinsi. Para pemimpin lembaga itu bersidang setiap tiga tahun sekali untuk mengevaluasi dan memilih direktur eksekutif Walhi yang hanya bisa dipilih dua kali. Pada 2008, seusai memimpin Walhi selama satu periode, kiprah Chalid di dunia lingkungan masih berlanjut dengan terpilihnya sebagai koordinator Institut Hijau Indonesia.
Lembaga ini sendiri merupakan lembaga yang bergerak untuk menegakkan perlawanan terhadap dehumanisasi dan penegakan keadilan di masyarakat utamanya dalam bidang sosio-ekologis. Jabatan itu tetap dia pegang hingga saat ini.