Tubuhnya yang renta tidak membuat Astaliah, maestro tari topeng yang telah berusia 119 tahun itu kehilangan cintanya akan beberapa topeng yang selalu menemaninya selama 100 tahun lebih.
Sang Maestro tari topeng Barikin yang tinggal di Desa Barikin RT. 2 RW. II Kecamatan Haruyan Kabupaten Hulu Sungai Tengah Kalimantan Selatan, kendati kini tidak lagi menari, namun beberapa masyarakat masih banyak mengunjunginya terutama yang ingin melaksanakan hajatan.
Menurut Rusli, dulu neneknya adalah penari topeng yang sering tampil dalam pesta pernikahan ataupun memberi selamat dalam acara sakral ’Manyanggar Banua’, juga acara hajatan serta pergelaran berupa hiburan dalam perayaan hari-hari besar daerah dan nasional.
Pementasan tari topeng berlangsung 15 hingga 30 menit, kata dia diiringi dengan "Karawitan Banjar" atau iringan kelompok musik khas Banjar yang menggunakan alat antara lain kanung, gong, babon, dawuh dan lainnya.
Jenis tarian yang dimainkan, ujar Rusli, tergantung pada karakter topeng yang dipakai, ada tujuh jenis topeng yang selalu dimainkan oleh Astaliah disesuaikan dengan tema acara.
Ketujuh topeng tersebut bernama Pamindu, Patih, Kalana, Gunung Sari, Pinambi, Temanggung, dan Panji.
Astaliah menjelaskan ada beberapa jenis tarian yang sering dimainkan antara lain Tapung Tali, Sakar Suhun dan Sasar Glatik, biasanya ia akan menari sesuai dengan irama yang dimainkan Karawitan Banjar.
Ketika Astaliah berumur 70 tahun, fisiknya masih memungkinkan untuk diajak berlenggak-lenggok menghibur masyarakat, namun sekarang di usianya yang di atas 100 tahun, sudah tidak memungkinkan lagi baginya untuk bergerak dengan lincah dan gemulai.
"Seandainya masih memungkinkan ingin rasanya tetap bisa menari, tapi bagaimana untuk bergerak saja sekarang sudah mulai susah," katanya.
Menurut Astaliah, tidak bisa menari tidaklah membuatnya sedih, karena dia sangat mahfum bahwa ada waktunya manusia harus berhenti melakukan aktivitas yang telah dilakoninya.
Hanya saja, yang membuat dia kini tidak tenang, hingga kini belum ada penerus yang bisa menguasai ketujuh tari topeng yang dilakoninya mulai dari umur 15 tahun itu.
Bahkan anak perempuannya, Radiah, yang telah dipersiapkan untuk mewarisi seni budaya yang membesarkan nama Astaliah, kini tidak bersedia lagi menari dengan alasan telah bersuamikan seorang ulama.
Begitu juga cucunya, Wahyudin, yang kini menjadi pengajar tari yang cukup terkemuka di Palangkaraya Kalimantan Tengah, memilih mengembangkan seni tari secara umum atau nasional.
Walaupun sudah tidak menari, Astaliah tetap rajin memelihara tujuh buah topengnya dengan pemeliharaan khusus antara lain, setiap malam Jumat dia menyediakan kopi manis, kopi pahit, air kinca, air putih, telor ayam dan itik dan dua piring nasi ketan.
Pemberian sesajen tersebut, sebagai bentuk pemeliharaan topeng-topeng yang usianya lebih dari 200 tahun dengan harapan tidak mengganggu keluar dan keturunannya.
Dengan alasan tersebut membuat Astaliah belum bisa mempercayakan topeng-topeng tersebut ke Museum Daerah Banjarbaru.
Berkat kepiawaiannya menari, Gubernur Kalimantan Selatan telah menganugerahkan dua kali penghargaan yaitu Penghargaan Seniman Perintis "Tari Topeng Banjar" Lintas Generasi pada tanggal 20 April 2009.
Selanjutnya, Penghargaan Borneo Award ke-4 untuk Penari Topeng yang digelar oleh Yayasan Mendulang Menuju Dunia Gemilang pada tanggal 16 April 2011, beserta bantuan tali asih dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan.