Asrul Sani adalah seorang sastrawan dan sutradara film ternama asal Indonesia. Tahun 2000 Asrul menerima penghargaan Bintang Mahaputra dari Pemerintah RI.
Beliau merupakan anak bungsu dari tiga orang bersaudara. Ayahnya, Sultan Marah Sani Syair Alamsyah Yang Dipertuan Padang Nunang Rao Mapat Tunggul Mapat Cacang, merupakan kepala adat Minangkabau di daerahnya. Ibunya Nuraini binti Itam Nasution, adalah seorang keturunan Mandailing.
Bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin, ia mendirikan "Gelanggang Seniman" (1946) dan secara bersama-sama pula menjadi redaktur "Gelanggang" dalam warta sepekan Siasat. Selain itu, Asrul pun pernah menjadi redaktur majalah Pujangga Baru, Gema Suasana (kemudian Gema), Gelanggang (1966-1967), dan terakhir sebagai pemimpin umum Citra Film (1981-1982).
Asrul pernah menjadi Direktur Akademi Teater Nasional Indonesia, Ketua Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi), anggota Badan Sensor Film, Ketua Dewan Kesenian Jakarta, anggota Dewan Film Indonesia, dan anggota Akademi Jakarta.
Selain dikenal sebagai penyair dan sutradara film, Asrul juga merupakan seorang politisi. Sejak tahun 1966 hingga 1971, dia duduk di parlemen mewakili Partai Nahdlatul Ulama, dan berlanjut hingga tahun 1982 mewakili Partai Persatuan Pembangunan.
Dia adalah pelaku terpenting sejarah kebudayaan modern Indonesia. Jika Indonesia lebih mengenal Chairil Anwar sebagai penyair paling legendaris milik bangsa, maka adalah Asrul Sani, Chairil Anwar, dan Rivai Apin yang mengumpulkan karya puisi bersama-sama berjudul “Tiga Menguak Takdir” yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku di tahun 1950. Mereka bertiga bukan hanya menjadi pendiri “Gelanggang Seniman Merdeka”, malahan didaulat menjadi tokoh pelopor sastrawan Angkatan 45.
Dalam antologi “Tiga Menguak Takdir” Asrul Sani tak kurang menyumbangkan delapan puisi, kecuali puisi berjudul “Surat dari Ibu”. Sejak puisi “Anak Laut” yang dimuat di Majalah “Siasat” No. 54, II, 1948 hingga terbitnya antologi “Tiga Menguak Takdir” tadi, Asrul Sani tak kurang menghasilkan 19 puisi dan lima buah cerpen. Kemudian, semenjak antologi terbit hingga ke tahun 1959 ia antara lain kembali menghasilkan tujuh buah karya puisi, dua di antaranya dimuat dalam “Tiga Menguak Takdir”, lalu enam buah cerpen, enam terjemahan puisi, dan tiga terjemahan drama. Puisi-puisi karya Asrul Sani antara lain dimuat di majalah “Siasat”, “Mimbar Indonesia”, dan “Zenith”.
Film pertama yang disutradarai Asrul Sani adalah “Titian Serambut Dibelah Tudjuh” pada tahun 1959. Dan, ia mulai mencapai kematangan ketika sebuah film karyanya “Apa yang Kau Cari Palupi” terpilih sebagai film terbaik pada Festival Film Asia pada tahun 1970. Karya besar film lainnya adalah “Monumen”, “Kejarlah Daku Kau Kutangkap”, “Naga Bonar”,. “Pagar Kawat Berduri”, “Salah Asuhan”, “Para Perintis Kemerdekaan”, “Kemelut Hidup”, dan lain-lain. Tak kurang enam piala citra berhasil dia sabet, disamping beberapa kali masuk nominasi. Alam pikir yang ada adalah, sebuah film jika dinominasikan saja sudah pertanda baik maka apabila hingga enam kali memenangkan piala citra maka sineasnya bukan lagi sebatas baik melainkan dia pantas dinobatkan sebagai tokoh perfilman.
Itulah Asrul Sani, yang pada hari Minggu, 11 Januari 2004 tepat pukul 22.15 WIB dengan tenang tepat di pelukan Mutiara Sani (56 tahun) istrinya meninggal dunia pada usia 76 tahun karena usia tua. Dia meninggal setelah digantikan popoknya oleh Mutiara, diberikan obat, dan dibaringkan. Sebagaimana kematian orang percaya, Asrul Sani menjelang menit dan detik kematiannya, usai dibaringkan tiba-tiba dia seperti cegukan, lalu kepalanya terangkat, dan sebelum menutup mata untuk selamanya terpejam dia masih sempat mencium pipi Mutiara Sani, yang juga aktris film layar lebar dan sinetron.
Asrul Sani meninggalkan tiga putra dan tiga putri serta enam cucu, serta istri pertama Siti Nuraini yang diceraikannya dan istri kedua Mutiara Sani Sarumpaet. Semenjak menjalani operasi tulang pinggul enam bulan lalu, hingga pernah dirawat di RS Tebet, Jakarta Selatan, kesehatan Asrul Sani mulai menurun. Dia adalah putra bungsu dari tiga bersaudara. Ayahnya, Sultan Marah Sani Syair Alamsyah, Yang Dipertuan Rao Mapattunggal Mapatcancang adalah raja adat di daerahnya.
Selama hidupnya Asrul Sani hanya mendedikasikan dirinya pada seni dan sastra. Sebagai penerima penghargaan Bintang Mahaputra Utama dari Pemerintah RI pada tahun 2000 lalu, dia berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Namun dia berpesan ke istrinya untuk hanya dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Menteng Pulo, Jakarta Selatan dengan alasan, sambil bercanda tentunya ke Mutiara Sani setahun sebelumnya, ‘masak sampai detik terakhir, kita masih mau diatur negara’.