Prof. Dr. dr. Arry Harryanto Reksodiputro merupakan satu dari sedikit spesialis di Indonesia yang menekuni salah satu bidang paling langka dalam dunia kedokteran, penyakit dalam. Dokter yang sehari-harinya bekerja sebagai Kasubag Hematologi-Onkologi Medis, Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia (FK-UI), Jakarta, ini dikenal sangat supel dan ramah, serta penuh perhatian. Perhatian dan keramahan Reksodiputro sebagai tenaga medis profesional lebih berasal dari sikap atau pandangan hidupnya. Salah satu dokter paling senior di Indonesia ini memang meletakkan kepentingan masyarakat, dan para pasiennya, sejajar dengan kepentingan lain, termasuk profesi dan keluarga.
Dokter Arry, begitu para pasien biasa memanggil pakar Penyakit Dalam alumni FK - UI pada 1963 ini, juga termasuk satu dari sedikit profesional medis yang menekuni salah satu penyakit paling ditakuti masyarakat modern, AIDS. Pertama kali kasus penyakit ini meruak pada sekitar 80-an, Prof. Reksodiputro sudah terlihat sibuk bekerja di laboratoriumnya untuk meneliti virus peluruh sistem imunitas tubuh tersebut.
Dari sisi personal, anak dari (alm.) Mr. Sumitro Reksodiputro (dulu adalah Sekjen Departemen P & K) memang menghadirkan kualitas karakter yang jujur, konsisten, sederhana dan berwibawa. Bangunan karakter ini tidak luput dari pengalaman yang masa kecil yang ikut membangun kepribadian pakar medis pengagum John F. Kennedy, Nehru, Bung Karno dan Bung Hatta ini. Sempat merasakan masuk Sekolah Rakyat (SR) di Cikini, Jakarta, karena posisi sang ayah yang cukup terhormat di kalangan Departemen P & K (sekarang Kemendikbud) dokter yang hobi jogging dan berenang ini sering terkenang masa kanak-kanaknya yang berhadapan langsung dengan suasana peperangan. Reksodiputro kecil dan teman-temannya sering dipaksa sembunyi di lubang perlindungan sembari menggigit karet, selain untuk mencegah keluar suara sehingga ketahuan tentara musuh, juga untuk mengatasi rasa takut.
Dari sisi seorang profesional medis, Prof. Reksodiputro memiliki segudang pengalaman dan pelatihan terkait bidang kepakarannya dalam dunia kedokteran. Setelah menyelesaikan pendidikan medis tingkat sarjana pada 1963, Reksodiputro memperoleh bea siswa untuk mengikuti ikatan dinas selama 6 tahun sebagai syarat pengangkatan pegawai negeri sekaligus mengambil spesialis bidang Penyakit Dalam. Usai memenuhi persyaratan tersebut, Reksodiputro memperoleh kesempatan mengikuti pendidikan hematologi di Hospital St. Louis, L’Universite de Paris, Perancis, pada 1969 hingga 1970. Delapan tahun kemudian, ia kembali mengikuti pelatihan medis lainnya (semacam pelatihan pascasarjana), kali ini di St. Bartholomew’s Hospital, London, Inggeris.
Selang setahun kemudian, suami Anggraeni Suryanatamiharja ini kembali ke Perancis untuk mengikuti pelatihan Hospital Pitie-Salpetniere, Paris. Pada 1984, Reksodiputro berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul 'Limfoma Non-Hodgkin dan Saran Mengenai Alternatif Penatalaksanannya di Indonesia'. Tujuh tahun kemudian, salah satu pakar penanggulangan penyakit kanker paling senior di Indonesia ini mengucapkan pidato guru besar dengan judul 'Onkologi Medis Masa Lampau, Kini dan Masa Mendatang: Peranannya dalam Menunjang Strategi Penanggulangan Kanker secara Terpadu'.
Mengagumi sosok 'soko-guru' kedokteran lain seperti Prof. Sutomo Tjokronegoro, Prof. Djuned Pusponegoro dan Prof. Slamet Imam Santoso, mantan Tim Dokter Ahli Presiden RI (saat itu masih dijabat Soeharto) ini mengidealkan adanya semacam sistem terpadu demi menanggulangi keganasan penyakit kanker di Indonesia. Salah satu pendiri Rumah Sakit Dharmais ini juga memberikan wejangan sangat bijak kepada masyarakat terkait kesalah-pahaman yang sering terjadi: dokter hebat jika alat canggih. Selanjutnya, salah satu 'begawan' kedokteran Indonesia ini menyebut bahwa sekitar 75% penyakit di Indonesia masih sangat bisa dideteksi cukup dengan stetoskop.
Dan benar saja, bagi seorang profesional medis senior sekelas Prof. Arry Reksodiputro, dokter profesional memang bukan yang dilengkapi alat canggih, namun mampu menggunakan alat tepat guna untuk mengobati pasiennya. Akan tetapi, sangat disayangkan bahwa masyarakat masih lebih cenderung meminta perawatan dengan alat canggih dan mahal. Atas kondisi inilah Reksodiputro tidak henti-hentinya menyerukan perlunya pendidikan masyarakat tentang kesehatan yang tepat dan benar.