Arman Idris adalah seorang tokoh seniman dari Pagar Alam, Sumatera Selatan yang konsisten melestarikan budaya daerahnya. Ia adalah seorang ayah dari empat anak dan kakek dari enam cucu. Arman menampilkan kesenian guritan untuk pengambilan gambar liputan multimedia untuk media Kompas dan Kompas TV di kaki bukit Gunung Dempo. Kawasan yang masih termasuk wilayah Pagar Alam.
Semangat Arman untuk memopulerkan guritan sangat jelas. Arman tidak hanya membawa sebuah gitar, melainkan dia juga membawa pakaian daerah yang sering digunakan saat manggung di dalam tas anyaman daun lontar khas Pagar Alam.
Arman memiliki dialek yang khas dan orisinal dalam mendeklamasikan syair-syair tentang Kota Pagar Alam. Meskipun hanya tampil di kalangan terbatas, namun kejernihan suara Arman dari kesenian guritan Besemah mencerminkan keseriusannya dan memukau para pendengarnya.
Keseriusan Arman setiap tampil melantunkan guritan sama seperti saat memperkenalkan kesenian itu kepada para siswa sekolah menengah atas (SMA) di kotanya. Hasilnya, siswa di beberapa sekolah sudah membentuk sanggar yang aktif berlatih kesenian guritan. Sudah tak terhitung berapa banyak siswa-siswa sekolah yang berguru ilmu kesenian guritan pada Arman. Berkat kegigihannya mensosialisasikan kesenian guriitan, sudah lebih dari 20 sekolah di Pagar Alam yang berminat pada kesenian ini.
Isi dari syair guritan mengandung banyak falsafah atau sejarah yang dikemas dalam bentuk sastra. Guritan biasanya ditembangkan pada acara tertentu selama semalam suntuk, dalam suasana duka atau suka. Misalnya, saat musibah atau usai panen. Tujuannya adalah untuk menghibur keluarga yang mendapat musibah atau sekadar hiburan pada malam bulan purnama.
Kecintaan Arman terhadap guritan bermula dari masa mudanya. Saat itu ia sering mengikuti lomba gitar tunggal, alias bertutur sambil bermain gitar. Ini merupakan salah satu kesenian yang populer di Sumsel. Arman berlomba dengan modal keahlian bermain gitar yang sudah dikuasainya sejak duduk di bangku kelas dua sekolah dasar.
Keberhasilan Arman dalam menjuarai berbagai lomba di Pagar Alam, Kabupaten Lahat, hingga Palembang membuat ia menyadari bahwa berkesenian tak sekadar untuk mendapatkan piagam sebagai sang juara. Kesenian ini jugalah yang mengajarkan padanya bahwa kesenian itu bisa hidup dan bertahan di tengah masyarakat.
Pada tahun 2003, Arman mulai sibuk memenuhi undangan pertunjukan secara komersial. Arman semakin menyadari sulitnya menemukan penerus guritan, apalagi mempertahankan kesenian tersebut. Menurut Arman, seniman guritan harus mengetahui segala hal yang berkaitan dengan kondisi masyarakat. Dengan demikian Arman juga mesti punya waktu menonton televisi, mendengarkan radio, membaca koran, sampai ngobrol di warung kopi.
Arman telah memperlihatkan kepiawaian dalam seni yang menuntut penciptaan syair secara spontan, dengan gaya bertuturnya yang mengalir tatkala bicara soal Pagar Alam. Semua pertanyaan tentang kota yang dipagari Bukit Barisan itu, dapat dijawabnya dengan lengkap. Ia terbiasa bercerita panjang karena syair guritan harus dikarang dengan cepat. ”Biasanya kalau ada undangan untuk tampil, saya baru diberitahu tuan rumah saat di lokasi. Jadi, saya harus sesuaikan syair guritan dengan kebutuhan penonton pas menjelang naik panggung.”
Membuat syair panjang secara spontan bukan berarti mengabaikan daya tarik dari isi ceritanya. Saat Arman diminta tampil di panggung pilkada sewaktu Alex Noerdin, yang kini Gubernur Sumsel, berkampanye di Pagar Alam tahun 2008, para penontonnya terpukau melihat penampilan Arman dan bahkan meminta lebih banyak lagi syairnya.
Kenangan itu membuat Arman optimistis bahwa warga suku Besemah di Pagar Alam masih antusias mempertahankan kesenian guritan. Itulah yang membuat Arman tetap setia berjuang untuk guritan, mewujudkan mimpinya membangun sanggar tempat melatih anak-anak muda.