Awalnya Arist Merdeka Sirait dikenal sebagai aktivis buruh. Beliau aktif di organisasi-organisasi buruh dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Keprihatinannya pada anak-anak yang harus bekerja dan diperlakukan tidak layak membuat Arist mengubah haluan perjuangannya. Di tahun 1981 Arist menjadi aktivis buruh anak dan lima tahun berikutnya, di tahun 1986 Arist membentuk yayasan perlindungan buruh.
Yayasan ini menyediakan pendidikan untuk pekerja usia anak-anak yang harus bekerja dengan kondisi memprihatinkan. Tahun 1987 Arist mendirikan Yayasan Komite Pendidikan Anak Kreatif (Kompak) Indonesia, tempat buruh anak bisa mendapatkan bekal kepribadian melalui pendidikan toleransi, demokrasi dan baca tulis.
Perhatian atas pendidikan anak sebenarnya sudah diawali oleh ayah Arist. Saat kecil, Arist dan keluarganya tinggal di daerah perkebunan Pematang Siantar, Sumatera Utara. Anak-anak banyak bekerja sebagai buruh perkebunan dan karena tidak ada biaya, mereka tidak melanjutkan sekolah. Ayah Arist yang berprofesi sebagai penjahit membuat sekolah di area perkebunan tersebut bersama sejumlah teman dan sang ayah menjadi koordinator guru untuk pendidikan murah tersebut.
Pada tahun 1998, bersama Seto Mulyadi, Arist dan beberapa aktivis lain mendirikan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA). Walaupun telah mengakui konvensi PBB tentang hak anak di tahun 1990, sebelum tahun 1998 Indonesia memang masih belum memiliki media khusus untuk perlindungan anak.
Dengan Kak Seto menjadi Ketua Umum, Arist menjadi Sekretaris Jenderal Komas PA di tahun 1998 tersebut. Setelah menjabat selama 12 tahun dengan tiga periode pemilihan, Arist terpilih sebagai Ketua Komnas PA menggantikan kak Seto yang diangkat menjadi Ketua Dewan Konsultatif Nasional.
Tidak hanya menangani masalah anak yang terjadi di masyarakat, Arist aktif mengkritisi peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan anak. Contohnya adalah peristiwa dibebaskannya Ariel Peterpan yang disambut gegap gempita oleh penggemarnya hingga mereka bolos sekolah untuk menyambut Ariel yang keluar dari penjara. Selain itu Arist juga aktif menyerukan tentang pelayanan kesehatan anak hingga fasilitas untuk ibu-ibu yang menyusui.
Kendati banyak disibukkan dengan berbagai kasus yang dialami anak-anak, namun bukan berarti Arist kurang perhatian pada keluarganya. Sebagai suami dari Rostymaline Munthe dan ayah dari Debora, Christine dan Namalo, Arist lebih banyak mendidik dengan cara membangun satu bentuk komunikasi lewat dialog.
Misalnya, memberitahu anak bahwa tidak boleh menonton televisi di saat belajar. Menyoal urusan keluarga, Arist mengatakan bahwa anak-anak harus dibela hak-haknya. Tapi jangan sampai gara-gara sibuk mengurusi anak orang lain, lantas anak sendiri dikesampingkan. Keadilan harus ditegakkan, setidaknya dari rumah sendiri