Achdiat Karta Miharja, atau lebih populer dengan Achdiat K.Mihardja, adalah sastrawan yang lahir di Cibatu, Garut, Jawa Barat, pada tanggal 6 Maret 1911.
Achdiat kecil tumbuh dalam keluarga yang gemar membaca. Dari koleksi ayahnya, ia telah membaca, antara lain, buku karangan Dostojweski, Dumas, dan Multatuli. Buku Quo Vadis karya H. Sinckiwicq, Alleen op de Wereld karya Hector Malot dan Genoveva karya C. von Schimdt, bahkan telah dibacanya ketika kelas VI di sekolah dasar. Hasil dari didikan lingkungan gemar membaca itu tentunya adalah tulisan-tulisan Achdiat yang lahir di kemudian hari, baik itu yang berupa karya sastra maupun esai tentang sastra atau kebudayaan. Novelnya yang berjudul Atheis adalah novel yang membawa namanya di deretan pengarang novel terkemuka di Indonesia.
Achdiat memulai sekolah dasarnya di HIS (sekolah Belanda) di kota Bandung dan tamat tahun 1925. Kemudian ia merantau ke kota Solo, melanjutkan pendidikan ke AMS (Algemene Middelbare School), sebuah sekolah lanjutan Belanda setara SMA pada bagian A1: Sastra dan Kebudayaan Timur, 1932. Selepas dari AMS ini, Achdiat sempat menjadi pengajar di Perguruan Nasional Taman Siswa, namun tak berlangsung lama karena pada tahun 1934 Ia menjajal profesi menjadi anggota redaksi Bintang Timur dan redaktur mingguan Paninjauan. Di sini, ia bekerja bersama Sanusi Pane, Armin Pane, PF Dahler, Dr. Amir dan Dr. Ratulangi. Profesi inilah yang sangat berpengaruh dalam perjalanan karir Achdiat tahun-tahun setelahnya.
Kecintaannya pada sastra, membuat Achdiat memutuskan untuk melanjutkan kuliah Kota Jakarta, tepatnya Fakultas Sastra dan Filsafat Universitas Indonesia (1948-1950). Hingga pada tahun 1956, karena dedikasi dan prestasinya dalam bidang sastra, dalam kesempatan Colombo Plan, Achdiat mendapat kesempatan belajar bahasa dan sastra Inggris, serta karang mengarang selama satu tahun di Australia, tepatnya di Sydney University.
Perjalanan karir Achdiat tergolong unik, ia kerap berlompatan dari profesi yang satu ke yang lain. Pada tahun 1937, Achdiat menjadi pembantu harian Indie Bode dan Mingguan Tijdbeeld dan Zaterdag, juga sebentar bekerja di Aneta. Tahun 1938 jadi pimpinan redaksi tengah-bulanan Penuntun Kemajuan, lantas selanjutnya, pada tahun 1941, ia menjadi redaktur di Balai Pustaka. Balai pustaka semakin menumbuhkan minatnya pada kesusastraan. Pada pendudukan Jepang, tepatnya pada tahun 1943, ia menjadi redaksi dan penyalin di kantor pekabaran radio, Jakarta.
Tahun 1946 ia memimpin mingguan Gelombang Zaman dan setengah mingguan berbahasa Sunda bernama Kemajuan Rakyat yang terbit di Garut sekaligus menjadi anggota bagian penerangan penyelidik Divisi Siliwangi. Dua tahun kemudian, Ia kembali ke Balai Pustaka sebagai redaktur. Pada tahun 1949, Ia menjadi redaktur kebudayaan di berbagai majalah, seperti Spektra dan Pujangga Baru di samping sebagai pembantu kebudayaan harian Indonesia Raya dan Konfrontasi. Karir di bidang tulis-menulis ini terus berlanjut. Hingga pada tahun 1951-1961, Ia dipercayai memegang jabatan Kepala Bagian Naskah dan Majalah Pendidikan Masyarakat Kementerian PPK. Pada tahun itu juga, ia bertugas menjadi Ketua Seksi Kesusastraan Badan Penasihat Siaran Radio Republik Indonesia (BPSR) dan menjadi Ketua Pen-Club Internasional Sentrum Indonesia. Tahun 1951 bersama-sama Sutan Takdir Alisjahbana dan Dr. Ir. Sam Udin mewakili PEN Club Indonesia menghadiri Konperensi PEN Club International di Lausanne, Switzerland. Saat itu ia juga mengunjungi Negeri Belanda, Inggris, Prancis, Jerman Barat, dan Roma.
Bidang tulis menulis tak hanya membawanya ke Belanda. Tahun 1952, Ia berkunjung ke Amerika dan Eropa Barat dengan tugas dari Dep. PP&K untuk mempelajari soal-soal pendidikan orang dewasa (termasuk penerbitan bacaan-bacaannya) dan 'university extension courses'. Kesempatan ini digunakan juga untuk mempelajari seni drama di Amerika Serikat.
Hingga setelah kemerdekaan, pada tahun 1954, Achdiat menjabat ketua bagian naskah/majalah baru. Tahun 1959 ia menjadi anggota juri Hadiah Berkala BMKN untuk ke-susastraan.Tahun 1959-1961 Achdiat menjadi dosen Sastra Indonesia Modern di Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, Jakarta. Tahun 1960, Achdiat menjabat sebagai Kepala Inspeksi Kebudayaan Djakarta Raya dan memberi kuliah pada FS-UI tentang Kesusastraan Indonesia Modern. Pada tahun 1961-1969 ia mendapat kesempatan untuk menjadi Lektor Kepala (senior lecturer) di Australian National University (ANU) Canberra.
Dari sekian banyak karyanya, novel "Atheis " bisa dibilang adalah karyanya yang paling penting. Novel yang diterbitkan pada tahun 1949 ini mengisahkan kegelisahan manusia mencari pegangan hidup di tengah pergeseran nilai dalam masyarakat. Novel ini menimbulkan perdebatan dalam masyarakat sejak penerbitannya yang pertama. Meski begitu, Novel yang merupakan salah satu puncak karya sastra Indonesia modern ini telah berulang kali dicetak. RJ Maguire bahkan menerjemahkan novel ini ke Bahasa Inggris pada 1972 dan sutradara Sjumandjaja juga pernah mengangkatnya ke layar lebar pada 1974 dengan judul yang sama, yaitu Atheis.
Berkat novel Atheis ini, Achdiat dianugerahi Hadiah Tahunan Pemerintah RI pada tahun 1969. Sebelumnya, pada 1957, kumpulan cerpennya yang diberi judul Keretakan dan Ketegangan mendapat hadiah Sastra Nasional Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN).
Semasa hidupnya, Achdiat pernah mempelajari ajaran mistik (tarekat) aliran Qadariyah Naqsabandiyah dari Kiyai Abudullah Mubarak (yg juga terkenal dengan sebutan Ajengan Gedebag), serta mempelajari filsafat belajar filsafat pada pater Dr. Jacobs S.J., dosen pada Universitas Indonesia, dalam Filsafat Thomisme. Achdiat, yang merupakan kakek dari artis Jamie Aditya ini meninggal di Canberra, Australia, 8 Juli 2010 pada umur 99 tahun.