Titik Nadir Politik Amerika Serikat

By Abdi Satria


Oleh : M. Ridha Rasyid

Praktisi dan Pemerhati Pemerintahan

Syahdan,  Donald Trump, Presiden Amerika Serikat, kala belum jadi presiden pernah berkata bahwa jika suatu saat saya menjadi " sesuatu" (meminjam istilah Dahlan Iskan)  akan memporak-porandakan semua yang berbau Demokrat, partai pesaing Republik.

Agar semua orang Amerika tahu bahwa dirinya memang, pemimpin yang layak dipercaya untuk membawa rakyatnya ke arah yang  lebih jelas dan punya power of all, istilah lain dari sebagai negara adidaya,  yang nyaris tak berdaya lagi. Mengingat kekuatan China secara ekonomi mampu menggerus kedigdayaan Amerika Serikat.

Bahkan secara militer pun, kekuatan China jauh lebih besar dari sisi jumlah  tentara dan kecanggihan persenjataan serta satelit nya. Tetapi yang namanya Donald Trump , bukanlah pemimpin yang begitu saja menyerah.

Dia punya kartu truf, yaitu kesombongan dan kebohongan. Khusus yang terakhir ini dicatat oleh satu lembaga swadaya di sana, selama memimpin hampir empat tahun, lebih dari  dua puluh ribu kali berdusta. Atau rata rata dalam satu hari 13 kali. Suatu prestasi yang luar biasa. Tapi sayang belum di catat dalam guinness   world records atau biasa kita kenal The  Guinness Book of  Records. 

Persepsi 

Segala yang berkaitan dengan penilaian pihak lain, terhadap ukuran keberhasilan kepemimpinan itu, hanyalah dan merupakan persepsi saja. Lanjut Donald Trump. Klaim diri adalah suatu keniscayaan rezim. Bukanlah pemimpin yang hebat bila saja dia tidak bisa membela dirinya, katanya. Jadi apapun komentar orang, bahkan tanggapan rakyat  sekali pun, dalam pandangan Donald Trump itu semua hanyalah persepsi. 

Dikutip dari Wikipedia  persepsi  (dari bahasa Latin perceptio, percipio) adalah tindakan menyusun, mengenali, dan menafsirkan informasi sensoris guna memberikan gambaran dan pemahaman tentang lingkungan. Persepsi meliputi semua sinyal dalam sistem saraf, yang merupakan hasil dari stimulasi fisik atau kimia dari organ pengindra. Artinya, energi tiap orang berbeda-beda sehingga perhatian seseorang terhadap obyek juga berbeda dan hal ini akan mempengaruhi persepsi terhadap suatu obyek.

Sehingga, rezim penguasa di manapun itu tidak pernah mau mendasarkan penilaian atas dasar persepsi. Yang ada adalah manipulasi fakta untuk suatu pembenaran klaim. Kalaupun ada rezim yang mengaku gagal memimpin, oleh khalayak juga itu hanyalah persepsi. Oleh karenanya dalam aspek psikologis, persepsi itu dimaknakan sebagai pandangan pribadi, personal,  yang tak dapat digeneralisir sebagai pandangan mayoritas. Di sisi lain persepsi mayoritas pada suatu kebijakan, juga tidak dipandang oleh rezim sebagai kebenaran mutlak, melainkan itu hanyalah sebuah persepsi. Karenanya ini adalah "permainan" persepsi belaka.

Politik Penguasa

Kekuasaan dan politik adalah mata rantai yang tidak terpisahkan. Kehadiran partai politik untuk memperoleh kekuasaan. Kekuasaan itu bisa didapatkan lewat politik. Bagaimana pun kita membolak dan membaliknya  tetap sama. Itu sudah hukum alam. Tapi kita tidak bicara soal itu. Yang kita mau tahu adalah seberapa efektif kekuasaan itu dapat memberi makna dan manfaat kepada rakyat, kepada negara l, kepada bangsa dan kepada pergaulan serta pergulatan dalam tata politik global.

Karena itu, esensi kekuasaan adalah upaya mengelola  kewenangan yang ada untuk menyejahterakan rakyat. Kehormatan bangsa dan negara. Simplikasi kekuasaan terletak pada keberagaman urusan dan otoritas dalam mengangkat harkat dan martabat bangsa. Tidak ada negara dan kekuasaan yang ada di dalamnya untuk membuat rakyatnya sengsara. Kalau itu yang terjadi, maka hampir bisa dipastikan bahwa ada yang salah dalam memenej kekuasaan. Boleh jadi rezim nya yang kurang  becus mengurus ataukah sistem  yang dibangun tidak "canggih".

Tetapi tidak ada yang salah. Yang salah--  dalam sistem demokrasi yang dianut-- rakyat yang tidak mempergunakan kedaulatan yang dimilikinya untuk menyeleksi pemimpin yang diinginkannya. Sebab sentral memilih pemimpin itu ada di tangan rakyat. Pertanyaannya kemudian, apakah hanya rakyat semata yang keliru  memilih pemimpin? Tidak juga. Rakyat hanya menggunakan haknya dalam prosesi seleksi pemimpin. Pemimpin lah yang seharusnya memberi edukasi atas apa yang ingin dilakukan, apa yang ingin dibuat untuk memenuhi hajat rakyatnya. Jadi, sejatinya, rakyat dan pemimpin dalam konteks kekuasaan punya potensi yang sama dalam menentukan baik atau buruk. 

Noktah terendah 

Kala kekuasaan dengan seluruh proses yang ada di dalamnya, berada dalam noktah terendah  disebabkan , pertama, tim  yang dimiliki  tidak punya kapasitas yang cukup untuk menjalankan tugas dan fungsinya. Kabinet pemerintahan yang punya kewenangan tidak dijalankan secara professional., kedua, perumusan program dan kebijakan yang tidak jelas sasaran yang ingin dicapai, ketiga, hierarki  organisasi tidak diterjemahkan secara apik dalam mengorganisir program dan kegiatan, keempat, pengambilan keputusan atas kebijakan dan program yang telah disusun itu punya kelemahan dan kekurangan yang membuat reaksi resisten  pelbagai pihak, kelima, distribusi kekuasaan dan kewenangan yang tidak jelas.  Itulah situasi yang sedang melanda Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump,  yang sedang berjuang untuk duduk kembali dalam singgasana kekuasaan. 

Berusahalah agar tidak berada dalam titik nadir. Semoga.