Perempuan Rentan Jadi Korban KDRT, Kenali Faktor Penyebabnya

By Admin


nusakini.com - Fenomena kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap kaum perempuan di Indonesia sudah sangat memprihatinkan. Menyikapi hal tersebut pemerintah terus berupaya menangani kasus KDRT yang tingkat terjadinya sangat tinggi di Indonesia, salah satunya dengan melakukan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) Tahun 2016 untuk mengetahui apa saja bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga serta apa saja faktor penyebab tingginya kasus kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa kaum perempuan, khususnya dalam kekerasan fisik dan seksual, untuk mencari jalan keluar dalam menangani masalah tersebut.

Bentuk-Bentuk Kekerasan Pada Perempuan

Hasil SPHPN 2016 mengungkapkan beberapa jenis kekerasan yang dialami perempuan berumur 15-64 tahun baik oleh pasangan maupun bukan pasangan dalam periode 12 bulan terakhr maupun semasa hidup. Bentuk-bentuk kekerasan yang dialami perempuan diantaranya yaitu kekerasan fisik, meliputi tindakan memukul, menampar, menendang, mendorong, mencengkram dengan keras pada tubuh pasangan dan serangkaian tindakan fisik lainnya. 18,3% perempuan yang sudah menikah dengan jenjang usia 15-64 tahun telah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual. Kekerasan fisik mendominasi kasus KDRT pada perempuan yaitu sebesar 12,3% dibandingkan kekerasan seksual sebesar 10,6% (SPHPN, 2016).

Kekerasan emosional atau psikologis, bentuknya meliputi tindakan mengancam, memanggil dengan sebutan yang tidak pantas dan mempermalukan pasangan, menjelek-jelekan dan lainnya. Sebanyak 1 dari 5 perempuan yang sudah menikah pernah mengalami kekerasan emosional yakni sebesar 20,5%.

Sedangkan untuk kekerasan ekonomi, dapat berupa meminta pasangan untuk mencukupi segala keperluan hidupnya seperti memanfaatkan atau menguras harta pasangan. Sebanyak 1 dari 4 perempuan juga mengalami kekerasan ekonomi atau sebesar 24.5%. Semakin tinggi tingkat kesejahteraan masyarakat maka tingkat kekerasan yg dialami perempuan semakin rendah.

Bentuk kekerasan lainnya yaitu kekerasan seksual seperti memeluk, mencium, meraba hingga memaksa untuk melakukan hubungan seksual dibawah ancaman. Angka kekerasan seksual dalam KDRT pada perempuan yaitu sebesar 10,6%.

Kekerasan selanjutnya yaitu pembatasan aktivitas oleh pasangan, kekerasan ini banyak menghantui perempuan dalam kehidupan rumah tangganya, seperti pasangan yang terlalu posesif, terlalu mengekang, sering menaruh curiga, selalu mengatur apapun yang dilakukan, hingga mudah marah dan suka mengancam. Kekerasan ini merupakan jenis kekerasan yang paling sering dialami perempuan yang sudah menikah, hingga mencapai 42,3%.

Berdasarkan data jumlah bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi pada perempuan diatas dapat disimpulkan bahwa kekerasan yang paling sering dialami kaum perempuan, yaitu pembatasan aktivitas, disusul oleh kekerasan ekonomi, kemudian kekerasan emosional/psikis, lalu kekerasan fisik dan terakhir kekerasan seksual.

Faktor-Faktor Penyebab KDRT

Tahukah anda apa saja faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya KDRT khususnya secara fisik dan seksual terhadap perempuan oleh pasangannya? Berdasarkan hasil SPHPN Tahun 2016 mengungkapkan terdapat 4 (empat) faktor penyebab terjadinya kekerasan fisik dan/atau seksual terhadap perempuan yang dilakukan oleh pasangan yaitu faktor individu, faktor pasangan, faktor sosial budaya, dan faktor ekonomi.

Faktor individu perempuan, jika dilihat dari bentuk pengesahan perkawinan, seperti melalui kawin siri, secara agama, adat, kontrak, atau lainnya perempuan yang menikah secara siri, kontrak, dan lainnya berpotensi 1,42 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan perempuan yang menikah secara resmi diakui negara melalui catatan sipil atau KUA.

Selain itu, faktor seringnya bertengkar dengan suami, perempuan dengan faktor ini beresiko 3,95 kali lebih tinggi mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual, dibandingkan yang jarang bertengkar dengan suami/pasangan. Perempuan yang sering menyerang suami/pasangan terlebih dahulu juga beresiko 6 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan yang tidak pernah menyerang suami/pasangan lebih dahulu.

Faktor pasangan, perempuan yang suaminya memiliki pasangan lain beresiko 1,34 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan perempuan yang suaminya tidak mempunyai istri/pasangan lain. Begitu juga dengan perempuan yang suaminya berselingkuh dengan perempuan lain cenderung mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual 2,48 kali lebih besar dibandingkan yang tidak berselingkuh.

Disamping itu, ada pula perempuan yang memiliki suami menggangur beresiko 1,36 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan yang pasangannya bekerja/tidak menganggur. Faktor suami yang pernah minum miras, perempuan dengan kondisi suami tersebut cenderung 1,56 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan yang suaminya tidak pernah minum miras. Begitu juga dengan perempuan yang memiliki suami suka mabuk minimal seminggu sekali, beresiko 2,25 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan yang tidak pernah mabuk.

Perempuan dengan suami pengguna narkotika beresiko mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual 2 kali lebih besar dibandingkan yang tidak pernah menggunakan narkotika. Perempuan yang memiliki suami pengguna narkotika tercatat 45,1% mengalami kekerasan fisik, 35,6% mengalami kekerasan seksual, 54,7% mengalami kekerasan fisikdan/seksual, 59,3% mengalami kekerasan ekonomi, 61,3% mengalami kekerasan emosional/psikis, dan yang paling tinggi yaitu 74,8% mengalami kekerasan pembatasan aktivitas. Selain itu faktor suami yang pernah berkelahi fisik dengan orang lain, perempuan dengan suami kondisi ini beresiko 1,87 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual dibandingkan yang tidak pernah berkelahi fisik.

Faktor ekonomi, perempuan yang berasal dari rumahtangga dengan tingkat kesejahteraan yang semakin rendah cenderung memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan. Perempuan yang berasal dari rumahtangga pada kelompok 25% termiskin memiliki risiko 1,4 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan dibandingkan kelompok 25% terkaya. Aspek ekonomi merupakan aspek yang lebih dominan menjadi faktor kekerasan pada perempuan dibandingkan dengan aspek pendidikan. Hal ini paling tidak diindikasikan oleh pekerjaan pelaku yang sebagian besar adalah buruh, dimana kita tahu bahwa tingkat upah buruh di Indonesia masih tergolong rendah dan hal ini berdampak pada tingkat kesejahteraan rumahtangga.

Faktor sosial budaya, seperti timbulnya rasa khawatir akan bahaya kejahatan yang mengancam. Perempuan yang selalu dibayangi kekhawatiran ini memiliki risiko 1,68 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan, dibandingkan mereka yang tidak merasa khawatir. Perempuan yang tinggal di daerah perkotaan memiliki risiko 1,2 kali lebih besar mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual oleh pasangan dibandingkan mereka yang tinggal di daerah perdesaan

Dari sekian banyak faktor yang memicu terjadinya KDRT, perlu kita pahami bahwa pentingnya konsep kesetaraan dalam keluarga adalah kunci dalam menghentikan tindak KDRT. Dalam keluarga terbagi peran-peran yang dijalankan oleh laki-laki dan perempuan dimana peranan ini menentukan berbagai pengambilan keputusan, serta nilai-nilai luhur termasuk nilai kesetaraan dan keadilan gender yang ditanamkan. Nilai-nilai ini semestinya bisa dikomunikasikan di awal pembentukan keluarga yakni pada jenjang pernikahan. Perlu adanya komitmen yang kuat yang terbangun baik dalam pribadi laki-laki maupun perempuan, untuk mengemban semua konsekuensi yang hadir ketika formasi keluarga telah terbentuk. Komitmen yang telah terbentuk tersebut diharapkan mampu membangun komunikasi dua arah di antara suami dan istri yang berimplikasi pada keutuhan keluarga, sehingga kasus KDRT pun dapat tereliminasi.

Perlu kita pahami bersama bahwa, hubungan suami istri, bukanlah hubungan “ Atasan dengan Bawahan” atau “Majikan dan Buruh” ataupun “Orang Nomor satu dan orang belakang”, namun merupakan hubungan pribadi-pribadi yang “demokratis”, pribadi-pribadi yang menyatu kedalam satu wadah kesatuan yang utuh yang dilandasi oleh saling membutuhkan, saling melindungi, saling melengkapi dan saling menyayangi satu dengan yang lain untuk sama-sama bertanggungjawab di lingkungan masyarakat dan dihadapan Tuhan Yang Maha Esa.

Pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) sebenarnya telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga guna menyikapi maraknya fenomena KDRT yang terjadi di masyarakat. Pemerintah menilai setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan. Setiap warga negara, termasuk perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.

Menyikapi tingginya kasus KDRT di Indonesia, Kemen PPPA menginisiasi berbagai program, diantaranya rumah tangga tangguh. Kemen PPPA menyasar target edukasi pada pasangan-pasangan yang sedang mempersiapkan pernikahan (pra nikah) untuk mencegah tindakan kekerasan yang akhirnya berujung perceraian. Rumah tangga tangguh diharapkan dapat melahirkan anak-anak yang berkualitas sebagai generasi penerus bangsa, dibutuhkan kerjasama semua pihak untuk mendukung program keluarga tangguh, meningkatkan pendidikan, pengetahuan, dan mengubah pola pikir pasangan yang akan menikah tentang konsep keluarga harmonis. Kemen PPPA juga akan melakukan edukasi sejak dini kepada anak-anak sekolah, terutama remaja puteri sebagai persiapan untuk menjalani kehidupan pernikahan dan rumah tangganya kelak.

Pelibatan pihak ketiga dalam proses mediasi ketika terjadi permasalahan diperlukan, jika tidak bisa ditangani, segera laporkan ke Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) atau ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) atau ke Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) Polres setempat. Jangan menunggu hingga kasusnya terlalu fatal sehingga sulit untuk diselesaikan. Catatkan pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA) agar bisa dilindungi oleh negara berdasarkan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. (p/ma)