(Opini) Menakar Potensi Rasisme dalam Bingkai Keindonesiaan Kita

By Admin


Oleh: Muh. Saifullah*

nusakini.com - MASIH ingat kasus kematian pria kulit hitam, George FLoyd saat ditangkap polisi kulit putih di Minneapolis, Minnesota Amerika pada 25 Mei 2020 lalu? Peristiwa ini kemudian berbuntut panjang dan menjadi pemicu gelombang demonstrasi dan kerusuhan massa di beberapa tempat di Amerika Serikat. 

Setidaknya tercatat ada 140 kota di AS bergejolak dengan pekik protes dibarengi beberapa kerusuhan. Jam malam pun diberlakukan oleh pemerintah di 40 kota. 

Kematian George merupakan kejadian yang cukup menyentak karena peristiwa ini merupakan peristiwa kedua di AS di mana pemerintah terpaksa memberlakukan jam malam. Kejadian pertama adalah setelah terbunuhnya Martin Luther King Jr di tahun 1968 lalu. Sama seperti suasana saat kematian Martin Luther, kerusuhan bernuasa rasisme ini juga terjadi saat musim kampanye pemilihan presiden. 

Potensi Rasisme dalam Bingkai Kebangsaan Kita

Dengan memetik pelajaran kejadian rasisme terbesar yang terjadi di Amerika Serikat menjadikan Indonesia harus terus berbenah dalam terus menerus berupaya merajut benang persatuan di tengah kemajemukan bangsa yang sangat kompleks. 

Realitas bangsa Indonesia yang demikian beragam dan sangat pluralis membuat Indonesia demikian gampang terpecah retak dalam konflik. Diketahui, bangsa Indonesia dibangun oleh founding father kita dalam pondasi yang sangat rentan perpecahan. Kita ketahui bahwa yang menjadi landasan perekat persatuan kebangsaan kita yang beragam ini hanya karena kita pernah sama-sama masuk dalam wilayah jajahan Belanda. Padahal keberagaman etnis, suku, agama, bahasa dan budaya di wilayah Indonesia sangat bisa dikatakan mencapai ratusan ragamnya. 

Potensi konflik terkait keberagaman di Indonesia, bukanlah barang baru. Sejarah mencatat banyaknya peristiwa konflik terkait keberagaman yang merengguk banyak korban jiwa terjadi di tanah air tercinta ini. Sebutlah mulai dari peristiwa Sampit, Banyuwangi, kerusuhan dan penganiayaan saudara kita etnis Tionghoa yang terjadi beberapa kali di berbagai tempat. 

Dengan demikian, potensi konflik bersifat rasisme di Indonesia ibarat ‘api dalam sekam’. Sewaktu-waktu dengan pemicu yang mungkin sepele namun kemudian direkayasa oleh sekelompok kepentingan politik dapat saja meluas dan berdampak besar serta mengerikan. 

Karena potensi konfik ini akan terus membayangi wajah sosial kebangsaan kita, maka sangat diperlukan terus menerus memperkuat filosofi pluralisme dalam bingkai persatuan. Kita telah memiliki ideologi Pancasila yang selama ini, mau tak mau telah mampu meredam dan menjadikan kebangsaan kita mampu terajut dengan baik. 

Namun hal tersebut belumlah cukup. Sangat dibutuhkan kebijakan manajemen konflik yang mampu menjadi bagian integral dari relasi sosial kemanusian kita dalam bingkai kebangsaan. 

Di samping itu, terus memperbaiki kesenjangan ekonomi antar masyarakat yang menurut beberapa penelitian merupakan penyumbang paling besar dari munculnya sentimen rasisme, etnis di negara kita. 

Dalam era revolusi digital dengan terlepasnya sekat-sekat informasi, mau tak mau menjadi salah satu variabel penyebab dari demikian gampangnya masyarakat termakan isu dengan berbagai disinformasi di media sosial. 

Faktor ini harus menjadi perhatian kita bersama. Karena bagaimana pun dalan konteks psikologi massa, kerusuhan dan tayangan kekerasan massa mampu menular dengan cepat bila disertai faktor-faktor penunjang lain yang selama ini terpendam dalam masyarakat. 

Dengan demikian sangat diperlukan literasi media pada masyarakat untuk bisa memilah informasi yang bernuansa menghasut, menfitnah dan membakar jentik-jentik potensi rasisme. 

Di samping ini perlunya penegakan hukum yang adil dan tanpa pandang bulu. Kasus George di Amerika terjadi karena penegak hukum yang kebetulan berkulit putih dianggap berlaku sangat sadis -menekan lututnya ke leher George hingga pemuda kulit hitam tersebut harus meregang nyawa”. 

Terlepas dari apa pun yang melatarbelakangi peristiwa tersebut, kerusuruhan di Amerika muncul karena potensi konflik rasisme terus hidup. Namun potensi ini akan membesar ketika ada kepentingan politik besar (di Amerika lagi diselenggarakan Pilpres) yang menjadi pertarungan para elit politik di sana. 

Di Indonesia kita harus sepakat untuk tidak mengorbankan rakyat untuk kepentingan sesaat politik praktis. Kita harus terus membangun keindonesiaan kita. Terus menjadi Indonesia dalam ruang-ruang keberagaman. Meletakkan keberagaman sebagai kekuatan bangsa bukan kelemahan dengan terus memperbaiki kesejahteraan rakyat dan sikap rasa memiliki bangsa ini . (*)

*Penulis adalah Peneliti dari Pusat Kajian Politik dan Kebijakan Publik (PKPK)