(Opini) Media Massa dalam Pusaran Kepentingan Politik dan Mafia

By Admin



Oleh: Makmur Gazali

nusakini.com - SEPERTI pada semua sektor bisnis lainnya, media massa pun tak lepas dari jerat arus besar persaingan untuk tetap mampu eksis dan bertumbuh. Apa boleh buat, realitas persaingan ‘berdarah-darah’ ini juga secara langsung berdampak pada model pemberitaan yang disajikan ke publik. 

Di tengah ‘banjir bandang’ lahirnya beribu-ribu media serta ‘tsunami’ informasi yang menandai era keterbukaan serta revolusi digital, berbagai cara dilakukan, bahkan banyak media yang selama ini sudah dinilai punya nama besar terpaksa menggadaikan integritas jurnalisme-nya hanya untuk sekadar bisa bertahan hidup. 

Tak ada yang memungkiri bahwa, media massa juga adalah sebuah unit bisnis yang mengejar nilai profit (keuntungan). Namun yang membedakan dengan unit bisnis lain adalah dimensi sosial dan idelisme yang melekat pada media. Sebuah media (baca: berita) di dalam dirinya memuat nilai-nilai idealisme serta tanggungjawab sosial yang sangat kental. Bahkan dalam sejarah pergerakan Indonesia memperjuangkan kemerdekaan, media massa bahkan murni lahir dalam tradisi perjuangan idealisme dan nasionalisme. 

Karena karakter media massa bukanlah murni bisnis semata, maka ada koridor dan etika ketat yang harus terpenuhi agar sebuah informasi bernilai berita (news). Dalam sebuah berita setidaknya memenuhi berbagai unsur agar dipercaya oleh publik sebagai sebuah kebenaran atau fakta.

Di samping memenuhi persyaratan dasar seperti 5W1H, sebuah informasi dikatakan bernilai berita karena telah menyempurnakan apa yang kita kenal sebagai cover box side (keberimbangn berita), menyuguhkan fakta, bukan asumsi, opini apalagi fitnah serta telah terkonfirmasi kepada sumber yang diberitakan.

Nilai-nilai verifikatif sangat dijunjung dalam sikap profesional seorang pewarta atau jurnalis. Dan bila itu tercederai maka ‘kutukan’ fatal bakal diperoleh baik sebagai pribadi seorang jurnalis maupun institusi media tempat dia bekerja.

Namun zaman ini, seperti banyak dikatakan para pakar, memang banyak menyimpan paradox. Media massa pun terseret arus itu. Tak peduli betapa pamornya sudah meraksasa, banyak media yang dinilai sudah mapan kemudian terjerembab dalam pusaran ‘zona merah’ persaingan dan terpaksa menggadaikan integritas jurnalis maupun medianya dengan menerima pesanan untuk membuat berita yang mendiskreditkan bahkan melakukan fitnah pada seseorang tanpa memperdulikan kaidah-kaidah jurnalisme dan kode etik profesionalnya.

Di bidang politik praktis, banyak media menggadaikan dirinya sebagai 'corong'  berita-berita hoaks, fake news dan melakukan 'pembunuhan' karakter lawan sang pemberi bayaran.  Semua itu dilakukan hanya untuk bertahan hidup dan mengejar keuntungan, walaupun media dan jurnalisnya sangat paham bahwa cara-cara semacam itu sama sebangun dengan ‘melacurkan’ intelektualitas profesinya.

Namun yang paling mengkhawatirkan dan banyak terjadi saat ini adalah "pelacuran" media yang didanai oleh para mafia. Entah itu mafia pangan, mafia migas yang berkolaborasi dengan sekelompok elite politik untuk menjatuhkan dan mencemarkan nama baik seseorang. "Pembunuhan" karakter yang dilakukan media tersebut sungguh sangat mengerikan karena bukan hanya menggadaikan integritas profesional maupun rasa keadilan seseorang karena berita yang mereka muat adalah sensasi fitnah tanpa konfirmasi dan verfikasi, juga menyimpan dua dosa besar.

Dua dosa besar yang telah dilakukan media tersebut dipraktekkan secara beruntun. Pertama, mereka telah melakukan penyesatan informasi dan pembohongan publik dan yang kedua, mereka memberi makan keluarga dengan nafkah haram hasil dari bayaran mafia yang berasal dari jalan memanipulasi rakyat. Dan saat ini media massa kita berada pada tubir jurang kenistaan semacam itu. Kecuali yang tidak. **

(Penulis adalah Jurnalis dan Pemerhati Media)