(Opini) Ambang Batas Pencalonan Presiden: Tantangan Parpol Baru Pada Pemilu 2024

By Admin


Oleh: Noval Prasetyo*

nusakini.com - PADA 26 Mei yang lalu berlangsungnya pernikahan antara Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman dengan adik kandung Presiden Joko Widodo yakni Idayati. Banyak pihak yang menilai pernikahan tersebut tidak lepas dari persoalan politik Joko Widodo selaku Presiden, dengan Anwar Usman selaku Ketua MK. Penilaian tersebut, dikarenakan munculnya isu Joko Widodo selaku Presiden akan memperpanjang masa jabatanya hingga tiga periode. 

Justifikasi atas perpanjangan masa jabatan Presiden menjadi tiga periode pun muncul terutama dari sisi ekonomi dan politik, yang dikemukakan oleh umumnya para elite partai politik (parpol).

Berbagai skema yang muncul terkait narasi tersebut maka langkah realistis yang dapat dilaksanakan terlebih dahulu adalah, menggenggam kekuasaan perubahan atas Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang secara praktis merupakan kewenangan dari MK. Karena UUD 1945 dengan tegas membatasi masa jabatan Presiden hanya selama lima tahun, dan seseorang dapat dipilih kembali untuk masa jabatan yang sama sebanyak dua kali berturut-turut. 

Hasil Pemilu Serentak 2019 telah menetapkan Joko Widodo kembali menjadi Presiden hingga tahun 2024, sehingga tidak diperkenankan maju dan dipilih kembali untuk masa dan jabatan yang sama. Jika ingin maju dan kembali terpilih maka tentu ada proses politik-hukum yang terjadi, dan yang terlihat adalah pernikahan “politis” Anwar Usman dengan Idayati.

Sebagai respon atas pernikahan yang dianggap “politis” tersebut beberapa lembaga seperti: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menuntut agar Anwar Usman mundur dari jabatannya demi menjawa “muruah” lembaga MK serta menghindari berbagai potensi konflik kepentingan dimasa depan. 

Untuk sesaat marilah kesampingkan berbagai sisi negatif dalam memandang pernikahan (politis) antara Anwar Usman dengan Idayati, serta menghubung-hubungkanya dengan Joko Widodo selaku Presiden. Sebaiknya, mari kita bahas hal ini dari sisi positif dan optimisme untuk menciptakan situasi politik kenegaraan yang bagus, juga mewujudkan pengalaman demokrasi yang berkualitas bagi seluruh rakyat Indonesia.

Selain perpanjangan masa jabatan Kepresidenan Joko Widodo hingga tiga periode isu lain yang tidak kalah menarik sehubungan Pemilu Serentak 2024, adalah soal “ambang batas” dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) mengharuskan bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden memenuhi “persyaratan perolehan kursi partai politik atau gabungan partai politik pengusul paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau 25% dari suara sah nasional”. 

Sebagaimana yang sudah diketahui pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 ini telah berkali-kali untuk diuji ke MK, dengan pertimbangan bahwa para pemohon merasa “dirugikan” dengan adanya ketentuan dalam pasal 222 tersebut.

Hasilnya permohonan yang masuk pun ditolak oleh MK dengan pertimbangan “tidak memiliki kedudukan hukum ”serta“ tidak memiliki kerugian langsung”. 

Sampai disini perhatian untuk kembali menguji ketentuan pasal 222 tersebut beralih dari individu ke lembaga, yang dalam konteks ini adalah parpol terutama parpol baru yang sudah terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Tentu kita semua akan berfikir mengapa (mesti) parpol baru dan bukan parpol lama? Apa perbedaan mendasar antara parpol baru dengan parpol lama berkaitan dengan pengujian terhadap ketentuan ambang batas pencalonan tersebut? Untuk memperjenihkan marilah kita melakukan kilas balik sejenak ke momen Pemilu Serentak Tahun 2019 yang lalu.

Pemilu Serentak Tahun 2019 yang lalu dikenal juga dengan sebutan “Pemilu Lima Kotak”. Hal ini dikarenakan secara praktis dimaksudkan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden pada 1 kotak, dan memilih Anggota Dewan pada 4 kotak lainnya masing-masing: DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, serta DPRD Kabupaten/Kota. Peserta Pemilu Serentak Tahun 2019 berjumlah 16 parpol yang telah diverifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dari berbagai tingkatan. 

Dari 16 parpol yang mengikuti kontestasi pemilu, sebanyak 9 parpol diantaranya telah lolos “ambang batas”, sedangkan 7 parpol sisanya ditetapkan tidak lolos. Adapun ke-9 parpol yang dinyatakan telah lolos “ambang batas” tersebut 7 parpol diantaranya telah menjadi bagian dari rezim yang menikmati kekuasaan.

Untuk nama-nama parpol dan bagian kekuasaan yang telah mereka peroleh karena bergabung dengan rezim dapat ditelusuri, sementara dua parpol yang masih keukeuh menjadi oposan bagi rezim adalah Partai Demokrat dan PKS. Ke-9 parpol tadi dikategorikan sebagai “parpol lama” yang memiliki satu tujuan yakni tetap bertahan di tengah-tengah kekuasaan. Sementara itu masih tersisa sebanyak 7 “parpol lama” namun sudah kedaluarsa karena mereka tidak dapat mengusung jika memiliki kandidat potensial diinternalnya akibat penerapan ambang batas.

Pertanyaanya jika melihat ke dalam masing-masing parpol tersebut siapakah kandidat potensial yang dimaksud? Belum lagi soal status/kedudukan mereka yang tidak lebih unggul ketimbang parpol baru, hanya menang nama pernah mengikuti pemilu sebelumnya.

Parpol baru mendapatkan “amanah tidak langsung” untuk menguji ketentuan pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dikarenakan secara status/kedudukan mereka sama dengan “parpol lama kedaluarsa” karena dirugikan dengan keberadaan ambang batas, yang memungkinkan eksistensi mereka tidak berlangsung lama. Parpol lama dapat mempelajari setiap poin yang telah diajukan sebagai konstruksi argumentasi para pemohon sebelum-sebelumnya, berkaitan dengan pengujian ketentuan pasal 222 UU Pemilu yang menitikberatkan pada poin “kerugian faktual ataupun potensial”. Tujuan ini dapat dicapai dengan dua bagian gerakan yakni: Pertama, setiap parpol baru membuat konsensus untuk mengajukan gugatan ke MK terhadap ketentuan pasal 222 UU Pemilu.

Berkaca dari hasil gugatan yang diajukan para pemohon sebelumnya yang hanya memiliki kedudukan hukum sebagai perorangan dihadapan MK. Sehingga, ada semacam peluang yang disampaikan secara tidak langsung sehubungan dengan kedudukan hukum ini. Meskipun, sejauh ini parpol baru terpaku dengan momok dua verifikasi yang mesti mereka ikuti, yakni: faktual dan administrasi agar mendapatkan status sebagai peserta untuk pemilu serentak tahun 2024 yang akan datang. Kedua, parpol baru dapat mengorganisir elemen masyarakat lainnya agar menggelar demonstrasi yang ditujukan kepada MK agar meminta Ketua MK yang sedang menjabat dapat mundur dari jabatannya. Hal ini dilakukan dalam rangka memperkuat dalam pencapaian tujuan dibatalkannya ketentuan ambang batas tersebut.

Dissenting opinion (perbedaan pendapat) yang sering terjadi dikalangan hakim MK memang dinetralisir oleh Ketua MK saat ini. Sehingga target demonstrasi untuk meminta Ketua MK yang saat ini menjabat agar mundur, dan menekan agar memilih Ketua MK yang memiliki opini sama dengan parpol baru berkaitan penghapusan ambang batas pencalonan dapat tercapai. Hal ini bukan tidak mungkin untuk dapat dilaksanakan dan berhasil karena bagaimanapun demokrasi membutuhkan keberadaan parpol, dan parpol adalah representasi awal dari rakyat sebelum menjadi pemerintah. Sedangkan konsekuensi dari gerakan ini adalah karena parpol baru terlalu dini untuk vis a vis (hadaphadapan) dengan rezim maka bisa terjadi politisasi terhadap status/kedudukan sebagai peserta pemilu nantinya. Wallahu a’lam. (*)

Penulis adalah Alumnus Magister Ilmu Politik Universitas Andalas