Oleh : M Ridha Rasyid 

Praktisi dan Pemerhati Pemerintahan

Sesungguhnya permasalahan birokrasi kita tidak hanya pada tataran aturan tapi juga organisasi yang ada di dalamnya yang mengalami "obesitas", kegemukan.  Hal ini sudah berlangsung cukup lama. Sebenarnya pernah ada upaya untuk menyederhankan , tapi ketika pembahasan revisi  undang undang pemerintahan daerah pada masa orde baru,  terjadi debat kepentingan pada pengambilan keputusan.

Baik oleh legislatif maupun dikalangan pemerintah sendiri. Undang undang No 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah yang berlaku lebih dari dua dekade  kemudian dirubah ke dalam Undang undang  No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, juga semangatnya sama. Bahwa dengan pemberlakukan otonomi daerah, maka kewenangan dari beberapa urusan yang diserahkan,  pemerintah pusat akan berkurang urusan yang ditanganinya.

Dengan kata lain, pemerintah hanya menangani kewenangan yang strategis. Sementara, sebagian besarnya akan dilaksanakan pemerintah daerah. Ini di tuangkan dalam PP 84 Tahun 1999 tentang Perangkat organisasi pemerintah daerah, yang salah satunya meniadakan jabatan wakil kepala dinas/badan dan sejumlah pelaksana di bawahnya.

Namun, Undang undang Pemerintahan Daerah mengalami merevisi kembali  dan perubahan yang mendasar, di mana sejumlah urusan yang tadinya diserahkan kepada pemerintah daerah lalu ditarik lagi ke pemerintah pusat sebagaimana  termaktub dalam Undang Undang No 32 Tahun 2004 dan selanjutnya dirubah lagi ke dalam Undang Undang No 23 Tahun 2014  tentang Pemerintahan Daerah disertai dengan perubahan undang undang No 8 Tahun 1974 tentang Pokok Pokok Kepegawaian  menjadi Undang Undang No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.

Dengan tidak menyentuh perubahan organisasi perangkat daerah. Akibatnya, organisasi perangkat daerah atau satuan kerja perangkat daerah masih dalam kondisi yang gemuk, susah bergerak, tidak efektif dan efisien dengan anggaran yang sangat besar. Olehnya itu, momentum omnibus sejumlah perangkat aturan di sektor ekonomi, perdagangan, investasi, sumber daya alam, energi  dan ketenaga-kerjaan, juga bersinggungan  organisasi pemerintahan. Sebagaimana disampaikan dan sudah dilaksanakan beberapa waktu lalu oleh Presiden Jokowi dengan membubarkan sejumlah lembaga yang dibentuk berdasarkan peraturan presiden. Tentu saja, lembaga atau institusi pemerintahan/pemerintah daerah yang dibentuk atas dasar undang undang dan turunannya peraturan pemerintah hingga peraturan daerah dibahas bersama dengan dpr/dprd. 

OPD/SKPD

Jika kita menyimak pasal pasal yang diatur  Undang Undang Cipta  Kerja, maka sub-sistem dan mekanisme investasi banyak ditentukan oleh sejauhmana pemerintah daerah dapat "menerjemahkan"  semangat yang ingin dicapai undang undang tersebut. Bahwa ada kewenangan atau urusan yang ditarik ke pusat, namun pelaksanaannya di daerah,  pemerintah daerah sangat menentukan tindak-lanjut kesuksesan regulasi ini.

Bila tidak, dengan dasar pemerintah daerah juga ingin mengikut-sertakan kepentingan daerahnya, tentu akan menjadi kendala bagi tumbuhnya investasi. Saat mana, pemerintah daerah tidak punya kewenangan untuk menarik pajak ataupun retribusi, tentu saja membuat pemerintah daerah merasa "teramputasi" pendapatan asli daerahnya.

Dengan kondisi tersebut, mau atau tidak, ketergantungan pembiayaan penyelenggaran pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan kepada pemerintah pusat sangat tinggi dan besar, pada saat yang sama pembiayaan yang dibutuhkan bagi skpd/opd, juga tidaklah sedikit. Karenanya, pemerintah pusat perlu memikirkan dalam beberapa waktu ke depan untuk membuat langkah langkah penyederhanaan organisasi pemerintahan di daerah. 

Jika itu tidak segera dilakukan, faktor penghambat dari penerapan undang undang cipta kerja akan terlihat nyata. Undang undang Cipta Kerja, sejatinya resentralisasi  dari sejumlah urusan yang diserahkan sebelumnya.

Dalam makna, bahwa desentralisasi yang menjiwai otonomi daerah dengan sendirinya sudah sangat terbatas. Implikasi yang muncul bahwa otonomi daerah telah melahirkan "raja-raja" kecil  yang sulit diatur, membuat pemerintah pusat gerah dan itu tidak bisa dibiarkan. Padahal esensi otonomi daerah dalam bingkai negara kesatuan republik Indonesia, untuk memberdayakan  daerah dan mengurangi ketergantungan daerah kepada pemerintah pusat, agar setiap dapat mengurus daerahnya sendiri. 

Jumlah Ideal SKPD/OPD

Undang undang Cipta Kerja  merupakan hasil ramuan 79 undang undang  yang disederhanakan dan juga dengan menghilangkan berbagai kendala yang membuat investasi sulit berkembang telah dipangkas habis, maka  itu berkorelasi dengan jumlah  lembaga non kementerian yang harus  di 'babat".

Paling tidak jumlah kementerian yang ada sekarang justru akan mengalami pertambahan dengan asumsi bahwa sejumlah urusan yang tadinya diserahkan ke daerah akan menjadi otoritas pemerintah pusat, sehingga  dari jumlah 34 kementerian saat ini akan bertambah. Berangkat dari sejumlah sektor yang terdapat dalam Undang undang hasil Omnibus Law, kemungkinan kebutuhan kementerian sekitar 5 hingga 7 kementerian baru 

Yang perlu dilakukan pengurangan besar besaran pada   lembaga non kementerian juga "diparkir" paling tidak  setengahnya yang ada saat ini. Sama halnya di daerah, dengan berbagai rujukan aturan terbaru, baik sektoral kementerian dalam negeri, kementerian pendaya gunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi, membuat analisis kebutuhan organisasi dengan membagi klaster daerah.

Misalnya, klaster A jumlah perangkat daerah dinas/badan/bagian dengan rincian 10 Dinas, 5 Badan dan 7 Bagian, sehingga total perangkat daerah itu 22, Klaster B, 9 Dinas, 4 Badan, 8 Bagian, total 21, Klaster C jumlah Dinas 8 Badan 3 .bagian 6 total 17. Persepsi yang mendasari pembagian klaster dan jumlah perangkat daerah antara lain  minimnya urusan yang diserahkan kepada daerah untuk menjadi kewenangan daerah seperti omnibus law  tahap pertama ini.

Yang akan disertai dua lagi omnibus  law  yang akan dilakukan pemerintah, sektor perpajakan dan sektor  hortikultura. Kalau ini berlaku, semakin terlihat jelas betapa daerah mendeskripsikan sebagai pelaksana seluruh utusan pemerintah pusat di daerah. Ini di maksudkan bahwa, daerah hanya mengikuti apa yang menjadi keputusan pusat, tidak boleh ada daerah yang "membangkang",  harus patuh. 

Wallahu 'alam bisshawab