Kemendikbud Rumuskan Strategi untuk Merangkul Anak Tidak Sekolah Melalui Program Indonesia Pintar
By Admin
nusakini.com--Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) berupaya merangkul Anak Tidak Sekolah atau ATS untuk kembali mendapatkan layanan pendidikan melalui Program Indonesia Pintar (PIP).
Hal ini dilakukan untuk menyiapkan generasi penerus yang berdaya saing. Kepala Negara Republik Indonesia saat melakukan kunjungan kerja ke Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimatan Selatan (7/5/2017) menegaskan bahwa setiap anak, termasuk anak berhenti sekolah, harus bersekolah.
”Persaingan nanti semakin sulit, semakin sukar antarnegara. Oleh karena itu kita persiapkan. Kalau yang sudah berhenti (sekolah), ambil KIP, sekolah lagi. Anak-anak kita harus sekolah supaya bisa bersaing dengan semua negara,” ujar Presiden Joko Widodo saat kunjungan kerja yang juga disertai penyerahan Kartu Indonesia Pintar (KIP) tersebut.
Sebagai upaya merumuskan strategi kebijakan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat (Ditjen PAUD dan Dikmas) menggelar Diskusi Kelompok Terpumpun Implementasi Program Indonesia Pintar, bertema Merangkul Anak Tidak Sekolah (ATS) Kembali Belajar di Satuan Pendidikan, selama tiga hari, 29-31 Mei 2017, di Yogyakarta.
Anak Tidak Sekolah (ATS) dikategorikan sebagai anak usia 6 s.d. 21 tahun yang tidak bersekolah karena alasan ekonomi, sosial, kesehatan. Selain itu, mereka yang pernah sekolah dan berhenti di tengah proses belajarnya (putus sekolah) karena berbagai alasan seperti kesulitan ekonomi, dan sosial.
Direktur Jenderal PAUD dan Dikmas, Haris Iskandar, mengungkapkan Kemendikbud terus berupaya untuk mengidentifikasi ATS agar dapat kembali melanjutkan pendidikan. Sehingga, diskusi bertujuan dapat merumuskan kebijakan efektif dan efisien terkait penanganan Anak Tidak Sekolah.
“Kemendikbud selalu mengidentifikasi ATS agar dapat melanjutkan pendidikan, bukan hanya itu, tapi juga memastikan mereka masuk ke satuan pendidikan dan menyelesaikan pendidikannya,” ujar Dirjen Harris saat pembukaan Diskusi Kelompok Terpumpun, Senin (29/5/2017), di Yogyakarta.
Wakil Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia Ferdiansyah dalam paparannya mendukung agar program kesetaraan mengambil peran lebih besar dalam menuntaskan fenomena ATS.
"Komisi X berkomitmen agar program kesetaraan Kemdikbud juga mendapatkan apresiasi yang sepantasnya terutama dalam hal kebijakan anggaran, terlebih ini menjadi bagian dari program prioritas Pak Jokowi yaitu Program Indonesia Pintar yang menyasar bukan saja anak dari keluarga tidak mampu yang ada di sekolah, tapi juga anak usia sekolah yang tidak bersekolah karena berbagai kendala sosial."
Validasi data ATS sangat krusial untuk penyaluran Program Indonesia Pintar untuk ATS. Pada tahun 2017, sebanyak 2,9 juta ATS yang sudah terdata identitasnya menjadi sasaran PIP menurut nama dan alamat penerima (by name, by address). Data tersebut berasal dari hasil verifikasi antara data TNP2K, Kementerian Sosial, Data Pokok Pendidikan Pendidikan Masyarakat (Dapodikmas) Kemendikbud, dan Aplikasi Pendataan ATS Kemendikbud.
“Kemendikbud sudah identifikasi ada 2,9 juta ATS yang sudah terdata identitasnya by name dan by address, dari 4,1 juta keseluruhan total ATS menurut TNP2K,” ujar Staf Khusus Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Bidang Monitoring Implementasi Kebijakan, Alpha Amirrachman, saat menjadi narasumber pada diskusi tersebut di Yogyakarta.
Selanjutnya, sejumlah 2,9 juta ATS itu akan menjadi penerima manfaat Program Indonesia Pintar untuk dapat melanjutkan pendidikan. ”Para ATS itu disiapkan untuk dapat mengikuti skema sasaran layanan pendidikan non formal, yaitu mengembalikan siswa untuk masuk sekolah kembali, mengikuti pendidikan kesetaraan atau mengikuti kursus dan pelatihan,” ujar Alpha.
Dari jumlah tersebut, sudah terdapat sebanyak 545.829 siswa terdaftar ke dalam Data Pokok Pendidikan Masyarakat dengan rincian sejumlah 485.829 mengikuti layanan pendidikan kesetaraan, dan 60.000 siswa mengikuti layanan pendidikan kursus, dari sejumlah 2,9 juta ATS penerima manfaat PIP, dan ini akan terus ditingkatkan.
Direktur Pendidikan dan Agama Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional atau Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Ahdiat, mengungkapkan sinkronisasi data berkelanjutan perlu dilakukan antara Kementerian dan Lembaga penyedia data keluarga, dan siswa tidak mampu.
“Bagi ATS, ada beberapa pihak yang mendata seperti dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), Kementerian Sosial dan bahkan ada yang dari UNICEF,” ujar Ahdiat. Disinilah, tegas Hadiat, perlunya sinkronisasi antar kementerian dan lembaga untuk mendapatkan data para ATS yang valid.
My Esti Wijayati, selaku Anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Daerah Pemilihan Yogyakarta, menghimbau untuk penjangkauan data di daerah maka perlu adanya integrasi data di tiap-tiap sekolah. “ketika ada anak yang putus sekolah, maka seharusnya data terinput di dalam data-data anak putus sekolah di masing-masing kabupaten/kota atau provinsi,” ujarnya.
Ketika ada data itu, lanjutnya, maka bisa langsung terintegerasi dengan data kita di pusat dengan Data Pokok Pendidikan atau Dapodik.
Pendekatan untuk ‘menjemput’ ATS agar kembali sekolah memerlukan pelibatan publik, dan para pemangku kepentingan. Dirjen Harris mengungkapkan dengan pendekatan ini akan mengundang unsur-unsur masyarakat dan para pemangku kepentingan yang terkait agar dapat bersama-sama dengan pemerintahan memberikan pendampingan bagi ATS.
"Ini butuh pendekatan yang cerdas, pendampingan bagi orang tua dan anak-anaknya yang tidak sekolah ini, " ujar Harris sambil menambahkan bahwa UPT-UPT Kemdikbud di daerah juga akan dikerahkan untuk menyukseskan program ini.
Faktor-faktor penyebab adanya ATS juga dibahas dalam diskusi ini, bukan semata karena faktor ekonomi, tapi juga faktor sosial lainnya. “Kami mendapati di lapangan, adanya ATS yang juga karena tidak adanya motivasi untuk melanjutkan pendidikan, untuk meningkatkan taraf hidup, walau anak tersebut tidak sekolah maupun bekerja,” ujar Staf Khusus Alpha. Akibatnya, KIP yang sudah dikirim ke tiap-tiap anak tidak digunakan.
Ke depan, Dirjen Harris berharap penanganan ATS perlu diimbangi dengan ditambahkannya Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) bagi satuan pendidikan seperti PKBM dan kursus. Hal ini dilakukan untuk mendorong kesiapan satuan pendidikan menerima para ATS mengikuti layanan pendidikan. "Karena dengan didorongnya ATS kembali ke satuan pendidikan, satuan pendidikan juga harus siap menerima mereka," jelasnya.
Diskusi Kelompok Terpumpun terselenggara untuk merumuskan kebijakan nasional penanganan ATS, kebijakan penganggaran dan kebijakan pelibatan publik. Berlangsung selama tiga hari, 29-31 Mei 2017, diikuti para pemangku kepentingan jenjang pendidikan masyarakat dan kesetaraan, berasal dari perwakilan Unit Pelaksana Teknis (UPT), Forum Komunikasi Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat, dan Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.
Sebagai narasumber Wakil Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Ferdiansyah, Anggota Komisi X DPR RI My Esti Wijayanti, Direktur Pendidikan dan Agama Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional atau Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Ahdiat, Staf Khusus Mendikbud Bidang Monitoring Implementasi Kebijakan Alpha Amirrachman, Tenaga Ahli Utama Kedeputian IV Kantor Staf Presiden Binny Buchori, Ketua Umum PP Aisyiah Siti Noordjannah Djohantini, sementara Staf Khusus Mendikbud Bidang Strategi Implementasi Kebijakan Machhendra Setyo bertindak sebagai moderator dan pemantik jalannya diskusi. (p/ab)