Di KTT APEC, RI Ajak Vietnam Setarakan Upah Buruh Industri

By Admin

nusakini.com--Pemerintah Republik Indonesia (RI) mengajak Vietnam untuk kerja sama menerapkan kesetaraan upah minimum buruh di sektor industri. Pasalnya, persaingan upah rendah yang ditawarkan kedua negara, dapat dimanfaatkan para investor asing. 

“Bapak Wakil Presiden RI Jusuf Kalla mengusulkan kerja sama dengan Pemerintah Vietnam tentang adanya platform bersama untuk penetapan upah sektoral industri sehingga Indonesia dan Vietnam tidak diadu oleh investor,” kata Menteri Perindustrian RI Airlangga Hartarto di Lima, Peru, Jumat (18/11). 

  Hal itu disampaikan Airlangga usai mendampingi Wapres RI Jusuf Kalla (JK) bertemu dengan Presiden Republik Sosialis Vietnam Tran Dai Quang dalam rangkaian kegiatan Economic Leaders Meeting di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (KTT APEC 2016) di Lima, Peru, Jumat malam waktu setempat (Sabtu waktu Jakarta). 

Dari pertemuan bilateral tersebut, JK mengharapkan kedua negara akan berbagi pengalaman dengan negara-negara lain seperti di kawasan ASEAN untuk membuat sistem dalam menentukan standar upah minimum regional. Apalagi, menurutnya, saat ini Indonesia dan Vietnam menjadi incaran para investor untuk membangun industri. 

Sementara itu, Airlangga menambahkan, selama ini banyak investor yang kerap membandingkan tingkat upah buruh di Indonesia dan Vietnam. "Minimum salary di Indonesia dan Vietnam selalu diadu mana yang lebih rendah. Dengan adanya kesamaan upah minimum sektoral, maka tentunya akan menciptakan pengembangan sumber daya manusia yang lebih baik sesuai dengan salah satu tema APEC saat ini, yaitu terkait dengan human development," paparnya. 

Airlangga juga mengungkapkan, industri tertentu seperti sektor padat karya selalu membedakan selisih upah pekerja tanpa memperhitungkan harga barang pada konsumen akhir terutama di pasar global. “Sehingga di tengah itu ada yang memanfaatkan, Nah, itu yang ingin dicegah,” ujarnya. 

Menurut Airlangga, tidak baik kalau yang dipersandingkan adalah biaya tenaga kerja dari masing-masing negara. "Jadi, tentunya kami mengharapkan bahwa kesetaraan human development itu terkait dengan hak asasi manusia dan nilai-nilai universal," tuturnya. 

Selain soal upah, pertemuan bilateral tersebut juga membahas kerja sama tentang pengembangan rantai nilai dunia (global value chain) di sektor industri otomotif, kimia, dan digital. “Kementerian Perindustrian siap menindaklanjuti berbagai usulan yang telah disampaikan oleh Bapak Jusuf Kalla kepada Pemerintah Vietnam,” tegas Airlangga. 

  Menanggapi usulan Indonesia, kata Airlangga, Presiden Vietnam merespons dengan baik dan juga akan menindaklanjuti. Airlangga pun berharap nilai transaksi perdagangan Indonesia dengan Vietnam dapat meningkat dua kali lipat, dari USD 5 miliar menjadi USD 10 miliar. 

  Selain Menperin, yang turut mendampingi JK, antara lain Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, Wakil Menteri Luar Negeri A.M Fachir, dan Staf Khusus Wapres RI Sofjan Wanandi.

Sebelumnya, Airlangga mengatakan, pemerintah Indonesia tengah aktif melobi sejumlah pihak agar lima komoditas potensial masuk dalam pernyataan bersama pemimpin ekonomi 21 negara anggota APEC. Kelima komoditas itu adalah minyak sawit mentah, karet alam, rotan alam, kertas, dan produk perikanan. 

Menurutnya, kelima komoditas itu berperan penting dalam kegiatan ekonomi di sektor riil dan mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. “Apabila komoditas tersebut diterima, perdagangan dan investasi yang berkaitan dengan komoditas itu tentunya akan meningkat termasuk pertumbuhan di sektor industrinya,” kata Airlangga. 

  Selama dua tahun terakhir ini, Pemerintah Indonesia telah berupaya melobi agar produk-produk tersebut bisa masuk pernyataan bersama pemimpin APEC. “Kami akan tetap memperjuangkannya dalam pertemuan kali ini," ujar Airlangga. Terlebih lagi, minyak sawit mentah merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan Indonesia. 

  Di samping itu, Indonesia juga terus bernegosiasi secara bilateral dengan Tiongkok dan Australia untuk mendorong ekspor biodiesel ke dua negara tersebut. Langkah ini merupakan bagian dari upaya menyeimbangkan neraca perdagangan kedua belah pihak karena selama ini Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan dengan ke dua negara tersebut.(p/ab)