Demonstrasi Bingkai Demokrasi

By Abdi Satria


Oleh M  Ridha Rasyid 

Praktisi dan Pemerhati Pemerintahan

Peristiwa Malari tahun 1978 adalah sejarah pergerakan mahasiswa paling besar yang pernah terjadi saat rezim orde baru berkuasa . Ini murni gerakan mahasiswa. Substansi pokok dari demonstrasi itu yang dituangkan dalam deklarasi mahasiswa sangat jelas, dan terlepas dari kepentingan tertentu.

Saat itu, tidak ada istilah siapa dalangnya, siapa yang mendanai, siapa tokoh intelektual di balik demonstrasi. Semuanya pure (bersih dari intrik), yakni soal ekonomi atas dominasi perusahaan jepang, kebebasan mahasiswa berpolitik  (bukan politik praktis) untuk menyampaikan pendapat, serta stabilitas harga untuk kesejahteraan masyarakat. Ini dibingkai menjadi satu kesatuan yang disebut Tritura, tiga tuntutan rakyat.

Gerakan Malari  tidak hanya terjadi di Jakarta dan seluruh Jawa,  tapi juga merambah ke daerah dan semua berjalan tertib. Gesekan antara aparat dengan pendemo tidak sampai ke perbuatan anarkhi. Dilakukan dengan elegan. Dan, itu implementasi dari sistem demokrasi. Mereka melakukan Long March, berjalan mulai dari Salemba Kampus Universitas Indonesia menuju Monas dan istana negara.

Damai dalam menyalurkan aspirasi. Gaya demonstrasi gerakan Malari ini menjadi model di eropa dan sebagian Asia Timur  setelah itu.  Tokohnya,  salah satunya  Hariman Siregar, mahasiwa kedokteran. Hasilnya, pemerintah memperhatikan dan mengelaborasi pikiran pikiran mereka ke dalam kebijakan dan program. Tapi setelah itu, dengan gaya otoriter penguasa, selanjutnya demonstrasi selalu bisa dikendalikan dan diredam.

Peristiwa lain yang terjadi, dipenghujung jatuhnya rezim orde baru, adalah people power mahasiwa, para intelektual kampus dan masyarakat bersatu. Menduduki gedung  DPR, dan pada akhirnya pimpinan MPR sebagai lembaga tertinggi negara " memvonis" kejatuhan Presiden dan diikuti mundurnya para menteri. Pernyataan pengunduran diri Presiden adalah solusi terbaik,  agar tidak terjadi banyak korban yang tidak perlu.

Walau sebelumnya, sejumlah penculikan mahasiwa, aktivis kampus yang "hilang", tindak kekerasan terhadap perempuan juga terjadi.  Trauma bangsa menyelimuti suasana pergantian rezim, meskipun sesungguhnya berjalan relatif aman. Oleh karena tumbangnya  penguasa  disertai tingkat kesadaran tinggi bahwa ada yang lebih besar perlu diutamakan, yakni bangsa dan negara. Ini pun masih dalam frame demokrasi. 

Demonstrasi yang  demokrasi

Reformasi sebagai suatu gerakan setelah lebih dari tiga dekade dikuasai penguasa otoriter, yang tiba tiba, dengan memanfaatkan momentum yang terjadi, tentulah tanpa program  setelah jatuhnya suatu rezim, akibatnya, tidak jelas apa yang mau dikerjakan. Euforia yang berlebihan saat itu, berlarut dan terus berlangsung. Proses demokrasi melalui pemilihan presiden melahirkan kepemimpinan  yang bekerja sesuai dinamika lingkungan sekitarnya, bukan suatu pola terpadu.

Situasi dan kondisi nya justru makin membuat masyarakat "bingung" ke arah mana bangsa ini akan di bawa. Yang baru tercipta adalah kebebasan bersuara,  berpendapat dan berbicara. Kebebasan pers sebagai salah satu  urat nadi demokrasi memang diakui telah jauh berbeda. Bermunculan media, baik visual maupun audio visual hingga digitalisasi .

Dari sisi ini, luar biasa. Hanya ini terlihat sangat berkembang di era reformasi. Setelah itu, demontrasi berjalan tanpa arah, brutal, anarkhi, tanpa tujuan yang jelas. Ada yang membayar, ada tokoh yang mengerahkan, tokoh intelektual, dibiayai oleh lsm internasional dan sejumlah anasir dan sinyalemen yang mengikuti.

Kecurigaan pada setiap demonstrasi selalu negattif, oleh karena, sudah ada tidak lagi gerakan yang muncul dari independensi berfikir dan pergerakan yang murni lahir untuk menunjukkan arti kehadiran mahasiswa sebagai agent of change seperti pada gerakan Malari itu.

Demonstrasi sebagai wadah bagi setiap individu bersatu, lembaga yang menyuarakan ide dan gagasan, wadah perjuangan nasib dan tuntutan hak kepada penguasa, tidak lagi berjalan apa adanya, alami. Saling awas dan curiga menyelimuti setiap pergerakan massa. Suasana aman untuk mendeskripsikan pikiran yang seharusnya berjalan damai, namun kenyataannya selalu berakhir ricuh dan rusuh. Yang terimbas adalah rakyat.

Lalu, seperti apa sebaiknya unjuk rasa itu dilakukan dalam perspektif  demokrasi. Pertama, dan ini perlu dipahami bawa demokrasi yang dimanifestasikan salah satunya kebebasan berpendapat dan menyampaikan ide tidak selalu turun ke jalan. Kalau pun ke jalan harus ditempuh, dengan memajang pamflet, spanduk, leaflet bisa tuangkan ide ide itu. Contoh terbaik demontrasi mahasiswa dan rakyat itu di Inggris dan Jerman juga Korea Selatan.

Tidak ada pembakaran ban yang memicu panasnya suasana demontrasi, penutupan jalan yang tiba tiba, ini mungkin perlu dipikirkan adanya panggung denokrasi dan lapangan berunjuk rasa yang perlu difasilitasi, agar tidak semua demonstrasi dalam skala jumlah kecil, cukup dilakukan di situ, 

Kedua, pilar demokrasi itu adalah huku. Hukum menjadi perangkat penting dalam demokrasi, sehingga demonstrasi yang melabrak peraturan yang ada justru dapat dikatakan a demokrasi, pada saat yang sama ada hak publik untuk mengakses fasilitas umum yang ada. Ini yang sejatinya perlu dijadikan perhatian dan rujukan, bahwa ada cara cara yang lebih beradab dalam menyampaikan aspirasi, ketiga, demikian halnya pemerintah, seyogyanya membuka ruang diskusi, komunikasi dua arah serta mengajak mereka untuk berdialog.

Dengan pembiaran tanpa ada respon dari demonstrasi, malah membuat pendemo frustrasi yang berujung pada tindakan anarkhi. Ketika mereka diajak untuk berdiskusi, serta memberi uraian terkait apa yang mereka tuntut, dijelaskan secara apik dengan bahasa yang sederhana,  akan mengurangi tensi untuk melakukan tindakan yang tidak kita inginkan, Keempat, pendekatan keamanan juga perlu lebih terarah dan wajar. Protokol pengamanan demonstrasi perlu diterapkan secara ketat. Mediasi dan komunikasi perlu dilakukan di lapangan saat terjadi demo. 

Merubah paradigma

Ini mungkin menjadi satu kekurangan anak bangsa dalam memaknai esensi  dari demonstrasi itu. Bahwa demonstrasi itu ada, ketika suatu kekuasaan tidak mampu menunjukkan kerja kerja berpemerintahan yang baik, kerja kerja  manajemen yang transparan   pada suatu perusahaan, kerja kerja pada elemen institusi yang secara hierarkis menerapkan apa yang sudah di rencanakan.

Kalau ruang komunikasi itu tertutup dalam melihat kelemahan dan kekurangan sebuah organisasi,  maka ujungnya adalah demonstrasi . Sumbatan ruang diskusi itu yang harus dibuka, digerus, agar jangan ada di sana sedimen ide yang tidak tersalurkan. Demokrasi itu ibarat kanal atau sungai yang bisa mengalirkan air hingga muara, ketika adà hambatan atau terjadi pendangkalan, maka air yang seharusnya sampai ke muara, terkuras dan merembet ke lain arah.

Oleh karena  itu merubah paradigma cara bersikap dalam menghadapi dan melakukan demontrasi  harus di rubah, di satu sisi pendemo, siapapun dia, menyadari bahwa demonstrasi  hanya sarana untuk menyampaikan ide, gagasan dan sejumlah alternatif solusi. Bukan solusi dan pengambilan keputusan di sana, pada sisi lain, yang dikritik pun, menerima sebagai pengingat, merespon sebagai bagian untuk melakukan perbaikan dan pembetulan serta klarifikasi dari apa yang di sampaikan pendemo, sekaligus menjelaskan posisi gagasan yang ingin dibenahi itu. Itulah cara terbaik dalam mengakselerasi demonstrasi sebagai sarana aspirasi yang demokratis. Hanya itu jalanNya. Bukan lainnya.

Wallahu 'alam bisshawab