Catatan M. Nigara: Tepat, Arena-GBK Jadi Head Quarter Piala Dunia U-20

By Abdi Satria


M. Nigara

Wartawan Sepakbola Senior


"DI SINI saja!"

Begitu kata Menpora Zainudin Amali, saat memberi keterangan pers, Jumat (10/7/2020) pagi di Arena GBK, Jl. Asia-Afrika, Senayan, Jakarta.

Pernyataan itu disampaikannya terkait pilihan tempat untuk head quarter sekaligus press center Piala Dunia U20, Mei-Juni 2021. Dengan begitu, Wisma Serbaguna, di Jl. New Delhi, di belakang Hotel Century, Jl. Pintu Satu, PPK-GBK, yang pernah menjadi markas komando Asian Games, tidak dipilih.

Secara selintas, pemilihan Arena GBK, sangat tepat. Pertama, letak Arena GBK yang bersebelahan dengan hotel Mulia, dan berada di bagian depan. Jadi, tempat itu mudah dijangkau. Kedua, ini yang jauh lebih penting, Arena-GBK adalah gedung baru. Dengan begitu, maka pemerintah tak perlu mengeluarkan dana yang ekstra untuk head quarter.

Selain itu, Arena-GBK berada persis di depan Stadion Madya.

Stadion yang menurut hemat saya, pasti akan digunakan untuk babak penyisihan. Tentu harus ada perbaikan, tambahan tribun Utara-Selatan. Saat ini tribun yang ada hanya Timur-Barat.

Jika tidak keliru, FIFA mensyaratkan setiap laga, minimal wajib disaksikan 10 ribu penonton. Dan PSSI saat bidding tuan rumah, telah menyanggupinya.

Untuk itu, Stadion Madya-lah yang harus jadi pilihan. Tapi, Madya membutuhkan tribun tambahan. Kondisi tribun saat ini, jika tidak salah hanya mampu menampung 9000 penonton. Sementara Stadion Utama dengan kapasitas kursi 73 ribu, menjadi tidak masuk di akal jika digunakan untuk penyisihan.

Sebagai wartawan sepakbola senior, saya punya dua pengalaman meliput Piala Dunia, Italia 1990 dan Amerika 1994, serta satu Piala Eropa, 1992 di Swedia.

Di Italia 1990, ada dua head quarter, Stadion San Siro Milan untuk pembukaan, dan Stadion Olimpico, Roma untuk laga final. Begitu juga di Amerika 1994, Stadion Soldier Chicago Field, untuk laga awal, dan Stadion Rose Ball, Pasadena, untuk penutupan. Keempat tempat itu berada di stadion.

Lalu, saat Piala Eropa 1992, Swedia, Stadion Rasunda, di Stockholm dan Stadion Ullevi di Goteborg yang menjadi head quarter. Bedanya kedua hq itu berada di luar stadion. Posisinya nyaris serupa dengan Arena-GBK. 

Para delegasi FIFA dan media, tidak repot untuk mencapai stadion. Waktu tempuh pun relatif singkat.

Jadi, penetapan Arena oleh Menpora, Zainudin Amali sangat tepat. Tinggal satu tempat lagi untuk hq-nya dan semoga itu juga tidak jauh-jauh dari stadion.

Terbatas

Sekali lagi, saya ingin berbagi pengalaman khususnya kepada wartawan-wartawan muda yang saat ini sedang bertugas. Event Piala dunia berbeda dengan kegiatan olahraga lainnya. FIFA memiliki aturan baku yang harus diikuti.

Ini terkait dengan kesempatan meliput. Meski event nya ada di Indonesia, itu tidak berarti wartawan sepakbola kita bisa meliput secara leluasa. FIFA membatasinya dengan ketat. Jadi, jangan kaget kalau kuotanya hanya total 20 persen dari jumlah yang ditentukan FIFA.

Urut-urutannya, wartawan tuan rumah, wartawan negara peserta, wartawan negara asal produk yang jadi sponsor, dan wartawan negara yang bukan peserta.

Pengetatan terjadi selepas Piala Dunia 1990, Italia. Waktu itu ada sekitar 30 wartawan Indonesia yang meliput. Sebagai contoh dari kelompok Kompas Grup saja: Kompas (6 wartawan), BOLA (4), Surya (2), grup Suara Pembaruan (3), grup Suara Merdeka (4), Pos Kota (1), PR (1), MI (1), Waspada (2), Tempo (1), Suara Karya (1), dll.

Posisi ini diprotes banyak pihak. Akibatnya di Piala Dunia 1994, jumlah peliput kita berkurang drastis. Setelah itu jumlah wartawan Indonesia yang meliput benar-benar dibatasi.

Selain itu, di piala dunia senior, wartawan yang ingin meliput diwajibkan mendaftar 6 bulan sebelum kick-off. Dan, kita diwajibkan memilih jadwal yang masih berupa kotak-kotak. Setiap laga yang kita pilih,FIFA menyiapkan tiketnya.

Artinya, Id card yang kita peroleh hanya untuk masuk ke media center. Dan terakhir, setiap wawancara khusus yang kita lakukan, FIFA membuat tarif. Ini pernah dialami oleh alm. Rudy Badil, senior saya di Kompas. Saat itu Badil sedang menunggu Luca Monte dezemolo, Ketua Panpel. Lalu, ada stafnya yang salah pengertian, meminta Badil ke ruang lain. Ternyata di sana ada pelatih Kamerun asal Soviet, Valery Nepomnyashchy. Badil tak menyia-nyiakan kesempatan, ia langsung mewawancarai.

Begitu selesai, ia disodori tagihan 5000 USD. Setelah beradu argumentasi, Badil akhirnya dibebaskan. Tapi, ia diwajibkan membuat surat pernyataan tak akan menurunkan wawancara dalam bentuk apapun.

Begitu kisah peliputan piala dunia, semoga bermanfaat. (*)