Apakah Tuhan Beragama ?

By Admin


Helmi Hidayat

nusakini.com - Suatu ketika saya pernah mengajukan pertanyaan kepada beberapa kawan saya, apakah Tuhan beragama? 

Seorang kawan saya langsung menyahut, ya Allah beragama. Agama-Nya Islam, katanya. Seorang kawan lain terdiam, lama tak menyahut, tapi saya tahu dia sedang berpikir keras. Jika Tuhan beragama, apa agama yang Dia anut? Jika tak beragama, berarti Tuhan kafir padahal Allah sendiri tidak menyukai kekafiran. Jika benar Tuhan kafir, berarti Dia masuk neraka. Masa Tuhan masuk neraka? 

Saya sangat mengenal cara berpikir kawan saya yang kontan menjawab Allah beragama dan agama-Nya Islam pula. Dia mewakili banyak teman saya sesama Muslim yang berpendapat hanya Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW sajalah yang paling benar, agama lain salah. 

Buat dia, di dunia ini orang memilih agama hanya karena faktor salah dan benar, tanpa membuka ruang lain; misalnya syariat agama ini ringan, syariat agama itu berat; agama ini rasional, agama itu irasional. Pilihan kan bukan hanya benar dan salah? Ada banyak opsi lain. Orang seperti ini biasanya gemar menggunakan kacamata kuda, malas melihat dunia dari sisi lain dengan mata Elang yang melihat bumi dari ketinggian. 

Saya juga mengenal cara berpikir kawan kedua saya yang sangat antroposentris merenung tentang Allah. Berkutat dengan antroposentrisme seperti itu sangat mungkin dia gagal mengenal Zat Maha Suci. Misalnya bisakah dia menjawab: ‘’Masa Tuhan beragama? Agama ‘kan untuk umat manusia?’’ 

Akhirnya saya jelaskan bahwa sejak awal, Allah telah memperkenalkan Diri-Nya dengan banyak nama kepada umat manusia, antara lain al-Muhaimin, artinya Zat Yang Maha Mengatur. Itu berarti Allah adalah Sang Maha Manajer. Sebagai Manajer Teragung, mustahil Dia menghendaki, apalagi menyukai, ketidakteraturan. 

Namun, ketika Allah menciptakan jagad raya yang sangat luas ini, risiko penghuninya tidak teratur sangat mungkin terjadi. Karena itulah benda-benda langit dan para penghuninya diminta menjalankan nilai-nilai yang penuh dengan ajaran keteraturan. Nilai-nilai itu disebut ‘’Islam’’, artinya berserah diri. Mereka diminta ‘’berislam’’ baik secara paksa atau suka rela. Al-Quran kemudian menegaskan planet-planet di jagad raya itu secara suka rela berislam – sebuah kata dalam bahasa Arab yang berarti berserah diri (QS ‘Ali Imran (3): 83). 

Tapi, Allah ingin kehebatan Diri-Nya teruji, bukan hanya diakui secara robotik dan mekanistik. Kepatuhan malaikat bersifat robotik karena makhluk-makhluk itu tak punya potensi membangkang, sedang ketertundukan Matahari dan bermiliar planet lain adalah mekanistik. Maka, Dia ciptakanlah makhluk yang punya potensi membangkang, mampu merusak di muka Bumi dan menumpahkan darah. Mereka disebut manusia (QS Al-Baqarah (2): 30). 

Tentu saja Allah menghendaki mereka juga teratur. Maka diturunkanlah nilai-nilai langit untuk menertibkan mereka, yang dengan nilai-nilai itulah seluruh jagad raya teratur. Nilai-nilai ini oleh Al-Quran disebut ‘’diin’’ Islam, keberserahdirian. Nilai-nilai yang sama itu ditransfer kepada sejumlah orang pilihan yang disebut nabi (pemberi kabar), di tempat dan zaman berbeda-beda. 

Karena itu wajar jika semua nabi disebut oleh Al-Quran memeluk ‘’diin’’ Islam alias Muslim. Ratu Balqis berislam (berserah diri) bersama Nabi Sulaiman (QS an-Naml (27): 44). Nabi Ibrahim AS dan keturunannya bahkan dengan tegas disebut Muslimun oleh Allah. ‘’(Ikutilah) agama nenek moyang kalian Ibrahim. Dia (Allah) telah menamakan kalian Muslimun (orang-orang Muslim) sejak dulu, ‘’ kata Allah dalam QS Al-Hajj (22): 78.   

Karena Ibrahim seorang Muslim, ia pasti menurunkan agama Islam kepada semua keturunannya. Kedua anaknya, Ishak dan Ismail, pasti beragama Islam. Cucunya yang bernama Ya’kub, yang nanti menurunkan Bani Israel, juga beragama Islam. Demikianlah seterusnya para nabi keturunan Ibrahim beragama Islam. Makanya, oleh Al-Quran, Nabi Isa alias Nabi Yesus AS sebagai nabi terakhir dari kalangan Bani Israel beserta semua pengikutnya juga disebut Muslimun (QS. Ali 'Imran 3: Ayat 52).  

Dari sini bisa dipahami mengapa ketika berdakwah di Makkah, Rasulullah SAW hampir tak menyentuh ahlul kitab (Nashrani dan Yahudi), tapi lebih terfokus pada kaum pagan penyembah berhala. Para ahlul kitab di Makkah tak perlu disentuh sebab mereka sudah Muslim. 

Inilah sebabnya Nabi SAW dengan ringan memerintahkan para sahabatnya dua kali hijrah ke Habasyah, padahal raja dan seluruh rakyat negeri itu beragama Nashrani. Kemungkinan para sahabat masuk agama Nashrani sangat besar, apalagi belum semua ajaran langit yang diturunkan kepada Nabi SAW selesai ditransfer. 

Kemungkinan itu jadi kenyataan. Salah satu sahabat bernama Ubaidillah bin Jahsy masuk Kristen. Sampai akhir hayat dia tetap beragama Kristen dan tak pernah diperintahkan oleh Rasulullah SAW untuk menceraikan istrinya, Ummu Habibah, yang telah memeluk agama yang dibawa Rasulullah SAW.

Karena para nabi beragama Islam dan Nabi Muhammad SAW pun nantinya diperintahkan menyiarkan ‘’diin’’ yang sama, yakni Islam, tak berlebihan jika dikatakan semua agama sama sebab semua ajaran itu datang dari sumber yang sama. Artinya, semua nilai yang diturunkan pada para nabi itu sama mengajarkan bahwa Allah adalah Tuhan yang satu. Al-Quran dalam surat al-Ikhlas mengajarkan ‘’Allahu Ahad’’, sedangkan Bible dalam Markus 12:29 menyebut: ‘’Jawab Yesus: ‘Hukum yang terutama ialah: Dengarlah, hai orang Israel, Tuhan Allah kita, Tuhan itu Esa.’’

Jika kedua kitab suci itu mengajarkan keesaan Allah yang sama, lalu di mana perbedaan agama-agama? Ini sekali lagi membuktikan bahwa nilai-nilai langit yang diterima Yesus, Muhammad, dan para nabi sebelum mereka adalah sama dalam bentuk ‘’diin’’, yakni Islam. Makanya Allah berfirman dalam QS Ali Imran ayat 19: 

اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ الْاِ سْلَا مُ ۗ

"Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam.’’

Berdasarkan ayat ini mudah dipahami mengapa paganisme di Makkah ditolak, politeisme yang menuhankan dewa-dewa juga ditolak. Semuanya tidak sesuai dengan ajaran Islam yang diturunkan kepada Ibrahim AS, yang mengajarkan keesaan Allah SWT.

Namun demikian, jika benar kepada para nabi diturunkan satu ‘’diin’’ yang sama yakni Islam, lalu mengapa ada banyak agama di dunia ini dengan nama berbeda-beda? Jawabannya, ternyata Al-Quran menyebut agama dengan dua terma sekaligus, ‘’diin’’ dan ‘’millat’’. 

Ketika nilai-nilai langit yang dikandung dalam ''diin'' diturunkan lalu dilaksanakan oleh umat manusia, mereka kemudian mendikte, mencatat, dan mengabadikannya dalam suhuf-suhuf, dalam kitab-kitab, lalu jadilah apa yang mereka catat itu sebagai ''millat''. Ini sesuai dengan makna ''millat'' itu sendiri yakni tulisan dan dikte (imla’), seperti ungkapan umum dalam bahasa Arab امللت الكتاب. Makna millat serupa ini terdapat dalam QS al-Baqarah (2) ayat 282 yang menjelaskan transaksi dagang dan aktivitas sosial lainnya harus dicatat dan ditulis.  

Dalam konteks beragama, hasil catatan atau ‘’millat’’ itulah yang nantinya kita kenal sebagai kredo, tradisi, kebudayaan, tatanan sosial, yang semuanya tercatat dan diwariskan turun-temurun selama ribuan tahun. Setiap kaum merasa terikat, merasa nyaman, terhadap kebudayaan yang berbasis nilai-nilai langit ini dan pada gilirannya memiliki keberpihakan (primordialisme) yang kuat. 

Setiap kaum, setiap bangsa, setiap umat, pasti merasa bangga dengan ‘’millat’’ mereka. Jika perlu, ‘’millat’’ mereka inilah yang berlaku dan menjadi hegemoni dunia. Karena itu, ketika menyatakan bahwa kaum Yahudi dan kaum Nashrani tidak akan ridho pada Muhammad sampai Nabi mengikuti mereka, Allah tidak menggunakan frasa ‘’diin’’, melainkan frasa ‘’millat’’ dalam firman-Nya pada QS Al Baqarah (2) ayat 120: 

وَلَنْ تَرْضٰى عَنْكَ الْيَهُوْدُ وَلَا النَّصٰرٰى حَتّٰى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ

"Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti ‘’millat’’ mereka.’’

Dari sini bisa dipahami mengapa ‘’millat’’ membuat umat beragama jadi terkotak-kotak, masing-masing membuat garis demarkasi yang jelas untuk membedakan satu dengan lainnya. 

Dari penjelasan itu saya mengajak kawan saya tadi untuk pandai-pandai meletakkan secara arif porsi ‘’diin’’ dan ‘’millat’’ dalam melihat perbedaan agama-agama di dunia. Jika ada yang memprovokasinya agar dia membenci agama tertentu atau penganut agama lain, saya ingatkan bahwa semua agama sama sebagai ‘’diin’’ tapi tampak berbeda-beda sebagai ‘’millat’’. Saya mengajaknya untuk tidak mencampuradukkan keduanya agar ia adil menyikapi perbedaan agama.

Kepada kawan saya tadi saya juga bertanya, apa rahasia setiap umat sangat mencintai ‘’millat’’ mereka dan cenderung berbangga-bangga? Saya jelaskan, ternyata untuk menggapai keindahan ‘’diin’’ dibutuhkan jalan. Dalam bahasa Arab, jalan ini disebut ‘’syariat’’, kata jadian dari kata syara’a yang bermakna jalan menuju sumber air. Agama tentu sumber air kehidupan, yang berpusat dari Maha Sumber. Agar manusia mencintai kandungan ‘’diin’’ yang tercatat dalam ‘’millat’’, Allah kemudian menyisipkan kenikmatan dan kebahagiaan di hati setiap orang yang menjalankan ‘’syariat’’ tadi (QS Al-Hujurat (49): 7).

Jika tak percaya, tanya saja seorang Yahudi yang menangis tersedu di depan Tembok Ratapan. Jika tak percaya, tanya saja seorang Muslim yang setiap bulan berangkat umrah, lalu menangis tersedu-sedu di depan Kabah. Itulah keindahan ‘’syariat’’ yang membuat setiap orang mencintai ‘’millat’’ masing-masing. 

Sebagai ilustrasi, seorang kawan saya penganut Kristen Protestan mengaku dinding rumahnya menempel dengan dinding mushalla. Setiap waktu salat tiba, ia dan kelurganya mendengar suara azan dilantunkan seolah Toa menempel di kuping mereka. Anak-anaknya bahkan hafal al-Fatihah dan lapal azan sebab setiap hari mereka mendengar semua bacaan itu. 

Apakah karena itu mereka jadi masuk Islam? Tidak. Mereka cinta ‘’millat’’ mereka, bahagia menjalankan ‘’syariat’’ yang tercatat dalam ‘’millat’’ mereka, dan karena itu tak menemukan alasan untuk menapaki jalan orang lain. 

Kawan, jika Allah kita ibaratkan satu titik yang harus dituju, Zat Maha Suci itu memberikan banyak jalan kepada umat manusia untuk mencapainya. Di setiap jalan itu ada taman-taman indah tersendiri yang kepadanya orang yang melalui jalan itu jatuh cinta. Mereka merasa jalan itulah yang paling indah, paling baik, sebagian malah merasa paling benar. Di sinilah dimulainya persaingan antara pengikut agama-agama untuk membangga-banggakan jalan yang mereka lalui selama ini. Padahal, tujuan kita semua sama, untuk mencapai titik terindah bernama Alfa Omega -- Al-Awwalu wal-Akhiru. 

Jika saja setiap orang sadar bahwa tujuan diturunkannya agama adalah untuk membuat semua manusia teratur, harmonis bersama alam, niscaya mereka akan selalu berpikir apa kontribusi yang bisa mereka berikan kepada kemanusiaan dan alam sebagai dampak mereka beragama. Jadi bukan malah membangga-banggakan ‘’millat’’ mereka sambil mengatakan ‘’millat’’ orang lain salah, padahal semua agama itu bermula dari Maha Sumber yang sama. 

Selamat tahun baru 1443 Hijriah. Jangan berhenti pada festival pergantian tahun. Jadikan momentum pergantian tahun untuk berhijrah dari pikiran lama dalam beragama menuju pikiran baru yang lebih mencerahkan. 

Jakarta, 10 Agustus 2021/1 Muharram 1443 H

Helmi Hidayat