Apa Itu Deklarasi Istiqlal? Begini Penjelasannya
By Admin
nusakini.com, Denpasar Selatan – Gelaran Tri Hita Karana berlangsung di Bali, 14-15 Desember 2024. Giat ini melibatkan Kementerian Agama, Kementerian Komunikasi dan Digital, Kementerian Hak Asasi Manusia, Kementerian Pendidikan Tinggi, Riset, Sains, dan Teknologi, Unity In Diversity Creative Campus, Jaringan Gusdurian, serta sejumlah tokoh agama dan spiritualisme di Indonesia dan Internasional.
Salah satu tema yang dibahas adalah Deklarasi Istiqlal. Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan antara Agama dan Kepercayaan Konferensi Wali Gereja Indonesia, Agustinus Heri Wibowo atau Romo Heri, menjelaskan latar belakang Deklarasi Istiqlal yang menyedot perhatian audiens dalam pertemuan itu. Ia mengatakan, Deklarasi ini lahir sebagai diplomasi lintas iman yang berfokus pada isu kemanusiaan dan pelestarian lingkungan.
“Deklarasi Istiqlal berawal dari kebahagiaan karena sebuah perjumpaan lintas agama. Draft dasarnya itu sebenarnya ketika Paus datang, lalu Imam Besar (Masjid Istiqlal) Nasaruddin Umar memberi sambutan, dan Paus Fransiskus memberikan pidato. Dari sanalah pijakan utama deklarasi ini,” ujar Romo Heri dalam sesi diskusi Merajut Harmoni dalam Beragama di acara Tri Hita Karana Forum di Denpasar Selatan, Minggu (15/12/2024).
Menurutnya, dalam kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia pada September 2024, Imam Besar Nasaruddin Umar bersama tim menyusun deklarasi sebagai peneguhan komitmen lintas agama. Deklarasi tersebut kemudian dikirim ke Vatikan dan mendapat sambutan positif.
“Deklarasi ini mencerminkan keselarasan antara nilai-nilai agama dan falsafah kebangsaan Indonesia. Bahkan, Vatikan memberi kontribusi dengan menambahkan unsur Pancasila dalam naskah deklarasi,” tambahnya.
Romo Heri menyebut, Deklarasi Istiqlal muncul dari kepedulian bersama terhadap krisis global seperti dehumanisasi dan perubahan iklim. “Persoalan ini bukan hanya milik satu agama, tetapi menjadi masalah kita semua. Paus dengan ensiklik Laudato Si dan Imam Besar Masjid Istiqlal dengan gerakan peduli ekologi menunjukkan bahwa kita memiliki chemistry yang sama,” ungkapnya.
Terpisah, Kepala Subdirektorat Kemasjidan Kementerian Agama, Akmal Salim Ruhana menambahkan, Deklarasi Istiqlal merupakan respons terhadap dua krisis besar dunia, yakni dehumanisasi dan perubahan iklim.
“Deklarasi ini menegaskan bahwa nilai-nilai agama adalah sumber solusi atas tantangan global, mulai dari dehumanisasi, perubahan iklim, hingga ketimpangan sosial,” ujar Akmal kepada wartawan, Senin (16/12).
Akmal juga menegaskan, deklarasi ini menunjukkan aksi nyata dari dialog lintas agama. “Pemasangan panel surya di Masjid Istiqlal dan Katedral Jakarta adalah contoh bagaimana agama-agama di Indonesia bekerja sama untuk menjaga lingkungan,” jelasnya.
Berikut isi Deklarasi Istiqlal 2024 yang ditandatangani oleh Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar dan Paus Fransiskus:
Deklarasi Istiqlal 2024
Membangun Kerukunan Umat Beragama Demi Kemanusiaan
Seperti yang dapat dilihat dari berbagai peristiwa beberapa dekade terakhir, dunia kita jelas tengah menghadapi dua krisis serius: dehumanisasi dan perubahan iklim.
1. Fenomena dehumanisasi global ditandai terutama oleh meluasnya kekerasan dan konflik, yang sering kali menimbulkan jumlah korban yang mengkhawatirkan. Yang lebih memprihatinkan lagi, agama sering kali diinstrumentalisasi dalam hal ini, yang menyebabkan penderitaan bagi banyak orang, terutama perempuan, anak-anak, dan orang tua. Akan tetapi, peran agama seharusnya mencakup upaya untuk memajukan dan menjaga martabat setiap kehidupan manusia.
2. Eksploitasi manusia terhadap ciptaan, rumah kita bersama, telah menyebabkan perubahan iklim, yang mengakibatkan berbagai konsekuensi yang merusak seperti bencana alam, pemanasan global, dan pola cuaca yang tidak dapat diprediksi. Krisis lingkungan yang sedang berlangsung ini telah menjadi hambatan bagi koeksistensi masyarakat yang harmonis.
Menanggapi kedua krisis ini, dengan berpedoman pada ajaran agama kita masing-masing dan mengakui kontribusi prinsip filosofis Indonesia "Pancasila", kami bersama para pemimpin agama lain yang hadir menyerukan hal-hal berikut:
i. Nilai-nilai yang dianut oleh tradisi agama kita harus dipromosikan secara efektif untuk mengalahkan budaya kekerasan dan ketidakpedulian yang melanda dunia kita. Sesungguhnya, nilai-nilai agama harus diarahkan untuk mempromosikan budaya rasa hormat, martabat, kasih sayang, rekonsiliasi, dan solidaritas persaudaraan untuk mengatasi dehumanisasi dan kerusakan lingkungan.
ii. Para pemimpin agama khususnya, yang terinspirasi oleh narasi dan tradisi spiritual masing-masing, harus bekerja sama dalam menanggapi krisis tersebut di atas, mengidentifikasi penyebabnya, dan mengambil tindakan yang tepat.
iii. Karena ada satu keluarga manusia global, dialog antaragama harus diakui sebagai instrumen yang efektif untuk menyelesaikan konflik lokal, regional, dan internasional, terutama yang dipicu oleh penyalahgunaan agama. Selain itu, kepercayaan dan ritual keagamaan kita memiliki kapasitas khusus untuk menyentuh hati manusia dan dengan demikian menumbuhkan rasa hormat yang lebih dalam terhadap martabat manusia.
iv. Mengakui bahwa lingkungan hidup yang sehat, damai, dan harmonis sangat penting untuk menjadi hamba Tuhan sejati dan penjaga ciptaan, kami dengan tulus menyerukan kepada semua orang yang berkehendak baik untuk mengambil tindakan tegas guna menjaga integritas lingkungan alam dan sumber dayanya, karena kami telah mewarisinya dari generasi sebelumnya dan berharap untuk mewariskannya kepada anak cucu kami.