Agama-Agama dalam Pandangan Sayyid Husain Fadlullah : Tafsir Surah al-Baqarah ayat 62

By Admin


Oleh: Lu’lu’atul Maria Ulfah

Mahasiswi Sekolah Tinggi Filsafat Islam (STFI) Sadra

nusakini.com - Agama telah menjadi identitas yang dipertentangkan sepanjang sejarah. Dalam Fields of Blood: Mengurai Sejarah Hubungan Agama dan Kekerasan, Armstrong mengurai konflik dan peperangan atas nama agama yang terjadi dalam sejarah. Setiap agama mempunyai cerita tersendiri untuk membasmi agama lain dan demi memperluas ajarannya. Perselisihan itu tidak pernah memiliki kekosongan dalam sejarah, hingga sekarang dan nanti, agama hampir selalu memicu tindak kekerasan. Namun, tidak satu sisi saja, agama juga adalah pemicu harmonisasi sosial dan tindakan kemanusiaan. Bukan tanpa alasan, keduanya berasal dari agama, tetapi dengan paradigma yang berbeda. Agama yang dibangun oleh kerangka eksklusif cenderung menegasikan agama-agama selainnya, sedangkan jika dibangun oleh inklusivisme maka agama justru lebih bermanfaat dalam menghadapi kenyataan sosial yang plural. 

Dua paradigma itu berawal dari cara berpikir dalam menyikapi teks-teks sumber agama. al-Qur’an, pada saat yang sama, bisa dimasuki secara ekslusif maupun inklusif karena ia adalah teks yang terbuka untuk diolah pikiran manusia. Sejarah kekerasan dan peperangan atas nama agama dalam catatan sejarah adalah momok bagi ekslusivisme agama. Setelah melihat depresi keagamaan seperti itu, para pemikir dan ulama kontemporer mulai menyelaraskan paradigma beragama secara inklusif. Lahir banyak ulama pluralis di tubuh Islam, di antaranya Sayyid Husain Fadlullah. Seorang ulama lebanon yang mengalami langsung pluralitas beragama di Lebanon dan menghasilkan pikiran-pikiran unik dalam menyikapi hal itu.

Ia merekonstruksi cara pandang al-Qur’an terhadap agama-agama. Bagaimana status mereka di hadapan Allah swt? Apakah amal baik mereka diterima di akhirat? Pertanyaan-pertanyaan itu bisa dijawab melalui penyimpulan dari beberapa ayat-ayat al-Qur’an yang membahas tentang syarat penerimaan agama-agama dari ayat berikut ini.

اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَالَّذِيْنَ هَادُوْا وَالنَّصٰرٰى وَالصَّابِــِٕيْنَ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ اَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْۚ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُوْنَ ٦٢

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang sabi'in, siapa saja (di antara mereka) yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya, tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati.” (Terjemah Kemenag 2002)

Dalam ayat di atas terdapat tiga kelompok yang disebutkan, yaitu orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan Sabi’in. Sayyid Husein Fadlullah memaknai orang-orang beriman adalah orang Islam. Kata Hadu dinisbahkan pada Yahudza, seorang anak paling tua Nabi Ya’qub as. Kata Nasara adalah bentuk plural dari kata tunggal maskulin nasran dan feminimnya nasranah, seperti kata Sakara jamak dari kata sakran dan sakranah. Disebutkan bahwa kata ini merupakan nisbah pada sebuah kota bernama Nasirah atau Nazareth di bumi Palestina. Sabi’in dimaknai sebagai orang yang berpindah dari satu agama ke agama yang lain. Sabi’in ini tidak terbatas pada kelompok agama tertentu yang menyembah bintang atau berhala-berhala tertentu, tetapi mencakup banyak aliran dan kepercayaan yang melakukan perpindahan dari kepercayaan lainnya. Tiga identitas yang disebut di atas memiliki potensi untuk selamat di akhirat. Amal ibadah mereka ada kemungkinan untuk diterima di sisi Allah swt selama memenuhi syarat-syaratnya.

Selanjutnya, jika diperhatikan lebih dalam, ayat ini dengan gamblang menyebutkan tiga syarat utama diterimanya kebaikan seseorang, sehingga ia layak mendapatkan pahala. Pertama, keimanan kepada Allah swt, sebagai syarat yang paling pokok bagi seorang hamba. Penekanan penting di sini ialah keyakinan pada Nabi Muhammad sebenarnya tidak terpisah dari keyakinan kepada Allah swt, karena kepatuhan pada Nabi merupakan perintah dari Allah swt. Kedua, keyakinan terhadap hari akhir atau adanya balasan terhadap setiap perbuatan baik dan buruk yang telah diperbuat. Syarat ketiga mengaktualkan dua syarat sebelumnya, yang hanya berada pada ranah keimanan saja, yaitu beramal saleh.

Ketiga syarat itu begitu longgar dan boleh jadi bisa diterapkan pada agama lain selain Islam. Tidak ada ketentuan harus mengikuti mazhab atau fikih tertentu untuk selamat di akhirat. Praktik manusia selama berupa amal saleh dan dilandasi oleh keimanan terhadap Allah swt dan Hari Akhir, dalam makna zahir ayat ini, mendapatkan balasan yang baik di akhirat. Alih-alih menolak kemungkinan agama, kepercayaan, atau mazhab lain salah dan amal saleh mereka tidak diterima oleh Allah swt; Ayat ini mengajarkan kita bahwa esensi dan status agama mesti memenuhi tiga syarat itu saja. Tanpa perlu melihat identitas atau nama yang mereka gunakan. Menurut Allamah Thaba Thaba’i dalam al-Mizan, identitas banyak yang disalahartikan sehingga mengaggap nama sebuah kepercayaan sebagai syarat keselamatan di akhirat. Lebih jauh lagi, jika identitas yang bernama “Islam” saja yang akan selamat, hal itu tidak sesuai dengan maksud ayat ini. Oleh karena itu, nama, identitas, atau simbol hanya sekadar sesuatu yang terlihat secara zahir, hakikatnya ialah keimanan dan amal saleh.

Apakah Ayat ini Dimansukh?

Sayyid Husain Fadlullah menanggapi sebagian mufassirin yang meyakini ayat 62 al-Baqarah sudah dihapus oleh ayat 85 surah Ali Imran, yaitu:

وَمَنْ يَّبْتَغِ غَيْرَ الْاِسْلَامِ دِيْنًا فَلَنْ يُّقْبَلَ مِنْهُۚ وَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ ٨٥

Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.

Sebagian mufassir mengaggap Islam dalam ayat ini bermakna agama khusus yang dibawa oleh Nabi Muhammad sehingga mengilangkan validitas agama-agama selain Islam. Dengan begitu al-Baqarah ayat 62 sudah dihapus oleh ayat 85 di atas. Namun, Sayyid Fadlullah dalam tafsirnya, menganggap bahwa ayat ini tidak menafikan ayat yang sudah dijelaskan sebelumnya, karena makna “Islam” secara zahir pada ayat ini bersifat umum dan mencakupi semua risalah-risalah samawiyah. Pada surah Ali Imran itu bukan berarti Islam secara istilah, sebagaimana yang diisyaratkan pada surah Ali Imran ayat 19 berikut ini.

اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ الْاِسْلَامُ… ١٩

Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam

Lebih jelas lagi jika kita memperhatikan qarinah atau indikasi dalam pengertian “Islam” universal ini pada surah al-Baqarah ayat 131-132 ini.

اِذْ قَالَ لَهٗ رَبُّهٗٓ اَسْلِمْۙ قَالَ اَسْلَمْتُ لِرَبِّ الْعٰلَمِيْنَ ١٣١ وَوَصّٰى بِهَآ اِبْرٰهٖمُ بَنِيْهِ وَيَعْقُوْبُۗ يٰبَنِيَّ اِنَّ اللّٰهَ اصْطَفٰى لَكُمُ الدِّيْنَ فَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ ۗ ١٣٢

(Ingatlah) ketika Tuhan berfirman kepadanya (Ibrahim), “Berserahdirilah!” Dia menjawab, “Aku berserah diri kepada Tuhan seluruh alam.”

Dan Ibrahim mewasiatkan (ucapan) itu kepada anak-anaknya, demikian pula Yakub. “Wahai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini untukmu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim.”

Ayat itu menjelaskan tentang kepasrahan Ibrahim kepada Tuhan semesta alam. Islam telah menjadi agama bagi orang-orang yang berserah diri kepada Tuhan, ia bahkan menjadi wasiat untuk anak-anak Ibrahim as yang akan melahirkan tiga agama besar. Di sini menujukkan bahwa Islam yang dimaksud tidaklah secara istilah, melainkan kepasrahan yang sudah ada melalui agama-agama anak Ibrahim. Lebih lanjut lagi, agama pada intinya merupakan kepatuhan kepada Tuhan dan amal saleh. Bagi Sayyid Fadlullah, akidah secara murni tidaklah menjamin keselamatan. Bahkan tiap-tiap umat beragama berpotensi mendapatkan keselamatan jika dia beramal saleh dan mengikuti agamanua dengan taat.

Hakikat balasan Allah swt tidak pada nama dan identitas yang dikenali melalui akidahnya, tetapi pemikiran dan amal mereka. Hal itulah yang menjadi penyebab ekslusivisme beragama karena berhenti pada identitas. Seharusnya menelisik lebih jauh ke dalam setiap agama-agama itu. Intinya, status setiap agama yang diturunkan oleh Allah swt akan membawa penganutnya ke jalan keselamatan selama mereka bertemu dengan syarat-syarat keimanan dan amal saleh. Dengan begitu, tidak ada lagi penghakiman terhadap agama atau kepercayaan lain secara serampangan. Boleh jadi mereka yang selamat di akhirat sedangkan kita lah yang menghakimi bersedih.