Profile

La Ode Sirad

Tempat Lahir : Raha, Kabupaten Muna

Tanggal Lahir : 08/08/1940


Description

La Ode Sirad, yang akrab dipanggil Imbo, adalah putra keenam La Ode Dhika, Raja Muna kedua dari urutan terakhir. Imbo tak hanya peduli terhadap nasib masyarakat bawah yang tidak berdaya di depan hukum, tetapi dia juga prihatin pada kelangsungan bahasa daerah Muna. Mantan pegawai Bank BNI itu bercerita orang-orang asal Muna yang sekarang tinggal di kota semakin jarang yang mau menggunakan bahasa daerah Muna, bahasa nenek moyangnya. Setidaknya itulah hasil pengamatannya. Menurut Imbo, orang asal Muna berbeda dengan mereka yang berasal dari Buton atau Tolaki. Dua kelompok etnis tersebut dinilainya masih suka menggunakan bahasa daerah mereka meski dalam lingkungan resmi, seperti di kantor kantor pemerintahan. Sejatinya, orang Muna adalah penduduk asli yang berdiam di Pulau Muna tepatnya pesisir Pulau Buton. Pulau-pulau kecil di sekitarnya antara lain Kadatua, Siompu, dan Talaga. Etnis Muna merupakan salah satu kelompok terbesar warga Kota Kendari. Secara administratif, mereka mendiami Kabupaten Muna dengan populasi 290.358 jiwa menurut data tahun 2006, dan mereka juga mendiami beberapa tempat seperti, Kabupaten Buton, Kabupaten Bombana, dan Kota Kendari. Merasa khawatir bahasa Muna segera punah, Imbo berusaha melestarikan bahasa daerah itu. Cara yang dia lakukan adalah dengan menyusun kamus lengkap Bahasa Muna-Bahasa Indonesia. Selama dua tahun terakhir ini dia berhasil menghimpun kosakata, derivasi, dan ungkapan dalam bahasa Muna sebanyak 13.000 data dan kata. Dalam membuat manuskrip kamus tersebut, pria berusia 67 tahun ini menggunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kedua terbitan 1991 sebagai panduan. Sebagai proses awal, kamus tersebut dialihkan ke dalam bahasa Muna agar teknis penulisan dianggap mudah. Prof. Dr. La Ode Sidu Marafad, dosen Bahasa Indonesia pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Haluoleo Kendari merupakan anggota Tim Penyusun KBBI edisi pertama (1988). Dia sangat menghargai usaha Imbo melestarikan bahasa Muna dengan cara menyusun kata ke dalam kamus. Bagi Sidu, punahnya suatu bahasa daerah merupakan kecelakaan sejarah peradaban sebuah komunitas etnis. Sebab, bahasa merupakan identitas dan budaya dasar manusia dari sebuah kelompok sosial atau etnis. Secara teknis, penyusunan Kamus Bahasa Muna-Bahasa Indonesia yang dilakukan Imbo sudah rampung. Manuskripnya hanya tinggal diketik rapi, untuk selanjutnya dibawa ke percetakan. Pemerintah Kabupaten Muna melalui Sekretaris Daerah La Ode Kilo menyatakan sanggup membantu membiayai penerbitan kamus bahasa daerah tersebut. Pasalnya, kalau menunggu dari Imbo tak mungkin. Sudah lima tahun terakhir ia "pensiun" sebagai kontraktor proyek pemerintah berskala kecil dan sesekali berbisnis kayu jati sebelum hutan jati Muna habis dijarah. Kehidupan Imbo kian meredup termakan usia, kecuali semangat dan idealisme yang masih berkobar-kobar. Sebelum menekuni pembuatan kamus bahasa daerah, selama belasan tahun Imbo sempat berpraktik sebagai pemberi bantuan hukum tanpa dibayar oleh mereka yang memiliki kasus di pengadilan. Imbo memang bukan sarjana hukum. Namun, dia gemar membaca buku-buku hukum. Sebuah lemari buku di kamar kerjanya berisi buku-buku yang umumnya tentang hukum. Salah satu koleksi buku Imbo adalah Hukum Pidana berisi kumpulan kuliah Prof. Satochid Kartanegara, SH dan pendapat-pendapat para ahli hukum terkemuka lainnya. Sulitnya masyarakat menengah-bawah untuk mendapatkan rasa keadilan bila ingin menyelesaikan masalah melalui lembaga peradilan menjadi motivasi paling kuat bagi Imbo untuk belajar hukum secara otodidak. Perkembangan dunia hukum di Indonesia memunculkan peluang bagi lulusan SMA Negeri 1 Kendari tahun 1969 ini dengan berperan membela rakyat kecil di pengadilan. Negara menyediakan advokat bagi warga yang tak mampu membayar pengacara menyusul berlakunya KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) pada akhir 1981. Karena di wilayah Pengadilan Negeri (PN) Raha, ibu kota Kabupaten Muna, belum ada pengacara yang berpraktik, Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara di Kendari membuka kesempatan kepada warga setempat untuk menjadi penasihat hukum. Perkara terakhir yang dia tangani adalah sengketa tanah (perdata) pada 1997. Ia menjadi penasihat hukum La Ode Kaimoeddin, Gubernur Sulawesi Tenggara (waktu itu) yang juga kakaknya dari lain ibu. Raja Muna La Ode Dhika yang turun tahta tahun 1938 itu memiliki 11 istri dengan 27 anak.