Semangat Petani Cabai

By Admin


nusakini.com - Ramadhan adalah bulan di mana kebutuhan masyarakat akan berbagai tanaman hortikultura, termasuk cabai meningkat pesat. Karenanya, Menteri Pertanian Amran Sulaiman menekankan pentingnya menjaga ketersediaan pasokan aneka cabai, serta menjaga stabilitas harga di pasar. Untuk itu, tim upaya khusus Direktorat Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian dengan sigap menindaklanjuti arahan Menteri. Tepat pada hari ke-3 Ramadhan, Dirjen Hortikultura langsung turun ke salah satu sentra cabai nasional, yakni Kabupaten Garut, Jawa Barat. Kali ini, rombongan Dirjen menapakkan kaki ke Desa Cisarua, Kecamatan Samarang. Kecamatan ini merupakan salah satu titik penghasil aneka cabai di Garut. 

Di pinggir jalan kecil, nampak beberapa lahan pekarangan ditumbuhi aneka cabai. Di salah satu pojok, nampak dua perempuan sedang asyik bekerja. Saat dihampiri, keduanya spontan mendekat tanpa ragu. Dengan menggunakan Bahasa Sunda, yang lebih sepuh memperkenalkan diri sebagai Iyoh, berusia 60 tahunan. Ternyata Iyoh adalah buruh tani. Ia bekerja di salah satu pemilik lahan dan digaji Rp 25 ribu perhari. 

Cukupkah baginya? Janda beranak empat ini mengaku senang dengan apa yang diperolehnya. Semua anaknya sudah menikah dan otomatis ia hanya bekerja untuk menghidupi diri sendiri. Tawa riangnya saat diajak berbincang mengisyaratkan rasa syukur dengan pekerjaan yang ditekuninya sekarang. 

Perbincangan kemudian berlanjut dengan Ujang, seorang petani cabai yang memiiliki lahan terbilang luas. Saat ini ia menanami lahan seluas dua hektar dengan beberapa jenis cabai, termasuk cabai lokal yang dinamai penduduk setempat sebagai Cabai Inul. Cabai Inul ini memiliki bentuk cenderung bulat pendek, meski lebih besar dan panjang dibandingkan cabai rawit biasa. Besarnya kira-kira seukuran jempol orang dewasa. 

"ini disebut Cabai Inul karena pedasnya menggigit seperti Inul penyanyi, " jelasnya terkekeh. Selain itu, cabai ini tahan sampai seminggu di dalam suhu ruangan, meski tanpa disimpan di lemari es. Rasa dan teksturnya tetap sama seperti baru habis dipetik. Di pasaran, harga Cabai Inul juga menggigit. Rata-rata lebih mahal Rp 2 ribu per kilogram dibandingkan cabai lainnya. 

Seperti umumnya petani cabai di Garut, Ujang melakukan sistem tanam tumpangsari di lahannya. Ia bercerita bahwa ia kerap memadukan cabai dengan tanaman horti lainnya, seperi kacang tanah, kacang panjang, tomat, kubis dan terong.  

Sistem tumpangsari ini dibenarkan oleh Kepala Dinas Pertanian Garut, Beni Yoga Gunasantika, sebagai cara umum para petani cabai lokal untuk semakin menambah penghasilan. Selain itu, variasi tanaman juga bisa lebih menjamin cabai tumbuh lebih subur. Harga baik dan cabai tumbuh subur tentunya bisa tetap menjaga petani Garut selalu bersemangat untuk menanam cabai dan menjaga pasokan cabai di Indonesia. 

Terkait pasokan cabai, Beni menjelaskan bahwa produksi cabai rawit bulan Mei dan Juni adalah sebesar 2.607 ton dan 2.502 ton. Sementara untuk cabai besar masing masing 8.319 ton untuk Mei, serta 9.095 ton untuk Juni. Dengan kondisi seperti Ini, Beni optimistis Garut bisa menjadi penyangga minimal 30-40 % dari total kebutuhan Jabodetabek. 

Mengetahui konsistensi kemampuan petani Garut dalam menjaga produksinya, Dirjen Hortikultura Suwandi, nampak sumringah dan senang. Ditambah lagi melihat langsung kondisi pertanaman yang begitu luas dan subur di daerah dataran tinggi Garut ini, maka makin bersemangatlah ia. Di dua lokasi saja, yakni Banyuresmi dan Sampireng, luas panen aneka cabai bisa mencapai 500 Ha. Jika rata-rata produksi 10 ton per hektar saja, maka luasan tersebut mampu menyumbang 5.000 ton cabai selama bulan Mei dan Juni. "Dari kunjungan ini kita bisa melihat bahwa persediaan cabai sangat aman, baik cabai keriting maupun cabai rawit merah. Ini tentunya bisa menjamin ketersediaan dan pasokan untuk Jabodetabek," pungkas Suwandi bersemangat. (tami)