Pertumbuhan Kepesertaan JKN Sangat Pesat

By Admin

Peserta JKN (ilustrasi) 

nusakini.com - Jika dibandingkan dengan negara lain, pertumbuhan peserta program JKN-KIS (Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat) terbilang amat pesat. Hanya dalam waktu 2 tahun lebih, program ini telah mencakup 170 juta lebih atau sekitar 67,6 persen dari total penduduk Indonesia.

Berdasarkan data Population Data CIA World Fact Book (2016) dan Carrin G. and James C. (2005), Jerman butuh waktu lebih dari 120 tahun untuk mencakup 85 persen populasi penduduk, Belgia 118 tahun untuk 100 persen populasi penduduk, Austria memerlukan waktu 79 tahun untuk menjamin 99 persen populasi penduduk, dan Jepang menghabiskan waktu 36 tahun untuk 100 persen populasi penduduk.

Cakupan kepesertaan JKN yang makin luas ini pun diakui dunia dalam acara Forum Mundial De La Seguridad Social (World Social Security Forum) yang diselenggarakan oleh International Social Security Asscociation (ISSA) di Panama City pada 14-18 November 2016. Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris membawa nama Indonesia hadir sebagai panelis dalam dua sesi di forum ini.

Fachmi Idris memaparkan mengenai tantangan keberlanjutan, kolektibilitas, serta peran pemerintah daerah dan Kader JKN dalam pelaksanaan program JKN di Indonesia. Fachmi juga memaparkan mengenai implementasi home care service di Indonesia.

Menurut Fachmi, menjadi lembaga pengelola program jaminan kesehatan terbesar di dunia bukan berarti tanpa tantangan. Tantangan utamanya, kata Fachmi, terletak pada kesenjangan dari sisi cakupan kepesertaan, finansial, dan kualitas pelayanan kesehatan. Pemerintah banyak berkontribusi menjaga keberlangsungan program JKN, di antaranya membiayai PNS, dan masyarakat kurang mampu melalui skema Penerima Bantuan Iuran (PBI).

“Namun keberlangsungan program JKN tak lepas dari peran masyarakat dari sektor informal yang sehat, produktif, dan mampu. Sayangnya, partisipasi masyarakat dari kalangan tersebut belum maksimal. Inilah yang disebut sebagai the missing middle,” kata Fachmi.

Fachmi mengatakan, belum terdaftarnya sebagian Pekerja Penerima Upah (PPU) atau pegawai badan usaha, antara lain disebabkan karena pendaftaran menjadi peserta JKN dianggap memakan waktu. Selain itu, kelompok PPU telah mendapat perlindungan dari asuransi yang dikelola perusahaan atau asuransi swasta.

Mengatasi kondisi ini, lanjut Fachmi, BPJS Kesehatan membangun sistem E-DABU untuk memangkas waktu pendaftaran calon peserta dari segmen badan usaha. Selain itu, BPJS Kesehatan juga menciptakan mekanisme Coordination of Benefit (CoB) untuk mengolaborasikan manfaat non-medis antara BPJS Kesehatan dengan asuransi swasta yang dimiliki calon peserta mandiri tersebut.

Dari segi finansial, untuk mengatasi kesenjangan antara penerimaan iuran peserta dengan beban biaya pelayanan kesehatan, sejumlah upaya yang dilakukan BPJS Kesehatan. Misalnya, dengan memperluas jaringan pembayaran, menerapkan kebijakan virtual account (VA) 1 Keluarga, di mana satu nomor VA untuk membayar seluruh tagihan iuran satu keluarga. Selain itu, meningkatkan peran pemerintah daerah untuk memacu kolektabilitas iuran, mengoptimalkan implementasi sistem pembayaran prospektif dan sistem antifraud, serta memaksimalkan program promotif preventif.

Untuk mengatasi gap dalam kualitas pelayanan kesehatan, BPJS Kesehatan telah menciptakan aplikasi Health Facility Information System (HFIS), di mana calon fasilitas kesehatan yang ingin bekerja sama dengan BPJS Kesehatan dapat mendaftar serta memantau progress-nya via online.

“Ke depan, kami juga berupaya menyempurnakan penerapan kebijakan pembayaran kapitasi berbasis komitmen di fasilitas kesehatan tingkat pertama,” kata Fachmi.

Melalui sejumlah alternatif solusi tersebut, diharapkan keberlangsungan program JKN tetap terjaga hingga mencapai Universal Health Coverage pada 2019. Fachmi pun berharap, ISSA dapat menyediakan bantuan secara berkesinambungan untuk mengatasi kesenjangan dalam pengelolaan JKN di Indonesia, khususnya hal mengatur biaya dan kualitas pelayanan kesehatan. (p/mk)