Menag: Tiga Hal Tentang KH Achmad Sjaichu

By Admin

nusakini.com--KH Achmad Sjaichu rekam jejaknya sangat panjang, beliau tidak hanya seorang kyai tapi juga seorang negarawan dan politisi. Beliau mantan ketua Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR), selanjutnya, membangun institusi pendidikan dan lembaga Ittihadul Muballighin tempat berhimpun para muballigh dan mengirimnya ke berbagai daerah. 

Demikian Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengawali pandangannya tentang pendiri Pondok Pesantren Al-Hamidiyah, Depok KH Achmad Sjaichu saat menghadiri Maulid Nabi Muhammad SAW dan Haul KH Achmad Sjaichu ke-23 di Pondok Pesantren Al-Hamidiyah, Depok, Sabtu (6/1). Hadir memberikan hikmah Maulid Nabi Muhammad SAW KH Syukron Ma’mun. 

Menag dalam uraiannya menyampaikan tiga hal tentang sosok KH Achmad Sjaichu 

Pertama, KH Achmad Sjaichu ditinggal wafat ayahnya ketika usia 2 tahun, dan dua bersaudara. Kyai Sjaichu tidak memiliki figur ayah dalam periode bayi, anak, dan menjadi remaja selanjutnya dewasa. 

“Tapi ini adalah skenario Allah Swt, almarhum memiliki semangat juang luar biasa, ditempa oleh keadaan sehingga lalu kemudian membentuk karakter dan kepribadiannya,” ujar Menag. 

Kedua, hampir seluruh hidup Kyai Sjaichu digunakan untuk kemaslahatan orang lain. 

“Ini adalah salah satu ciri orang yang baik, sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak bermanfaat bagi orang lain,” ungkap Menag. 

Ketiga, Kyai Sjaichu memiliki rekam jejak panjang, apalagi saat beliau memimpin partai Nahdhatul Ulama (NU). Dalam kiprah politiknya, terang Menag, KH Sjaihu sangat menjunjung tinggi kedamaian, suasana yang tidak menimbulkan konflik atau kerusakan (mafsadah). 

“Beliau adalah problem solver, memecahkan masalah, ia banyak memberikan kontribusi bagi solusi,” ucap Menag. 

Dikatakan Menag, Kyai Sjaichu sangat menjunjung tinggi harmoni dan kedamaian, dan hal serupa dilakukan Rasulullah. 

Menag menyampaikan, ketika sahabat bertanya kepada Nabi, bagaimana beragama yang utama?. Rasulullah menjawab, pertama, memberi makan. Makan adalah simbol dengan makna yang luas. 

“Makan adalah kebutuhan dasar mahluk hidup, dalam makna luas, makan adalah hak dasar yang wajib dipenuhi. Indikator dalam beragama adalah bagaimana memenuhi kebutuhan dasar di sekeliling kita,” ucapnya. 

Kedua, ujar Rasululah kepada sahabat, memberi salam. Dengan makna luas, ujar Menag, menebarkan kedamaian. 

“Kalau makan adalah kebutuhan fisik, maka kedamaian adalah kebutuhan psikis. Ini adalah dua simbol oleh Rasulullah sebagai dua ciri beragama,” kata Menag. 

Menag melanjutan, hal serupa ketika Rasulullah ketika ditanya para sahabatnya apa ciri kemabruran haji. Apa cirinya, Rasulullah juga menjawab, yaitu; memberi makan dan salam atau tebarkan kedamaian. 

“Jadi saya merasa, alharhum Kyai Sjaichu mampu menghayati esensi agamanya dengan baik yang dicontohkan Rasulullah. Dan ini hemat saya, dalam kondisi saat ini diperlukan. Kedamaian sangat diperlukan, memiliki relevansi dan urgensi tinggi. Kita mudah sekali terpicu, mudah reaktif melihat perbedaan yang ada, padahal belum tentu perbedan itu bukan sesuatu yang salah,” papar Menag. 

Dikatakannya, umat Islam saat ini dihadapkan pada tantangan bagaimana keragaman ini disikapi dengan kearifan, tidak untuk dipertentangkan, tapi untuk saling melengkapi, saling bersinergi.(p/ab)