Marka Molekuler Untuk Menjadikan Indonesia Produsen Utama Kakao Dunia

By Admin


nusakiini.com-Jakarta-Tanaman kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu dari 16 komoditas perkebunan unggulan yang menjadi fokus pengembangan perkebunan. Saat ini luas lahan kakao di Indonesia sekitar 1,7 juta hektar dengan produksi hanya 637.918 ton. Masalah utama kakao di Indonesia selain rendahnya produktivitas, mutu biji kakao yang dihasilkan tergolong rendah di pasaran dunia karena pada umumnya berupa biji kering tanpa fermentasi.  

Produktivitas kakao sangat beragam antar daerah di Indonesia, dan cenderung lebih rendah dari pada potensinya, yang bisa mencapai 2 ton biji kering per-hektar per-tahun. Rendahnya produktivitas kakao di Indonesia antara lain disebabkan oleh serangan hama penggerek buah kakao (PBK), penyakit busuk buah kakao (BBK) dan vascular streak dieback (VSD). Pertanaman kakao dari sumber benih asalan, menghasilkan pertumbuhan yang tidak seragam produksi dan mutu biji yang dihasilkan. Upaya untuk mengatasi masalah tersebut dapat dilakukan dengan menanam varietas unggul di lapang

Masalahnya untuk dapat menghasilkan varietas unggul kakao secara konvensional memerlukan waktu yang lama, sekitar 25-30 tahun. Karena itu upaya percepatan proses pemuliaan terus dilakukan, dan salah satu peluang ke arah itu melalui penggunaan Marka Molekuler.

Hal itu terungkap dari orasi ilmiah Prof. Dr. Rubiyo, MSi, yang disampaikan di Auditorium Sadikin Sumintawikarta, Selasa 11 Desember 2018, dengan judul orasi “Perakitan Varietas Kakao Unggul Mendukung Ekspor dan Daya Saing Kakao Indonesia”. Lebih lanjut diungkapkan Rubiyo, marka molekuler mampu memfasilitasi percepatan pengembangan varietas unggul baru kakao jika dikombinasikan dengan pemuliaan. Kemampuan marka molekuler untuk menduga genotipe tanaman dapat dijadikan sebagai dasar untuk menentukan keragaman dan potensi genetik individu dalam populasi tanaman yang dievaluasi.

Selain itu, dengan mengetahui potensi genetic, dapat dipilih tetua yang diinginkan untuk perakitan dan penyediaan varietas unggul baru kakao di Indonesia.

Sejak tahun 2017 penggunaan marka molekuler diarahkan pada upaya penciptaan varietas unggul dengan produktivitas yang tinggi, tahan terhadap hama PBK dan penyakit VSD serta BBK, dengan kadar lemak diatas 55%, dan bobot 1 biji kering diatas 1 gr. Bila pola ini terus dikembangkan maka penyediaan varietas unggul akan dapat cepat terpenuhi. Menurut Rubiyo upaya Indonesia untuk menjadi produsen utama kakao dunia bukanlah mimpi.

Bila lahan untuk budidaya kakao bisa ditingkatkan sampai 2 juta hektar, yang diimbangi dengan penyediaan varietas unggul, dengan produktivitas minimal 1.000 kg/hektar per tahun, akan meningkatkan produksi kakao nasional menjadi 2 juta ton. Produksi tersebut akan membuat Indonesia menjadi penghasil kakao nomer satu di dunia dibandingkan dengan Ghana 897.000 ton dan Pantai Gading 1.746.000 ton.

Pada kesempatan yang sama juga disampaikan orasi oleh Prof. Dr. Ahsol Hasyim, MS, dengan judul “Inovasi Teknologi Pengendalian Hama Ramah Lingkungan Pada Tanaman Buah dan Sayuran”. Ahsol Hasyim banyak mengungkapkan kiprahnya dalam pengembangan Pengendalian Hama Terpadu Ramah Lingkungan (PHT-RL) yang telah diimplementasikan pada tanaman buah dan sayuran. Pengembangan yang dilakukan sebagai derivasi PHT yang menekankan pada aspek keberlanjutan eksosistem dan sumberdaya secara keseluruhan, serta mengutamakan pemanfaatan sumberdaya lokal atau in-situ, terutama sumberdaya hayati.

Paparan lain oleh Prof. Dr. Gunawan, MS. dengan orasi berjudul “Inovasi Teknologi Pengolahan Hijauan Pakan Ternak Dan Pakan Tambahan Pada Sapi Potong Untuk Mendukung Swasembada Daging”, mengungkapkan pengembangan berbagai teknologi pengolahan hijauan pakan ternak yang mampu meningkatkan nutrisi pakan dan sekaligus dapat digunakan sebagai cadangan pakan pada musim kemarau. 

Menteri Pertanian dalam sambutan tertulisnya yang dibacakan oleh Kepala Badan Pengembangan Penyuluhan dan Sumberdaya Manusia Pertanian (PPSDMP), mengapresiasi gagasan ketiga profesor ini, dan untuk itu beliau meminta ketiganya berkolaborasi dan bersinergi dalam wadah Forum Komunikasi Profesor Riset (FKPR), dan menindaklanjuti gagasan mereka, melalui beberapa penugasan yang disampaikan pada akhir acara Orasi ini. Menurut Menteri Pertanian sinergi ini tidak saja akan jadi model bagi peneliti lainnya, namun secara konkret dapat menjawab berbagai permasalahan riil yang dihadapi petani saat ini.(p/eg)