nusakini.com--Percepatan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Indonesia perlu terus didorong, sekaligus penguatan struktur industri komponennya. Pasalnya, industri fotovoltaik merupakan salah satu sektor yang diharapkan berkontribusi dalam pengembangan sistem ketenagalistrikan nasional sebagai alternatif dari penggunaan energi fosil. 

“Fotovoltaik merupakan sektor energi dan penelitian yang berhubungan dengan aplikasi panel suryauntuk energi dengan mengubah sinar matahari menjadi listrik,” kata Kepala Badan Penelitian danPengembangan Industri (BPPI) Kementerian Perindustrian Ngakan Timur Antara pada acara Rapat Paripurna I Konsorsium Kemandirian Industri Fotovoltaik Nasional (KKIFN) di Kementerian Perindustrian, Jakarta, Selasa (31/10). 

Ngakan menambahkan, pengembangan industri fotovoltaik ini sejalan program pemerintah terkait proyek pembangkit listrik 35.000 megawatt (MW). “Kami menargetkan implementasi pembangunan PLTS sebesar 6.500 MW hingga 2020. Untuk membangun PLTS, yang dibutuhkan bukan hanya modul surya saja, namun juga baterai, kabel, inverter dan beberapa komponen pendukung lain,” tuturnya. 

Menurut Ngakan, pengembangan industri fotovoltaik di dalam negeri cukup berpeluang karena Indonesia sebagai negara yang terletak di garis katulistiwa sehingga memiliki potensi energi surya yang besar hingga mencapai 532,6 Giga Watt peak (GWp). Saat ini, kapasitas produksi nasional untuk modul surya sebesar 445 Mega Watt peak (MWp). 

Sementara itu, beberapa daerah di Indonesia telah terpasang PLTS dengan total kapasitas sekitar 25 MWp. Hal tersebut menunjukkan bahwa masih perlu ditingkatkan lagi antara potensi dan realisasi PLTS. “Beberapa daerah dinilai lebih efektif menghasilkan energi solar, di antaranya Nusa Tenggara Timur, Bali, Ambon, Sulawesi dan Sumatera,” sebutnya. 

Untuk itu, KKFIN berupaya untuk memfasilitasi kemudahan izin bagi para investor yang berminat untuk menanamkan modalnya di sektor industri fotovoltaik. "Kami juga akan memberikan insentif yang disesuaikan dengan sektor industri berupa tax holiday dan tax allowance tergantung investasi itu menjadi pionir di daerah mana," ujarnya. 

Ngakan memperkirakan besaran investasi untuk membangun PLTS mencapai USD1 juta per 1 MW dalam waktu pembangunan sekitar enam bulan. “Selain itu, pembangunan PLTS membutuhkan lahan mencapai 1,5 hektar untuk menempatkan solar panel pendukung dalam menyerap sinar matahari,” ungkapnya. 

Wakil Ketua Umum KKIFN Didi Apriadi menjelaskan, konsorsium ini menjadi wadah dari berbagai pemangku kepentingan untuk saling berkoordinasi dan bersinergi dalam pengembangan industri fotovoltaik di dalam negeri. “Dalam pembangunan PLTS, banyak kementerian yang terlibat, sehingga banyak regulasi yang diterapkan. Agar tidak mempersulit investor, kami bantu mereka supaya bisa terealisasi investasinya,” paparnya. 

Didi juga menyampaikan, pemanfataan PLTS secara nasional pada tahun 2017 baru mencapai 100 MW. “Mengingat kebutuhan investasi sektor ketenagalistrikan yang sangat besar, PLN tidak dapat secara sendirian membangun kebutuhan pembangkit listrik baru,” ujarnya. Untuk itu, menurut Didi, sebagian proyek pembangkit perlu dilakukan oleh swasta sebagai Independent Power Producer (IPP). 

KKIFN dibentuk sejak 27 Juni 2016 dengan melibatan lintas kementerian dan lembaga sebagai anggotanya, yang antara lain meliputi Kementerian Perindustrian, Kementerian ESDM, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Asosiasi Pabrikan Modul Surya Indonesia (APAMSI), PT LEN Industri, dan PT Antam (Persero) Tbk.. Selain itu terdapat juga PT Timah, PT Wijaya Karya (Persero) Tbk., PT Sky Energy, PT Ceprindo, TUV Rheinland, serta Canadian Solar Inc. (p/ab)