Jelang perhelatan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024 di Sulsel, perbincangan terkait kepemimpinan beserta nilai-nilai yang diembannya hangat dibicarakan publik. Salah satunya adalah terkait nilai-nilai kepemimpinan berdasarkan filosofi budaya Bugis Makassar. 

Diketahui dalam khazanah budaya Bugis Makassar sangat dikenal kepemimpinan yang sangat kharismatik dari To Manurung. Bagaimana khas kepemimpinan dari To Manurung tersebut?”

Berikut petikan wawancara eksklusif dengan Guru Besar UIN Makassar Prof. Dr. H. M. Dahlan M, M.Ag (Prof Dahlan) yang dipandu Host Dr Supa Athana dalam Catatan Jurnalis Sukriansyah: 

Host: Selamat Sore Prof…terimakasih atas kedatangannya di Podcast CJS. Bagaimana Prof melihat nilai-nilai kekuasaan dan kepemimpinan dalah falsafah kebudayaan Bugis Makassar? 

Prof Dahlan: Kita tahu bahwa kepemimpimpinan di Sulsel khususnya, terbagi dalam beberapa tahapan. Dalam tahapan pra kemerdekaan kepemimpinan dikenal dalam bentuk kerajaan dan kesultanan. 

Terkait di Sulsel kita tahu ada berbagai kerajaan dan kesultanan. Kerajaan atau kesultanan ini berbentuk hirarkis dan memiliki nama kepemimpinan yang berbeda-beda misanya di Gowa di sebut Somba, di Wajo disebut A’Datuang, di Luwu dikenal dengan nama Mappayunga’ri Luwu, di Bone disebut Mangkaua ri Bone dan lain-lain. 

Host: Bagaimana memilih pemimpin dalam budaya Bugis Makassar Prof? 

Prof Dahlan: Kita tahu cara memilih pemimpin ini biasa disebut kearifan lokal. Pada umumnya dilalui dalam jenjang musyawarah oleh ketua-ketua adat. Karena di Bugis Makassar itu tidaklah mutlak, seorang raja menurunkan kepemimpinan kepada anaknya namun masih dalam kerangka garis keturunan. Inilah bentuk pemilihan yang sudah cenderung demokratis karena melalui jalan musyawarah. 

Pemimpin dalam budaya Bugis Makassar sangat menekankan tanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyatnya. 

Host: Bagaimana Prof melihat cara pemilihan penimpin dalam budaya Bugis Makassar yang masih menganut sistem keturunan?

Prof Dahlan: Hal ini terkait dengan garis darah. Karena dinilai siapa yang memiliki garis darah kepemimpinan akan terus mengalir dalam darah keturunannya. 

Host: Bagaimana Prof menjelaskan kepemimpinan dalam budaya Bugis Makassar menganut falsafah berdasarkan darah dan keturunan?

Prof Dahlan: Hal ini terkait dengan falsafah To Manurung dalam budaya Bugis Makassar . Nah kata Manurung (turun) itulah yang diambil. 

Tapi dalam falsafah Bugis Makassar, To Manurung ini punya sisi demokratis. Karena To Manurung itu tiba-tiba muncul dalam satu daerah yang tidak stabil, kacau balau. Orang Bugis mengatakan Sianre Bale. Dalam kekacauan itulah tiba-tiba muncul To Manurung. Keberadaan To Manurung inilah yang diyakini mampu menstabilkan kekacauan yang terjadi di suatu daerah. Kalau di Jawa mungkin dikenal sebagai Ratu Adil. Turunan dari Tomanurung lah nanti yang dianggap mampu memerintah dan mempunyai kualitas kepemimpinan. Ini juga karena diyakini bahwa kepemimpinan itu ada karena diberi cahaya Ilahi

Host: Terkait dengan Pilkada bagaimana Prof melihat kepemimpinan Sulsel bila dinilai dari kaca mata budaya Bugis Makassar?

Prof Dahlan: Bila melihat ke sana maka sosok pemimpin menurut budaya Bugis Makassar mempunyai beberaoa kreteria yakni kepintaran atau Acca (Macca). Jangan diangkat pemimpin kalau dia tidak pintar karena dia akan mengendalikan masyarakat, kedua adalah Warani atau berani. Seorang pemimpin harus berani. Berani bertindak. Berani mengambil keputusan dan konsisten menjalankan keputusan itu. Ketiga adalah Getteng atau konsisten dan jujur dan yang keempat harus beribawa atau kharismatik. (*)

Selengkapnya wawancara ini sudah tayang di Podcast Catatan Sukriansyah: 

https://youtu.be/Pc05udG8rL8?si=6hcFzd0coWBoyZD9