Terpaksa Menjadi ‘Vegetarian’

By Admin


Oleh: Alif Yusuf Vicaussie

Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara


nusakini.com - “Slogan 4 sehat 5 sempurna” telah sering kita dengar dan sudah banyak yang paham dengan maksud dari slogan tersebut. Saya sendiri mencoba untuk memenuhi kriteria 4 sehat 5 sempurna dalam mengkonsumsi makanan. Namun, walaupun slogan itu sempat digaungkan dimana-mana, dan masih terkenang hingga sekarang, kenyataannya banyak masyarakat Indonesia yang tidak bisa memenuhi kriteria tersebut alias kekurangan gizi. Seperti yang dikemukakan dalam artikel Beritagar yang ditulis pada tahun 2019, “ADB: 22 Juta Penduduk Indonesia Alami Kelaparan Kronis” (https://beritagar.id/artikel/berita/adb-22-juta-penduduk-indonesia-alami-kelaparan-kronis). Mengutip dari artikel tersebut, tertulis, “Pada 2019 ini, Indonesia menempati ranking 70 dari 117 negara yang disurvei. Posisi yang sama dengan Filipina, yang juga meraih skor 20,1.” Ranking dan skor yang dimaksud adalah ranking dan skor yang berasal dari Indeks Kelaparan Global. Berdasarkan penjelasan Indeks tersebut, Indonesia menempati peringkat 70 dari 117 negara dalam permasalahan kelaparan dan pemenuhan gizi masyarakatnya dan berdasarkan panduan Indeks tersebut, dengan skor 20,1 maka Indonesia masuk ke dalam kategori negara yang memiliki masalah kelaparan yang serius. Sementara itu dalam artikel yang sama kita dapat mengutip “Sebanyak 22 juta penduduk Indonesia masih mengalami kelaparan kronis. Jumlah tersebut sekitar 90 persen dari total jumlah penduduk miskin Indonesia, yakni 25 juta jiwa.” Dari kutipan tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa sekitar 8-10% masyarakat Indonesia masih dalam permasalahan kelaparan. 

Salah satu faktor yang menyebabkan hal tersebut terjadi adalah masih kurangnya akses terhadap bahan pangan di Indonesia. Akses terhadap bahan pangan dibagi menjadi akses pangan secara ekonomi, akses pangan secara fisik, dan akses pangan secara sosial. Yang akan menjadi sorotan saya adalah akses pangan secara ekonomi, dikarenakan saya sendiri mengalaminya selama duduk di bangku perkuliahan. Akses pangan secara ekonomi dipengaruhi oleh pendapatan masyarakat, ketersediaan lapangan kerja, dan harga bahan pangan. Selama duduk di bangku perkuliahan, saya tidak mempunyai pendapatan maupun pekerjaan dan masih sepenuhnya tergantung terhadap orang tua sehingga ketika itu hanya masalah harga produk pangan yang menjadi masalah saya. Menjadi mahasiswa yang setiap hari pulang pergi menaiki Kereta Rel Listrik (KRL) dari Depok ke Jakarta maka saya tidak mempunyai banyak waktu untuk beraktivitas atau membuat bekal memasak sehingga saya lebih sering untuk membeli makanan di luar daripada membawa dari rumah. Mendapatkan makanan di luar bukanlah hal yang sulit sebab terdapat banyak makanan murah. Saya sendiri bisa mendapatkan seporsi mi ayam seharga Rp 10.000 atau lima potong gorengan seharga Rp 5000 dari pedagang kaki lima di depan kampus. Namun, permasalahan timbul kalau kita mempertanyakan apakah makanan dengan harga di kisaran tersebut sudah dapat memenuhi kebutuhan gizi 4 sehat 5 sempurna? Jawabannya tidak. Membeli makanan dengan pengeluaran kurang dari Rp 15.000 biasanya hanya dapat memenuhi dua atau tiga kriteria saja dari 4 sehat. Itupun belum mempertimbangkan harga susu yang berkisaran di antara Rp 5000 – 6000 sehingga harga dapat melonjak hingga mencapai Rp 21.000. 

Mungkin akan ada yang menjawab permasalahan tersebut dengan mengatakan, “kalau begitu beli saja makanan yang memenuhi kriteria 4 sehat 5 sempurna.” Hal itu tentu bisa saya lakukan jika saya memiliki simpanan uang yang memadai yang pada kenyataannya tidak saya miliki. Oleh karena itu, saya biasanya hanya mengkonsumsi makanan yang berada di kisaran harga Rp 15.000 dan itu pun sudah termasuk harga susu. Namun itu belum berarti saya menyerah untuk memenuhi kriteria 4 sehat 5 sempurna.

Cara yang saya gunakan di bangku perkuliahan untuk memenuhi kriteria 3 sehat 5 sempurna adalah dengan membeli nasi padang. Di dalam satu porsi nasi padang biasanya sudah dilengkapi dengan nasi (makanan pokok), daun singkong (sayur-sayuran), dan gulai nangka (buah-buahan). Permasalahannya timbul dari sumber lauk pauk. Seporsi nasi padang dengan ayam goreng dari warung nasi padang di dekat tempat saya berkuliah dihargai sebesar Rp 18.000. Melihat harga tersebut sudah dapat dikatakan tidaklah mungkin bagi saya untuk memenuhi kriteria 4 sehat 5 sempurna. Saya mungkin dapat menggantikannya dengan sumber protein yang lebih murah yaitu telur, akan tetapi hanya dengan telur pun harga seporsi nasi padang masih dapat mencapai Rp 15.000. 

Lantas cara apakah yang saya gunakan untuk menyelesaikan permasahan di atas? Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut saya mengganti sumber protein yang saya konsumsi dari hewani ke nabati. Saya menggunakan produk kacang kedelai yaitu tempe dan tahu sebagai sumber protein. Dengan membeli seporsi nasi padang ditambah dengan dua sampai empat potong tempe, saya hanya perlu mengeluarkan Rp 8000 hingga Rp 10.000. Hal tersebut memberikan saya sisa uang yang dapat digunakan untuk membeli sekotak susu berukuran 250 ml. Dengan begitu terpenuhilah sudah kriteria 4 sehat dan 5 sempurna. Namun, di situ saya merasa terpaksa menjadi ‘vegetarian’ demi memenuhi standar kebutuhan gizi. 'Vegetarian' dalam arti masyarakat yang karena ketidakmampuan ekonomis tidak mampu membeli produk hewani sehingga lebih bergantung kepada produk nabati. Vegetarian memang pilihan hidup yang bagus, akan tetapi ketika seseorang menjadi 'vegetarian' dikarenakan keterpaksaan ekonomi maka itu adalah hal yang tidak bisa ditolerir. Produk hewani menjadi identik dengan barang orang kaya.

Permasalahan Harga Yang Lebih Mendalam.

Dengan pengeluaran untuk sekali makan sekitar Rp 15.000 saja saya masih mengalami kesulitan untuk memenuhi standar kebutuhan gizi lalu bagaimana dengan mereka yang tidak dapat mengeluarkan lebih dari Rp 10.000 hingga Rp 5000 untuk sekali makan? Kembali ke kutipan yang didapatkan dari artikel Beritagar yang sudah dituliskan sebelumnya maka kita dapat melihat bahwa sekitar 25 juta jiwa penduduk Indonesia di tahun 2019 masih mengalami permasalahan kemiskinan dan 22 juta diantaranya mengalami kelaparan kronis. Selain itu, berdasarkan pengalaman saya sendiri, seseorang yang dari keluarga tidak miskin pun dapat kesulitan untuk memenuhi biaya makannya sendiri dikarenakan ia harus mengakomodasikannya untuk biaya transportasi atau biaya tempat tinggal sehingga sebenarnya permasalahan pemenuhan gizi di Indonesia lebih besar dari yang tampak.

Berdasarkan Global Food Security Index 2019 Indonesia menempati peringkat 62 dari 113 negara dalam indikator ketahanan pangan. Sementara kalau dilihat dari per indikator, Indonesia berada di peringkat 58 untuk keterjangkauan pangan, peringkat 48 untuk ketersediaan pangan, dan peringkat 84 untuk kualitas dan keamanan pangan. Dari situ kita dapat melihat bahwa Indonesia memiliki banyak bahan pangan yang tersedia, akan tetapi keterjangkauan harga bahan pangan tidaklah seimbang dengan ketersediaan bahan pangan. 

Selain itu kualitas dan keamanan pangan yang tersedia juga buruk. Permasalahan keterjangkauan harga pangan juga dapat kita baca di dalam artikel yang ditulis oleh Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), “Apakah Indonesia Sudah Mencapai Ketahanan Pangan” (https://www.cips-indonesia.org/amp/apakah-indonesia-sudah-mencapai-ketahanan-pangan). Mengutip dari artikel tersebut, tertulis, “Penelitian CIPS menunjukkan, berdasarkan data harga BPS dan World Bank, harga beras di Indonesia terus meningkat 26% sejak 2014 hingga sekarang. Padahal peningkatan harga di pasar internasional hanya mencapai 12%.” Di situ kita dapat melihat bahwa ada permasalahan keterjangkauan harga bahan pangan di Indonesia.

Usangnya Slogan 4 Sehat 5 Sempurna.

Adanya akses harga pangan yang tidak terjangkau membuat pemenuhan kriteria 4 sehat 5 sempurna menjadi sulit. Namun permasalahan ini menjadi lebih mengkhawatirkan setelah mengetahui bahwa konsep 4 sehat 5 sempurna sendiri sebenarnya sudah dianggap tidak memadai sejak tahun 1990-an karena dikhawatirkan dapat menimbulkan misinterpretasi. Masyarakat dikhawatirkan salah memahami isi konsep 4 sehat 5 sempurna dengan terlalu banyak mengkonsumsi salah satu dari keempat sumber nutrisi tersebut selama mereka masih mengkonsumsi keempat nutrisi dan susu. Oleh karenanya pemerintah pada tahun 2017 telah menggantikan slogan “4 sehat 5 sempurna” menjadi “Isi Piringku”. Slogan ini bermaksud mengkampanyekan masyarakat untuk mengkonsumsi makanan dalam porsi satu piring dengan takaran 50 % buah dan sayur dan 50% karbohidrat dan protein.

Kekhawatiran saya muncul melihat slogan berganti dengan harapan masyarakat mengkonsumsi makanan dengan takaran yang tepat, akan tetapi untuk mengkonsumsi makanan dengan adanya keempat nutrisi itu saja masyarakat masih mengalami kesulitan. Jika harga bahan pangan tidak juga terjangkau, tidak usah heran kebanyakan masyarakat Indonesia berubah menjadi ‘vegetarian’. 'Vegetarian' yang dibuat bukan karena pilihan pribadi melainkan keterpaksaan.