Sukriansyah S. Latief: Sirtjo Koolhof, di Sekitar La Galigo dan RN Wereldomroep (2-Selesai)

By Admin

Foto: Sukriansyah S. Latief    

Oleh: Sukriansyah S. Latief*


"Pukul 14.00 tepat, di Utrecht, Belanda. Di salah satu ruang studio Radio Nederland Wereldomroep (RNW) di Hilversum, siaran langsung dimulai. Tampak pembawa acara Eka Tanjung sedang mewawancarai narasumber Harustiaty, dosen Fakultas Hukum Unhas dan Syaiful Ruray, Wakil Ketua DPRD Maluku Utara.

Keduanya dimintai pendapatnya perihal peringatan Hari Ibu, karena siang itu tepat tanggal 22 Desember 2008. Dalam acara yang dikemas dengan nama Dimensi, kedua narasumber yang kini sementara melakukan penelitian di Universitas Utrecht, bersilang pendapat tentang alasan pentingnya memperingati Hari Ibu".

DISKUSI pun menjurus pada perlu tidaknya ada peringatan Hari Bapak atau Father's Day di Indonesia, seperti yang ada di Eropa dan Amerika. Acara yang berlangsung selama 1 jam itu, pun ramai dengan pro-kontra pendengar melalui telepon maupun SMS, baik dari Indonesia seperti Papua, Jawa Tengah, Jawa Barat, Bali, hingga Medan dan luar negeri, seperti penelepon dari Brunei Darussalam serta Arab Saudi. Sementara itu, di ruang studio yang lain, juga sedang berlangsung diskusi tentang perlu tidaknya negara mengatur pornografi.

Bedanya, diskusi ini direkam, untuk diputar di hari lain dalam acara Kamera (Kawula Muda di Eropa). Tampil sebagai narasumber Judhariksawan, Devi Sondakh, Donna Oktalia, dan Merzy, dengan pembawa acara Junito Drias. Isi siaran Kamera ini, adalah laporan aspek-aspek kehidupan di TKP (Tempat Kumpul Pemuda) di Belanda dan Eropa. Mahasiswa Indonesia yang sedang studi di Belanda menjadi sasaran bidik acara serius sambil santai ini.

Demikianlah sebagian kesibukan Sirtjo Koolhof, sebagai Kepala Seksi Indonesia di RNW). Meski dia tidak sendiri, karena masing-masing acara punya penanggungjawab, tapi setidaknya Sirtjo harus meyakini betul bahwa semua acara dan siaran berjalan lancar. Sejak 1 Januari 2008, tugas berat itu dijalaninya. Sebelumnya, dia adalah peneliti dan Kepala Perpustakaan KITLV, Leiden. Pindah dari dunia akademik ke jurnalistik, menurut Sirtjo, karena dia merasakan perlunya ada perubahan. ‘’Cukup lama bekerja di bidang akademis, saya ingin cari pengalaman baru. Saya menulis surat lamaran, lalu diterima,’’ ungkap Sirtjo, 51 tahun, soal awal mula dia bergabung dengan RNW. Sebelumnya, dia adalah seorang peneliti Asia Tenggara dengan keahlian khusus Indonesia. Buku-buku yang ditulisnya berkisar kebudayaan Nusantara, antara lain La Galigo.

Apa yang menjadi tugas Sirtjo merupakan bagian kecil dari banyak bagian di RNW. Selain siaran berbahasa Indonesia, RNW yang berdiri sejak 1947, kini menyiarkan informasi dalam 10 bahasa, di banyak negara, dan yang terakhir adalah China dan Arab Saudi. Khusus Ranesi (RNW Siaran Indonesia), yang kini berusia 61 tahun, acaranya disiarkan pula oleh lebih dari 80 stasiun mitra di seluruh Indonesia, dan bahkan dapat diterima lewat satelit. Dengan perkembangan teknologi saat ini, video sudah mengambil posisi penting dalam pemberitaan RNW, selain audio dan teks. Diakui Sirtjo, pada mulanya Ranesi mengudara pada 1948 lewat gelombang pendek, untuk memberitakan keadaan di Belanda dan di Indonesia, khususnya mengenai hubungan kedua negara. Namun isi siaran selama enam dekade itu berubah sesuai dengan zaman dan teknologi yang ada. ‘’Kini tujuannya adalah antara lain memberi informasi kepada warga negara Belanda di luar negeri, memberi informasi kepada warga yang daerahnya ketinggalan informasi atau daerah yang tidak ada kebebasan pers atau kesulitan ekonomi, dan juga untuk memberi informasi yang diperlukan tentang Eropa. Jadi misi pentingnya adalah edukasi yang meluaskan pandangan pendengar,’’ jelas Sirtjo.

Sebagai radio publik yang dibiaya oleh pemerintah sekitar 40 juta euro setahun, RNW tidak menerima iklan, sama seperti radio publik lainnya di Belanda. Menurut Sirtjo, di Belanda, ada sekitar 5 radio publik dan 3 televisi publik nasional, sementara di daerah ada sekitar 10 radio publik dan 10 televisi publik. Seorang wartawan senior Ranesi yang berasal dari Sumatera Selatan, A. Bari Muchtar, mengatakan bahwa keunikan RNW karena meski dibiayai oleh negara, isi pemberitaannya tetap independen. ‘’Pemerintah tidak mencampuri isi pemberitaan,’’ kata Bari.

Bari bukanlah orang baru di RNW. Dia telah bekerja lebih dari 15 tahun, dan sekarang dipercaya memegang desk tentang kemajemukan masyarakat/pluralisme di Eropa. Padahal, mulanya, kata pria Melayu kelahiran 4 Oktober 1951 dan beristrikan wanita warga negara Belanda ini, dia termasuk orang yang anti Belanda. Dari kampungnya, dia dulu berangkat ke Mesir untuk mengikuti pendidikan strata satu di Al Azhar Mesir, jurusan Ushuluddin. Tapi akhirnya ‘terdampar’ di Belanda menjadi jurnalis. Sebelum bergabung dengan RNW, Bari bekerja di perusahaan-perusahaan Belanda. Di sana dia ‘terpaksa’ berbicara dan bergaul dengan orang Belanda. Suatu hal yang menyenangkan, bagi Bari, karena dengan demikian dia bisa cepat belajar Bahasa Belanda. ‘’Nah, setelah bekerja di Radio Nederland siaran Bahasa Indonesia, saya senang bisa bekerja lagi dengan orang Indonesia. Dan pekerjaan sebagai penyiar dan jurnalis tidak begitu berbeda dengan profesi saya waktu di Indonesia, yakni sebagai guru. Kedua-keduanya memerlukan kemampuan berbicara dan menggunakan bahasa dengan baik, cerita Bari.

Foto/Sukriansyah S Latief     

Hal-hal yang menyenangkan bekerja di RNW, lanjut Bari, karena dia sering dikirim ke luar negeri, dalam hal ini ke luar Belanda. Seringnya ditugaskan ke Indonesia juga suatu hal yang menyenangkan baginya. ‘’Mempunya teman kerja dari berbagai bangsa, juga merupakan sesuatu yang menyenangkan. Apalagi sekarang sudah ada seksi Bahasa Arab lagi. Saya pernah lama tinggal di Mesir, sekarang mempunyai kesempatan banyak untuk berbicara bahasa Arab,’’ tutur Bari. Dukanya? ‘’Sebenarnya tidak ada hal-hal yang tergolong 'duka' bagi saya sejak bekerja di Radio Nederland. Dulu saya masih sering dijadwal kerja malam. Kadang-kadang capek juga kalau terlalu sering bekerja di malam hari. Tapi karena saya sudah termasuk senior, saya dibebaskan untuk bekerja malam. Tapi hampir tidak ada dukanya,’’ ungkapnya. Menurut Bari, hampir semua jurnalis di Ranesi adalah orang Indonesia. ‘’Dan itu tugas Sirtjo untuk mengaturnya,’’ kata Bari. Tapi Sirtjo yang mendengarnya dengan rendah hati mengatakan,’’Padahal mereka tidak perlu diatur, sudah teratur’’. Di RNW sendiri, dari sekitar 300 karyawan, 80 persen adalah jurnalis. Meski dibiayai oleh negara, status pegawainya bukan pegawai negeri, tapi seluruh fasilitas yang didapatkan, seperti pegawai negeri, misalnya asuransi, jaminan sosial dan lain-lain. Untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, pendidikan dan pelatihan terus dilakukan di jajaran RNW.

Khusus di Ranesi, pola kemitraan dengan radio-radio di Indonesia juga terus dilakukan. Belum lama ini misalnya, 25 hingga 27 November 2008, RNW mengadakan ‘Temu Mitra’ di Nusa Dua Bali, yang diikuti sekitar 80 radio mitra yang tersebar di seluruh Indonesia. Pertemuan ini khususnya bertujuan untuk meningkatkan kerjasama lebih jauh dengan melibatkan peran aktif radio mitra.

Seperti ditulis Sirtjo Koolhof, yang meliput acara tersebut, temu mitra itu dibuka oleh Direktur Utama RNW, Jan Hoek, yang dalam sambutannya menekankan kesetaraan antara Radio Nederland dengan radio mitranya. ‘’Melalui cara itu kita bersama dapat memastikan bahwa Ajang Aneka Pandangan akan dapat disebarkan di seluruh penjuru dunia. Oleh karena itu kerjasama antara Anda dan kami menjadi sangat penting. Itulah mengapa kami tidak menggunakan kata-kata seperti placement atau pemancar luasan tetapi kemitraan sejati. Itulah sebabnya mengapa pertemuan ini menjadi sangat penting. Kami ingin mengetahui apa pendapat Anda dan juga keinginan Anda,’’ demikian Jan Hoek, seperti dilaporkan Sirtjo.

Sementara itu, Kepala bagian kemitraan RNW, Harko Aris dalam sambutannya menyebutkan bahwa Radio Nederland ingin membangun komunikasi lebih baik dengan para mitranya. Dan dalam forum diskusi disepakati untuk melibatkan lebih aktif peran radio mitra dalam siaran Ranesi. Di Makassar, Ranesi bekerja sama dengan Radio Bharata FM, dan di daerah lainnya, seperti Surabaya, Ranesi bermitra dengan Radio Suara Surabaya. Menurut Bari Muchtar, topik siaran yang dibahas dengan mitra-mitra cukup luas. Dari masalah politik, sosial ekonomi, hukum, sampai human interest. Sejak Agustus 2008, tema-tema yang sudah dibahas antara lain, Radovan Karadzic, studi di Belanda, posisi kelompok gay, studi Bahasa Indonesia di Belanda dan masjid di Belanda.***

*Sukriansyah S Latief adalah Wartawan Senior