Semua Menghadap Tuhan

By Admin


Oleh: Swary Utami Dewi

nusakini.com - Samyong, Batam, pertengahan 2000. Tidak ada yang tahu apa yang ada di benak para perempuan yang duduk berjejer di salah satu pusat hiburan kelas bawah di Batam itu. Beberapa asyik menghirup nikotin dari batang-batang rokok di sela-sela jari pucat mereka. Gincu dan bedak tebal menempel ketat di bibir dan wajah. Rambut di keriting atau dipotong bergaya bob. Satu dua dari mereka nampak saling berbisik, kemudian tertawa terkikik.

Samyong di bulan Juni. Hari makin sore. Belum banyak tamu yang datang. Beberapa perempuan yang sudah untung mendapatkan pelanggan duduk di pojok. Meski matahari masih memancarkan sinar, pojokan berkesan temaram. Jika mata tidak menapaki lekat-lekat sudut ruangan, tidak akan terlihat nyata gerak-gerik pasangan yang sedang bercumbu. Satu-satunya yang menjadi penanda adalah cekikikan.

Saat malam menjelang, geliat Samyong semakin dahsyat. Para perempuan yang siangnya lebih banyak duduk melamun, membenahi gincu atau ngobrol, menjadi begitu bergairah. Sapa manja dan genit dilontarkan kepada lelaki hidung belang yang datang. Bau bir murahan makin merebak, asap rokok dan keringat makin semerbak. Beberapa pasang yang sudah asyik masyuk bergegas masuk ke kamar. Mmh, mungkin tepatnya bilik karena hanya ditutupi oleh lembaran kain.

Menjelang subuh, kesibukan salah satu bar hiburan merangkap tempat bilyar dan transaksi seks itupun pudar. Seiring ayam hendak berkokok, satu persatu para tamu bubar. Mereka keluar melenggang dengan senyum menyungging di bibir, mata merah kuyu dan mulut beraroma alkohol. Sementara, para perempuan dengan mata tak kalau kuyu dan tubuh berjalan lunglai, melambai tangan mengucap salam perpisahan.

Aku memperhatikan semua adegan dengan sabar, bak menonton film layar lebar. Kadang ternganga, kadang termangu. Yang jelas, kepala berdenyut pusing dan hati teriris. Anis, sebut saja dia begitu, yang sejak malam duduk ngobrol menemaniku, mencolek bahu mengagetkan lamunanku.

“Gak ngantuk, Mbak?” tuturnya dengan logat kental suatu bahasa.

Aku menjawab dengan gelengan.

Anis kembali memandang dan sesaat kemudian beranjak.”Ke kamarku saja, Mbak. Kan tadi malam tidak ada tamu. Jadi cukup bersih. Kita ngobrol di dalam.”

Aku mengikuti langkahnya yang setengah mengantuk. Masuk ke salah satu deretan bilik. Saat mataku sudah agak terbiasa di dalam keremangan,aku melihat suasana dan bau yang sangat tidak nyaman.Tempat tidur memang masih tersusun rapi. Tapi di sudut masih terlihat bekas tumpahan minuman keras.

Anis,si pemilik kamar yang berparas ayu, mengajak untuk membaringkan badan melepas lelah. Rasa kantuk menyebabkan aku tidak sempat lagi mempertimbangkan banyak hal. Baru saja menyentuh bantal lusuh bersarung bunga mawar, aku terlelap.

Entah berapa lama aku tertidur, sentuhan halus di bahu membangunkan. Mulutku sudah bersiap menyatakan penolakan bangun saat kata-kata itu meluncur dari bibir Anir, “ Ayo, subuh hampir lewat. Kita sholat bareng yuk.”

Kata-kata itu spontan membuatku melek.Rasa kantuk hilang berganti takjub dan heran.

Sentuhan air dingin di kran belakang membuat mata bertambah melek. Aku kemudian mengikuti Anis ke kamarnya, melakukan sholat berjama’ah. Sayup-sayup kemudian,kudengar suara merdunya membaca ayat suci Al Qur’an. Ups, aku bukan tandingannya.

Saat aku keluar kamar mencoba duduk di kursi tamu dekat meja bilyar, mataku menatap beberapa perempuan yang masih mengenakan mukena,menatap dunia luar melalui kerangkeng kayu. Ya, jika siang, para perempuan penjaja cinta ini tidak bisa bebas keluar tanpa dibuntuti para penjaga yang merangkap sebagai tukang pukul. Jika tidak ada perintah sang Mami untuk menemui tamu di luar rumah bordil, pintu tergembok rapat dari luar.Beberapa penjaga tetap menunggu di luar, setengah tidur di beberapa sofa lusuh atau bangku bambu panjang.

Suasana yang mula-mula kaku,lamban laun berubah menjadi akrab. Tutur cerita mulai keluar dari bibir-bibir mereka. Ayu, yang tidak kalah manisnya dengan Anis menceritakan, dia terjebak masuk Samyong dua tahun lalu.Dia katakan terjebak karena kedatangannya di pulau ini dengan tujuan untuk mencari kerja. Seorang lelaki datang ke kampungnya di Jawa menawarkan pekerjaan sebagai pelayan restoran. Ayu dan beberapa temannya ikut dan masuk perangkap: dipaksa melayani para lelaki pemangsa.

Lain lagi kisah Nani. Dia terpaksa melakukan pekerjaan ini karena dia tidak tahu lagi bagaimana cara mencari uang untuk membiayai ibunya yang sudah sakit-sakitan di kampung dan membantu adik-adiknya menyelesaikan sekolah, paling tidak sampai SMA. Yang penting, keluarga di kampung tidak tahu bagaimana caranya dia mendapatkan uang, yang tidak seberapa, yang rutin dikirim tiap bulan. Pernah satu ketika, saat dia merasa bahwa uangnya sudah cukup untuk membayar hutang kepada sang Mami, si pengelola rumah bordil, dia mendapati hutangnya sudah bertambah banyak tanpa sebab yang jelas. Pelototan kepala pengawal dan tampang judes Mami membuat nyalinya ciut untuk mendebat mereka. Satu-satunya yang bisa dilakukan adalah pasrah dan percaya suatu saat dia akan keluar dari tempat laknat ini.

Udara sejuk berganti panas saat mentari makin memancarkan sinar. Ayu melepas mukena yang dipakai, kemudian melipatnya. Nani melakukan hal yang sama. “Apek kelamaan dipakai. Sabun kan mahal,”celetuk Nani.

Pertanyaan yang sedari tadi menggantung di awang pikiran, pasang surut kutimbang-timbang apakah perlu dilontarkan atau tidak, akhirnya keluar juga. Menggunakan kata-kata sehalus mungkin, aku menanyakan apa yang membuat mereka, tepatnya beberapa di antara mereka, tetap sholat.

Semua hening sesaat. Nani memandangku setengah berkernyit, lalu menjawab. “ Aku telah melakukan dosa besar saat mulai melakukan pekerjaan ini. Mudah-mudahan dengan sholat, Tuhan mengampuni sebagian dosa-dosaku.”

Ayu yang sudah berdiri, hendak melangkah ke dapur, sedikit sinis menjawab,”Ya, udah biasa sholat dari kecil. Gak enak toh, kalau tiba-tiba menghentikan ini hanya karena aku menjadi pelacur.”

Anis yang menangkap ketidaknyamananku mencoba tersenyum, “Mbak, sejelek-jeleknya yang kulakukan, lebih melegakan hati jika aku menganggapnya sebagai pekerjaan. Jika sopir taksi, pegawai kantor dan tukang salon di sela-sela pekerjaannya, saat istirahat menunaikan sholat, apakah aku tidak boleh sholat hanya karena aku berada di tempat ini?”

Aku tidak mampu berkomentar. Semakin tergugu, tidak beranjak saat satu persatu perempuan-perempuan itu masuk ke kamar masing-masing untuk tidur atau melakukan pekerjaan rumah lainnnya. Yang aku tahu, air mata menggenang di kedua pelupuk mataku. Dalam kenaifan, aku menemukan sesuatu. Ternyata, semua menghadap Tuhan.

Ditulis di Jakarta, Menjelang subuh, 27 November 2007