Sang Negarawan

By Admin


Oleh: Swary Utami Dewi

nusakini.com - Wajah teguhnya menyiratkan ketuaan. Tongkat yang bertahun-tahun ini sudah menemaninya, teguh menemani perjalanan hidupnya. Baju kokonya sangat sederhana, sama sekali tidak mewah. Baju itu biru, sebiru langit, sejernih pikirannya.

Hari ini ulang tahun, hari lahirnya. Jejak usia 80 tahun lebih dilaluinya. Banyak pengalaman hidup sudah dijejakinya. Lelaki tua itu duduk di bagian depan ruang megah. Duduk di kursi khusus di tengah-tengah ratusan tamu undangan. Sejenak ia mengelus beludru di tangan kursi mewah ini. Begitu halus. Mahal pastinya.

Ia menghela nafas. Melirik ke kanan, lalu ke kiri. Hanya dirinya yang diberi kursi megah berlapiskan beludru merah ini. Tangannya meraih tongkat jati tua yang sejenak disandarkannya ke sisi kursi. Perlahan ia kembali menegakkan kepala ke arah para pembicara yang sedang memberikan kesaksian tentang dirinya. 

Sudah pembicara ketiga berbicara. Jika tadi dari para tokoh senior negeri, kali ini dari seorang petinggi partai. "Saya beruntung mengenalnya sejak lama. Lelaki seperti inilah yang kita pantas sebut sebagai Negarawan. Dalam carut marut politik di negeri ini, kita butuh Bapak Bangsa seperti beliau. Selamat ulang tahun, Bapak. Sehat selalu, Pak Kyai."

Tokoh partai besar itu tiba-tiba mengakhiri paparannya sambil berdiri, memberikan tepuk tangan yang ditujukan kepadanya. Panjang... Dan lalu, para pembicara lain juga berdiri, ikut bertepuk tangan. Panjag... Lalu semua yang hadir berdiri, ikut bertepuk tangan. Panjang...

Ia duduk melihat ke depan. Dengan bertumpu pada tongkatnya ia berdiri perlahan. Helaan nafas panjangnya hampir tidak terdengar, bahkan mungkin tidak akan terdengar. Kalah oleh riuh rendah tepukan panjang dari semua. Ia berusaha setengah membungkuk ke arah depan, lalu memberi isyarat agar semua hadirin duduk. Sunyi... Lalu iapun perlahan duduk. Sunyi... Saat kursi beludru itu kembali memangku dirinya.

Masih ada tiga pembicara lainnya. Dua orang adalah perempuan. Yang satu pengusaha sukses dalam bilangan usia 50 tahunan. Yang satu wartawati terkenal dari media massa terbesar di negeri ini. Pembicara terakhir seorang tokoh muda yang dalam usia hampir 35 tahun sudah bergelar profesor. 

Sang Kyai melihat mereka lekat-lekat, memberikan senyum ramah kembali, satu persatu. Pengusaha perempuan di mimbar depan baru saja bercerita tentang perkenalan dengannya beberapa tahun lalu, tidak sengaja bertemu di bandara. Ia bercerita bagaimana bersahajanya sosok Kyai, betapa membuminya. Membuatnya merasa kecil meski dirinya terbalut busana mewah karya seorang desainer luar ternama.

Kini giliran sang wartawati. "Pak Kyai.. Meski saya tidak terlalu mengenalnya, tapi saya kagum dengan pikiran dan pandangannya. Saya beruntung bisa mewawancarainya dalam dua kesempatan. Saya juga menggemari karya-karyanya. Beliau luar biasa. Satu kesatuan antara prinsip dan sikap. Jarang sekali kita menemukan tokoh seperti beliau. Teguh bersikap, juga punya kemampuan merangkul semua golongan. Betul saya kira, bahwa Beliau memang negarawan sesungguhnya"...

Entah apalagi yang diucapkan perempuan anggun berbaju biru itu. Karena hanya samar-samar di dengarnya kemudian. Baru ia sadar, bahwa ia sempat tertidur, menghilang dari kesadaran manusia selama beberapa detik. 

Lalu senyumnya kembali mengembang. Tidak lebar, tidak pula tipis. Matanya tetap ke depan, ke arah sang tokoh muda cemerlang yang baru meraih gelar profesor. Mikrofon baru diserahkan dari sang wartawati ulung ke profesor jenius itu.

Tetiba, ia merasa kembali mengantuk. Sangat mengantuk. Ia tidak bosan. Tapi mengantuk. Kantuk ini tidak bisa dikendalikan Sang Kyai. Semenit kemudian ia berdiri dengan bertumpu pada tongkatnya.

Semua orang diam saat Sang Kyai, Sang Negarawan itu, melangkah perlahan. Beberapa orang yang mendekatinya untuk membantunya berjalan, ditolaknya halus perlahan. 

"Saya perlu udara segar, " gumamnya pelan. Sembari melangkah. Dalam hitungan belasan meter, menjelang pintu keluar, tepukan riuh itu terdengar lagi. Ia menoleh sejenak ke mimbar depan, memberikan anggukan kecil. Tepukan itu telah menghentikan kantuknya.

Tongkat kecilnya terdengar mengetuk -ngetuk ke semen teras gedung. Berirama. Tuk tuk tuk... Pintu utama baru saja dilaluinya. Dan tiba-tiba ia merasa lelah. Tiba-tiba ia ingin menangis. Rasa itu membuncah di dirinya.

Biru langit jelang sore masih menebar pesona. Desir angin di akhir Mei serasa menyelusup ke urat nadinya. Tapi rayuan langit dan belaian angin tidak mampu menepis bongkahan kesedihan yang mendadak muncul beberapa menit lalu.

Lamat-lamat ia menoleh ke atas, menatap ke langit biru sore. "Tuhan... Ampuni aku karena mereka sudah begitu memujaku. Ampuni dosaku..."

Dan sore itu, Sang Negarawan berdiri termangu mengalirkan air mata kelabu.


30 Mei 2020