Ruang bagi Perempuan dalam Pelatihan Pendampingan Program Perhutanan Sosial Paska Ijin

By Admin

Oleh: Kusdamayanti, Kepala Balai Diklat LHK Bogor

#Pengarusutamaan Gender dalam kegiatan bidang LHK

nusakini.com - Partisipasi masyarakat di semua kegiatan pembangunan bidang lingkungan hidup dan kehutanan sangatlah didorong dan terus ditingkatkan. Demikian pula dalam Program Perhutanan Sosial, partisipasi masyarakat menjadi faktor utama yang menentukan keberhasilannya. Tetapi…. Siapa yang disebut dengan masyarakat???? Kaum laki-laki atau kaum perempuan????

Sampai saat ini berbagai isu ketidak adilan gender masih acapkali muncul, begitu pula dalam pelaksanaan kegiatan bidang lingkungan hidup dan kehutanan. Menyadari hal tersebut Kementerian LHK menerbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.31/MENLHK/SETJEN/SET.1/5/2017 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Bidang Lingkungan Hidup Dan Kehutanan.

Pengarusutamaan Gender muncul sebagai strategi untuk menjawab kesenjangan akses, partisipasi, kontrol dan manfaat pembangunan antara perempuan dan laki-laki. Kesenjangan gender antara perempuan dan laki- laki merupakan akibat dari pembangunan yang netral gender dan bias gender. Hal ini terjadi lebih disebabkan pada suatu anggapan ketika berbicara tentang masyarakat, berarti sudah mencakup perempuan dan laki-laki. Disisi lain, persoalan yang dihadapi dan pengalaman perempuan dan laki-laki dalam pembangunan berbeda dan masing-masing memiliki kebutuhan spesifik sesuai dengan kepastiannya.

Pada perkembangannya, pelaksanaan PUG sudah tidak terbatas pada upaya untuk menghapuskan kesenjangan antara laki-laki dan perempuan, namun juga meningkatkan inklusi sosial kelompok marginal lainnya dan juga mengatasi kesenjangan akses, partisipasi, kontrol dan manfaat pembangunan bagi anak, lansia, penyandang disabilitas, masyarakat adat dan kelompok lainnya.

Program Perhutanan Sosial memberikan kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk terlibat dan memberikan kontribusi dalam setiap kegiatan dan tahapan pelaksanaannya. Bahkan dalam salah satu pasal Peraturan Menteri LHK Nomor 83 Tahun 2016 Tentang Perhutanan Sosial telah diamanatkan bahwa salah satu hak pemegang ijin Prehutanan Sosial adalah mendapatkan perlakuan yang adil atas dasar gender ataupun bentuk yang lain.

#Persentase peserta perempuan dalam pelatihan Pendampingan Program Perhutanan Sosial Paska Ijin (P3SPI)

Pelatihan Pendampingan Program Perhutanan Sosial Paska Ijin yang telah dilaksanakan oleh Ditjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan bekerjasama dengan Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM adalah salah satu bentuk pembinaan yang dilakukan oleh Kementerian LHK dalam rangka pengembangan kompetensi para pendamping dan petani pemegang ijin Perhutanan Sosial.   

Bagaimana partisipasi perempuan dalam pelatihan tersebut? Pertanyaan ini sangat menarik untuk dijawab. Sebanyak 3019 orang peserta yang terdiri dari petani dan pendamping telah mengikuti pelatihan yang dilaksanakan dalam 6 gelombang. Dari jumlah tersebut 2554 orang merupakan peserta laki-laki dan 465 orang peserta perempuan. Bila kita gambarkan, maka jumlah peserta perempuan sebanyak 15 % sebagaimana digambarkan dalam diagram lingkaran di bawah ini.

Dalam pelaksanaan pelatihan di 8 lembaga dilkat lingkup BP2SDM, selama ini terdapat konvensi untuk mendorong terpenuhinya kuota 30% bagi peserta perempuan. Berbagai upaya dilakukan untuk memenuhi harapan tersebut. Proses sosialisasai kepada instansi pengirim dilaksanakan dalam bentuk memberikan penjelasan dalam surat penawaran pelatihan. Dalam proses seleksi peserta, proporsi antara perempuan dan laki-laki juga menjadi pertimbangan penyelenggara pelatihan.  

Konsep Keadilan Gender yaitu perlakuan adil bagi perempuan dan laki-laki dalam keseluruhan proses kebijakan pembangunan nasional, yaitu dengan mempertimbangkan pengalaman, kebutuhan, kesulitan, hambatan sebagai perempuan dan sebagai laki-laki untuk mendapat akses dan manfaat dari usaha-usaha pembangunan, untuk ikut berpartisipasi dalam mengambil keputusan (seperti yang berkaitan dengan kebutuhan, aspirasi) serta dalam memperoleh penguasaan (kontrol) terhadap sumberdaya (seperti dalam mendapatkan/penguasaan keterampilan, informasi, pengetahuan, kredit, dll.) harus difahami oleh semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pelatihan

Pada pelaksanaan Pelatihan P3SPI ini penetapan peserta dilakukan oleh Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan di 5 wilayah. Tentu saja gender menjadi salah satu pertimbangan dalam menentukan siapa yang diusulkan untuk bisa mengikuti pelatihan dengan metode e-learning ini.

Persentase keikutsertaan peserta perempuan yang tertinggi ada di BDLHK Makassar yaitu 23,60%, diikuti BDLHK Samarinda sebesar 20,27%, Pusdiklat SDM LHK 19% dan Kupang 18,78%. Adapun keikutsertaan perempuan terendah di BDLHK Kadipaten sebesar 6.07% diikuti BDLHK Bogor 9,44%, Pematang Siantar 10,84% dan Pekanbaru 13,,05%. 

Dari data tersebut terlihat bahwa peserta perempuan dari wilayah Indonesia bagian timur lebih banyak yang menjadi peserta pelatihan dibandingkan dengan peserta dari wilayah Indonesia Bagian Barat. Hal ini tentu saja menarik untuk dicermati dan dipelajari lebih lanjut.

Pelatihan P3SPI diselenggarakan menggunakan metode elearning di mana peserta dapat memilih sendiri lokasi di tempat tinggalnya atau di dekat tempat tinggalnya dalam mengikuti proses pembelajaran. Bagi seorang perempuan yang memiliki tugas reproduksi berbeda dengan laki-laki, pelatihan dengan metode elearning sangat menguntungkan karena kaum perempuan tidak harus pergi selama lebih dari 4 hari untuk mengikuti pelatihan di Lembaga Diklat yang jauh dari tempat tinggalnya.

Kaum perempuan dapat tetap tinggal di rumah untuk mengikuti pelatihan sambal tetap menjalankan perannya dalam keluarga. Mereka dapat menyusui anaknya atau menjaga kesehatan kehamilannya, serta menjalankan peran domestik yang selama ini dilakukan di sela-sela waktu istirahat pelatihan. Dalam pelatihan yang telah dilaksanakan, terlihat seorang ibu menyiapkan bahan-bahan yang akan dimasak, beberapa peserta perempuan nampak mengikuti pembelajaran online sambil mendampingi anak balitanya bermain atau menyuapi mereka…sambal mengikuti pembelajaran. Online.

Pembelajaran mandiri dan tugas-tugas juga dapat dikerjakan dengan waktu yang fleksibel, sehingga peserta perempuan dapat mengatur sendiri kapan akan mengerjakannya. Mereka bisa menyelesaikan tugas rumahtangganya terlebih dahulu atau menunggu sampai anak-anaknya pergi tidur…baru kemudian belajar mandiri. Hal ini mungkin bisa membuat peserta perempuan merasa lebih nyaman mengikuti pelatihan karena tidak harus meninggalkan kewajibannya dalam rumah tangga. Hal ini menarik pula untuk dikaji dan ditanyakan langsung kepada para alumni pelatihan.

Dengan keuntungan-keuntungan yang mungkin dapat diperoleh para peserta perempuan…... seharusnya pelatihan dengan metode elearning dapat mendorong lebih banyak perempuan untuk mengikuti pelatihan, karena mereka tidak harus meninggalkan rumah dan keluarganya.

#Pelatihan yang mendorong peran aktif perempuan

Persentase perempuan dalam pelatihan P3SPI memang masih belum tinggi, sehingga perlu ditingkatkan untuk masa-masa yang akan datang. Namun apakah tingkat keikutsertaan perempuan dalam sebuah pelatihan yang tinggi sudah menunjukkan bahwa perempuan memberikan peran aktif dalam proses pembelajaran? Tidak ada keyakinan untuk hal tersebut.  

Bisa saja terjadi jumlah peserta perempuan terpenuhi minimal 30%, tetapi mereka hanya hadir tanpa keterlibatan aktif dalam proses pembelajaran. Oleh karenanya sangatlah penting bagi para tutor untuk memahami konsep pengarusutamaan gender sehingga dapat mendorong peserta perempuan yang telah hadir di ruang kelas virtual untuk benar-benar dapat aktif mengikuti proses pembelajaran dan mau menyampaikan pendapatnya serta berbagi pengalaman yang dimilikinya.

Tutor harus memberi kesempatan yang seimbang bagi peserta laki-laki dan perempuan dalam proses pembelajaran. Tutor harus mampu menjamin terlaksananya Kesetaraan Gender yaitu kesamaan status, kondisi dan posisi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan pendidikan, dan kesamaan dalam menikmati hasil yang dampaknya seimbang.

Dari proses pembelajaran di BDLHK Bogor yang penulis cermati dapat terlihat bahwa para tutor telah memiliki kesadaran gender yang cukup baik sehingga mampu memberi kesempatan belajar yang sama kepada para peserta. Kalimat-kalimat yang mendorong peserta perempuan untuk memberikan pendapat dan membagi pengalamannya sangat sering terucap dalam pembelajaran online melalui webinar.

“Itu tadi pendapat bapak-bapak, bagaimana dengan pendapat ibu-ibu? Apakah ibu-ibu punya pengalaman yang sama? Apakah yang dirasakan oleh anggota kelompok bapak-bapak sama dengan ibu-ibu? Saya ingin gantian memberikan kesempatan pertama bertanya kepada ibu-ibu dulu” adalah beberapa kalimat yang disampaikan oleh para tutor di dalam kelas virtual.

Tentu saja hal yang sama terjadi pula di ruang-ruang kelas virtual di 7 lembaga pelatihan yang lain. Para tutor perempuan dan laki-laki semuanya telah memiliki kesadaran gender yang cukup sehingga dapat mendorong peran aktif peserta perempuan yang seringkali masih merasa tidak percaya diri dibandingkan peserta laki-laki.

Perspektif perempuan dan pengalaman perempuan sangatlah penting dalam diskusi pendampingan program perhutanan sosial paska ijin, karena keterikatan perempuan dengan sumberdaya hutan sangatlah tinggi. Bahkan di beberapa komunitas di wilayah Indonesia kaum perempuan memiliki peran yang lebih tinggi dari kaum laki laki dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan. 

Ini sebuah contoh kecil. Ibu Sairah misalnya, seorang peserta dari Tanggamus di Angkatan VII BDLHK Bogor semula hanya diam saja ketika ditanya punya pengetahuan atau pengalaman apa yang dapat dibagikan sehingga dapat bermanfaat untuk anggota kelompok lain? Ibu Maisaroh widyaiswara BDLHK Bogor sebagai tutor mulai memancingnya dengan pertanyaan: apa hasil dari kegiatan perhutanan sosial di sana? Bu Sairah menjawab, “banyak pisang yang dihasilkan petani”. Dengan jawaban tersebut bu Maisaroh menyambung dengan peryataan, saya suka makan pisang sale…tapi saya tidak tahu cara membuatnya. Bila panen pisang berlebih, hasil pisangnya apakah dibuat sale atau dibuat apa?” Dengan kesadaran dari tutor bahwa peserta perempuan harus mau dan mampu berkontribusi dalam proses pembelajaran, maka akhirnya bu Sairah dapat didorong untuk menjelaskan tahapan pembuatan pisang sale dalam mata pelatihan MP7 Pengelolaan Pengetahuan. Dan kemudian akan mencoba menuliskannya agar pengetahuannya dalam membuat pisang sale sebagai bagian dari pengolahan pasca panen hasil kelompok perhutanan sosial tidak hilang dan bisa bermanfaat bagi orang lain. 

  #Perempuan harus hadir dalam makna, bukan dalam angka

Kondisi di mana perempuan atau laki-laki tidak dapat secara adil menerima akses, partisipasi, kontrol dan manfaat (APKM) dalam proses pembelajaran di sebuah pelatihan tidak boleh terjadi. Demikian pula dalam pelaksanaan program Perhutanan Sosial di lapangan. Hal yang seringkali disebut sebagai kesenjangan gender harus dengan sungguh-sungguh dihindari.  

Bila dilihat dari proporsi keikut sertaan perempuan dalam pelatihan P3SPI, nampaknya kita harus bekerja lebih keras untuk bisa memastikan proses pengarusutamaan gender melalui partisipasi perempuan dapat terlaksana. Namun yang lebih penting adalah kehadiran perempuan dalam pelatihan tak boleh sekedar angkanya yang tinggi…..tapi harus mampu memberi makna dalam proses pembelajaran. Sebuah pelatihan dengan pilihan metode pembelajaran yang tepat harus mampu memobilisasi pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki peserta perempuan agar dapat bermanfaat bagi pencapaian tujuan pelatihan dan pelaksanaan perhutanan sosial di tingkat tapak.