Pro Kontra Akuisisi Preefort, Ini Penjelasan Inalum

By Admin


nusakini.com - Jakarta - Setelah pembelian 51 persen saham PT Freeport Indonesia (FTPI) oleh Inalum, kini banyak berkembang opini bahwa pemerintah membayar sesuatu yang sebenarnya milik Indonesia juga. Hal tersebut disebabkan karena di tahun 2021 nanti kontrak karya Freeport habis dan otomatis akan menjadi milik Indonesia.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Komunikasi Korporat dan Hubungan Antar Lembaga PT Inalum (Persero), Rendi Witular mengatakan, langkah perseroan membeli saham PTFI tidak seperti membeli "barang sendiri."

"Sangat disayangkan beberapa pengamat tidak membaca data dan Kontrak Karya (KK) PTFI sebelumnya, namun berani membuat analisa bodong dan menyesatkan publik seolah-olah kita membeli tanah air kita sendiri," kata Rendi, Senin (24/12/2018).

Rendi menjelaskan, PTFI melakukan eksplorasi dan penambangan berdasarkan KK dengan pemerintah Indonesia yang ditandatangani pada 1967 di zaman Soeharto. Kontrak ini diperbarui pada 1991 sehingga masa operasinya diperpanjang hingga 2021.

Dalam KK yang baru, jelas Rendi, ada perbedaan penafsiran antara Freeport McMoRan dan pemerintah Indonesia soal pasal perpanjangan. Freeport merasa berhak mendapatkan perpanjangan masa operasi setelah berakhir pada 2021. Posisi pemerintah tidak akan menahan atau menunda menunda persetujuan tersebut secara "tidak wajar". Interpretasi yang berbeda terkait kata "tidak wajar" ini harus diselesaikan di pengadilan internasional (arbitrase).

Lanjut Rendi, jika jalan ini ditempuh, operasional PTFI akan dikurangi, bahkan tidak tertutup kemungkinan dihentikan.

"Ini akan berakibat pada runtuhnya terowongan bawah tanah sehingga biaya untuk memperbaikinya bisa lebih mahal dari harga divestasi. Tambang Grasberg adalah yang terumit di dunia," tutur Rendi.

Dampak kedua, kata Rendi, ekonomi Mimika akan terhenti karena sekitar 90 persen digerakkan oleh kegiatan PTFI. 

Selain itu, menurutnya tidak ada jaminan bahwa Indonesia menang di arbitrase yang biasanya memakan waktu bertahun-tahun.

"Dan jika kalah bisa pemerintah diwajibkan membayar ganti rugi jauh lebih besar dari harga divestasi," tegas Rendi.

Lebih lanjut Rendi menjelaskan, tidak ada pasal dalam KK yang mengatakan apabila kontrak berakhir, pemerintah bisa mendapatkan PTFI dan Tambang Grasberg secara gratis. Menurutnya KK berbeda dengan kontrak umum yang berlaku di sektor migas.

"KK PTFI tidak sama dengan kontrak yang berlaku di sektor minyak dan gas di mana jika kontrak berakhir langsung dimiliki oleh pemerintah," pungkasnya.

Sebagai informasi, 51 persen saham tersebut dibeli senilai 3,85 miliar dolar AS atau setara Rp55 triliun. Adapun kekayaan emas, perunggu dan perak sebesar Rp2,400 triliun hingga 2041. (sm/mk)