Perubahan Iklim Mengancam, Solusi Kementan Jaga Ketahanan Peternakan
By Admin
nusakini.com, Bogor – Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) bersama FAO-ECTAD Indonesia menggelar Lokakarya Strategi Scoping Adaptasi Perubahan Iklim untuk Subsektor Peternakan, Senin (16/12/2024), di Kota Bogor. Lokakarya ini merupakan bagian dari kerangka kerja Proyek Global Health Security Programme (GHSP) yang didukung Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID).
Lokakarya tersebut bertujuan menyusun strategi adaptasi perubahan iklim yang terukur untuk melindungi subsektor peternakan sekaligus menjamin keberlanjutan produksi. Kegiatan ini dihadiri perwakilan lintas kementerian/lembaga, para ahli, dan mitra terkait.
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Agung Suganda, menegaskan pentingnya strategi adaptasi perubahan iklim guna menghadapi tantangan yang semakin kompleks di subsektor peternakan.
"Perubahan iklim harus kita hadapi secara kolaboratif. Dengan strategi adaptasi yang tepat, subsektor peternakan akan lebih tangguh dalam menghadapi dampak perubahan iklim, sekaligus mampu memenuhi kebutuhan pangan hewani yang terus meningkat," ujar Agung.
Agung menambahkan, program adaptasi ini juga selaras dengan upaya mendukung target program Makan Bergizi Gratis (MBG). Untuk itu, program GHSP perlu diarahkan pada penguatan kesehatan hewan dan jaminan keamanan pangan produk peternakan.
Dalam lokakarya tersebut, Agung memaparkan upaya strategis Ditjen PKH dalam mendorong investasi peternakan sapi perah dan sapi pedaging. Hingga kini, 1,7 juta hektar lahan potensial telah diidentifikasi untuk lokasi pengembangan peternakan sapi terintegrasi.
"Kami telah mencatat 143 calon investor yang akan memasukan sapi perah sebanyak 1,2 juta ekor dan 70 calon investor yang akan memasukan sapi pedaging sebanyak 805 ribu ekor dalam kurun waktu 2025-2029," ungkap Agung.
Dua model investasi yang ditawarkan, yakni pembangunan peternakan sapi terintegrasi di lokasi baru dan kerja sama kemitraan dengan kelompok peternak, koperasi, maupun perusahaan peternakan yang telah ada di dalam negeri.
Namun, Agung juga menekankan bahwa keberhasilan investasi ini bergantung pada dukungan infrastruktur, termasuk akses jalan, listrik, sumber air, pelabuhan, dan komunikasi. "Aksesibilitas adalah kunci pengembangan peternakan di lokasi-lokasi baru," katanya.
Selain infrastruktur, pengembangan feed estate melalui konsep silvopastura dan bank pakan juga menjadi prioritas untuk memastikan ketersediaan pakan secara berkelanjutan. "Feed estate akan menjadi tulang punggung dalam memastikan ketersediaan pakan berkualitas," ujar Agung.
Agung menegaskan bahwa jajarannya telah menyiapkan rencana aksi beserta timeline yang akan menjadi acuan dalam memastikan realisasi investasi penambahan sapi perah dan sapi pedaging di Indonesia. “Rencana aksi ini akan memberikan kejelasan proses sekaligus menjamin pencapaian target yang telah ditetapkan,” pungkasnya.
Team Leader FAO ECTAD Indonesia, Dr. Luuk Schooman, menekankan komitmen FAO dalam mendukung penguatan sektor peternakan di Indonesia. Salah satu prioritasnya adalah memperkuat keberhasilan program MBG.
"FAO berkomitmen untuk terus mendukung upaya Indonesia dalam membangun subsektor peternakan yang tangguh, berkelanjutan, dan berkontribusi langsung terhadap kebutuhan pangan masyarakat," ujar Schooman.
Lokakarya ini diharapkan menghasilkan kebijakan adaptasi perubahan iklim yang aplikatif dan mempercepat pembangunan sektor peternakan yang berkelanjutan. Dengan kolaborasi yang kuat, subsektor peternakan Indonesia dapat terus berkembang sekaligus menjaga ketahanan pangan nasional di tengah tantangan perubahan iklim. (*)