Perlu Inovasi Baru untuk Pencegahan Stunting di Tengah Pandemi Covid-19

By Admin


nusakini.com - Jakarta,  Pemerintah Daerah dituntut untuk lebih kreatif dan inovatif dalam upaya menurunkan pravelensi stunting di tengah pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Untuk itu, pedoman dalam memberikan layanan kepada masyarakat sangat diperlukan terutama agar tetap mematuhi protokol kesehatan.


"Terkait hal ini, Pemerintah Pusat telah menyusun beberapa panduan yang bisa menjadi referensi dalam penyediaan layanan di lapangan," ujar Staf Khusus Wakil Presiden Bambang Widianto selaku Sekretaris Eksekutif (Ad Interim) Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) saat membuka Lokakarya Evaluasi Pelaksanaan Percepatan Pencegahan Stunting 2018 - 2024 di Hotel Grand Mercure Kemayoran, Jakarta Pusat, Selasa (24/11/2020). 


Lebih lanjut, Bambang mengungkapkan bahwa pandemi Covid-19 salah satunya telah berdampak pada turunnya jumlah kunjungan ke Posyandu. 


“Padahal, pencegahan stunting tidak bisa berhenti,” tegasnya.


Sebelumnya, Bambang memaparkan bahwa berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, anak balita Indonesia yang mengalami stunting adalah sebesar 30,8%. Ini artinya hampir 1 dari 3 anak Indonesia mengalami kekurangan gizi dalam jangka waktu yang lama, dimulai dari masa kandungan hingga usia 2 tahun atau 1000 Hari Pertama Kehidupan. 


"Jika dibiarkan, anak-anak yang menderita stunting akan mempunyai kemampuan kognitif yang lebih rendah, rentan terhadap penyakit tidak menular dan ketika dewasa mempunyai produktivitas yang rendah. Hal ini, dalam jangka panjang akan merugikan kita sebagai bangsa dan negara," paparnya.


Oleh sebab itu, Bambang menuturkan bahwa pemerintah pusat terus menggalakkan berbagai program percepatan pencegahan stunting dengan melibatkan pemerintah daerah. Hingga saat ini, menurutnya, terdapat 260 Kabupaten/Kota yang menjadi wilayah prioritas penanganan stunting, di mana dari 258 Kepala Daerah dari wilayah prioritas tersebut telah menandatangani komitmen untuk melakukan percepatan pencegahan stunting di wilayahnya. 


"Dengan komitmen yang kuat dari pemerintah daerah, pencegahan stunting dapat dijadikan sebagai prioritas pembangunan di daerah dan semua sumber daya yang diperlukan dapat dimobilisasi untuk pencegahan stunting," ungkapnya. 


Di samping itu, menurut Bambang, pendampingan pelaksanaan Program Percepatan Pencegahan Stunting kepada Pemerintah Daerah juga sudah dilakukan. Pendampingan ini fokus pada upaya untuk mendorong konvergensi di tingkat kabupaten/kota dan desa/kelurahan. 


"Proses dimulai dengan melakukan analisis situasi, pemetaan program dan kegiatan, penyusunan rencana kerja hingga monitoring dan evaluasinya," ungkapnya. 


Sedangkan di tingkat desa, kata Bambang, konvergensi percepatan pencegahan stunting juga terus didorong. Menurutnya, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendesa) telah menempatkan kegiatan terkait percepatan pencegahan stunting sebagai salah satu prioritas penggunaan Dana Desa. 


"Kemendesa telah merekrut Kader Pembangunan Manusia (KPM), sebgai kader yang membantu Pemerintah Desa melakukan konvergensi percepatan pencegahan stunting di desa. Saat ini sudah lebih dari 95% desa yang mempunyai Kader Pembangunan Manusia (KPM)," tuturnya.


Hasilnya, papar Bambang, berdasarkan perhitungan Indeks Khusus Penanganan Stunting (IKPS) oleh BPS dengan menggunakan 6 dimensi dan 12 Indikator yang terkait erat dengan stunting, menunjukkan bahwa ada kenaikan IKPS sebesar 2,1 dari tahun 2018 sebesar 64,5 menjadi 66,6 pada tahun 2019. 


"Perbaikan yang cukup siginifikan adalah pada dimensi gizi dan perumahan yang meliputi cakupan sanitasi dan air minum," ungkapnya. 


Sementara itu, dalam kesempatan yang sama, Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Subandi Sardjoko mengatakan bahwa diperlukan kerjasama lintas sektor dengan dukungan berbagai kementerian dan lembaga untuk mencapai target penurunan stunting di angka 14 persen pada 2024. 


“Permasalahan stunting di Indonesia terjadi hampir di seluruh wilayah dan kelompok sosial ekonomi. Potensi kerugian ekonomi mencapai 2-3 persen PDB atau Rp 260-390 triliun per tahun,” paparnya. 


Maka dari itu, pemerintah terus menekankan agar setiap proyek intervensi tidak sebatas hanya dikerjakan, tetapi harus dipastikan bahwa program itu telah berjalan sesuai rencana. Penajaman intervensi yang dimaksud meliputi jumlah target yang jelas, kualitas yang sesuai standar dan diterima seluruh sasaran, serta dikonsumsi sasaran sesuai ketentuan. 


“Jadi bantuan yang diberikan tidak hanya sekedar diterima, tetapi juga harus dikonsumsi (delivered), dan terpenuhi jumlahnya (responsible),” tegasnya. 


Saat ini, kata Subandi, pemerintah tengah menyiapkan rancangan Peraturan Presiden (Perpres) untuk menurunkan angka stunting yang mencakup konvergensi penanganan di tingkat pusat, provinsi, hingga desa. Perpres ini nantinya mengkoordinasikan berbagai sumber daya sehingga intervensi penurunan stunting benar-benar sampai ke masyarakat. 


Ia menambahkan, beberapa hal lain yang perlu didorong di antaranya sistem monitoring evaluasi anggaran agar tepat sasaran, pembangunan dashboard untuk mengamati capaian penurunan angka stunting di masing-masing daerah, serta komitmen serius dari kepala daerah, baik gubernur, bupati dan walikota.


“Tantangan yang kita hadapi saat ini tidaklah mudah, terlebih dalam situasi pandemi Covid-19 seperti sekarang ini. Butuh kolaborasi lintas sektor, mulai dari tingkat pusat hingga daerah, termasuk swasta dan NGO,” tandasnya. (RN-KIP)