Perancis Batalkan Pajak Progresif, Ekspor Industri CPO Bakal Naik

By Admin

nusakini.com--Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto meyakini kinerja ekspor industri minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dalam negeri akan meningkat setelah parlemen Perancis membatalkan pemberlakuan pajak progresif untuk CPO Indonesia. Selanjutnya, pemerintah Indonesia menindaklanjuti keputusan tersebut dengan sosialisasi dan diseminasi, khususnya tentang capaian positif produk sawit Indonesia. 

Demikian disampaikan Menperin usai bertemu dengan Duta Besar Indonesia untuk Perancis Hotmangaradja Pandjaitan di Kementerian Perindustrian, Jakarta. “Kami berharap melalui Bapak Duta Besar, karena beliau juga sangat peduli dengan persoalan sawit kita,agar ikut menyosialisasikan tentang sustainability palm oil yang saat ini sudah diterapkan Indonesia,”ujarnya di Jakarta.

Menurut Menperin, sosialisasi ini perlu dilakukan secara komprehensifdan koordinatif dengan seluruh stakeholders dengan strategi kampanye yang spesifik dan menyasar target yang tepat. 

Perlu diketahui, parlemen Perancis (Assemble Nationale) akhirnya memperkuat keputusan Senat untuk menghapus pajak progresif yang rencananya dikenakan pada minyak sawit dalam draft RUU Biodiversity Perancis. Keputusan penghapusan ini ditetapkan pada 20 Juli 2016 setelah melalui beberapa kali pembahasan intensif dan pemungutan suara di Senat dan Parlemen. 

Sebelumnya, pajak progresif dikenakan sebesar 300 euro per ton pada 2017, 500 euro per ton tahun 2018, 700 euro per ton tahun 2019 dan 900 euro per ton tahun 2020. Namun melalui negosiasi, pengenaan pajak progresif menjadi 30 euro per ton pada tahun 2017, 50 euro per ton tahun 2018, 70 euro per ton tahun 2019 dan 90 euro per ton tahun 2020. Akhirnya, pajak progresif ini dihapuskan. 

Setelah enam bulan penerapan Undang-Undang Biodiversity pada 1 Januari 2017, pemerintah Perancis akan menyusun kebijakan fiskal yang lebih sederhana dan harmonis. Kebijakan ini dibuat bersifat nondiskriminatif dengan mencakup seluruh jenis minyak nabati yang beredar di Perancis dan mengedepankan prinsip-prinsip berkelanjutan. 

Airlangga menyampaikan, Perancis merupakan negara yang sangat memperhatikan aspek ramah lingkungan pada produksi minyak sawit, termasuk untuk tidak memberikan kontribusi terhadap deforestasi dan perubahan iklim. “Untuk itu, kami melakukan sinkronisasi agar ekspor CPO kita dapat meningkat dan berjalan lancar ke Perancis,” tuturnya. 

Apalagi, lanjut Airlangga, pemerintah Indonesia tengah giat mendorong perluasan pasar ekspor produk industri agro ke negara-negara Uni Eropa. Untuk CPO dan turunannya, volume ekspor Indonesia ke dunia sekitar 21-22 juta ton, ke Uni Eropa sekitar 3,4-4 juta ton, sedangkan ke Perancis sekitar 50 ribu-150 ribu ton per tahun. Sementara itu, produksi CPO dan turunannya di Indonesia mencapai 32,5 juta ton pada tahun 2015 atau naik 3 persen dibandingkan total produksi tahun 2014 sebesar 31,5 juta ton. 

Di sisi lain, Indonesia dan Malaysia sebagai produsen CPO terbesar di dunia telah menginisiasi kerja sama di bidang ekonomi melalui pembentukan lembaga persatuan negara penghasil minyak kelapa sawit atau Council Palm Oil Producing Countries (CPOPC). 

Dirjen Industri Agro Kemenperin Panggah Susanto mengatakan, lembaga ini akan fokus membuat standardisasi operasional industri sawit mulai dari hulu sampai hilir. "Jadi, nanti kami membuat standar yang sama untuk seluruh produsen sawit baik standar di kebun maupun di industri pengolahannya. Kemudian juga terkait dengan pembinaan petani sawit, manajemen stok, dan pembangunan palm oil green economic zone (POGEZ)," tuturnya. 

Mengenai pembangunan POGEZ, lanjut Panggah, diharapkan produk industri hilir yang dihasilkan dari kawasan tersebut dapat memenuhi standard sustainability yang bersertifikat internasional sehingga menciptakan keuntungan berupa preferensi area pemasaran, premium selling price, hingga fasilitas atau kemudahan tertentu lainnya. 

Pada hari yang sama, Menperin mengatakan, pihaknya juga tengah meningkatkan kemandirian dan daya saing industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri dengan memperkuat struktur industrinya. Apalagi sektor TPT di Indonesia didukung secara terintegrasi dari hulu sampai hilir dan produknya telah diakui kualitasnya oleh dunia.

"Kami telah memetakan industri ini dari hulu hingga hilir, dimana ada yang berbasis kapas, rayon dan polyester. Nah, yang kami akan dorong kemandiriannya adalah yang berbasis rayon dan polyester, karena kalau kapas masih impor," ujarnya usai bertemu dengan Presiden Direktur PT Indo Bharat Rayon Mukul Agrawal beserta jajarannya di Kementerian Perindustrian, Jakarta,Rabu (9/11). 

Dalam pertemuan tersebut, Menperin sekaligus ingin mengetahui kondisi terkini secara keseluruhan dari laporan pelaku industri TPT nasional. “Salah satu tantangan dalam pengembangan industri ini memang pada harga gas yang mahal dan serbuan barang impor,” tuturnya. 

Dari segi kapasitas produksi, menurut Airlangga, industri TPT nasional mampu memenuhi kebutuhan sandang dalam negeri hingga 70 persen. “Untuk itu, tinggal diharmonisasi agar industri di tengahya dapat lebih kuat. Akan ada beberapa kebijakan agar tantangan tersebut dapat teratasi,” kata Airlangga. 

Dalam upaya pengembangan industri TPT nasional sebagai sektor prioritas, Kemenperin dan pemangku kepentingan bersinergi dalam menjalankan program dan kebijakan, antara lain dengan menjamin ketersediaan dan kemudahan perolehan bahan baku, menyiapkan SDM industri yang kompeten, meningkatkan iklim usaha yang kondusif, serta mengusulkan biaya energi yang lebih murah. 

Sebelumnya, Dirjen Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka (IKTA) Kemenperin Achmad Sigit Dwiwahjono mengaku optimistis, kinerja industri TPT akan gemilang seiring pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun ini yang berpotensi terus membaik dan diperkirakan mencapai 5,2-5,6 persen (year-on-year) atau lebih tinggi dari pertumbuhan pada tahun 2015 sebesar 4,79 persen. “Hal ini terutama didorong oleh akselerasi stimulus fiskal dan non fiskal melalui beberapa paket kebijakan ekonomi yang diterbitkan pemerintah,” ujarnya.(p/ab)