Penerbitan SBN 2021 Lebih Rendah Dari 2020, Begini Strategi Pembiayaan 2022

By Abdi Satria


nusakini.com-Jakarta-Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat penerbitan SBN tahun 2021 lebih rendah dibandingkan tahun 2020. Menurut Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan DJPPR, Riko Amir, strategi pengelolaan utang yang dilakukan pemerintah efektif mendorong penurunan yield.

“Ada dua episode, di mana episode pertama pada semester I di Januari sampai April dimana bond market sangat volatile, namun pemerintah dapat melakukan pemenuhan target lelang di Semester I dengan dukungan dari Bank Indonesia melalui adanya SKB (Surat Keputusan Bersama) I”, kata Riko pada konferensi pers, Senin, (13/12).

Sementara dari sisi realisasi utang tunai, sampai dengan 7 Desember 2021 telah mencapai Rp1.186,2 triliun atau 88,3% dari outlook. Sisa pengadaan utang tunai Rp157 triliun akan dipenuhi dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dengan dukungan SKB III.

“Sehingga sampai dengan akhir tahun 2021, realisasi utang akan berkurang secara signifikan, kira-kira di kisaran 300 triliun (rupiah) dari rencana awal”, ujarnya.

Lebih lanjut, Riko memaparkan bahwa Pemerintah menargetkan pembiayaan pada tahun 2022 sebesar Rp973,6 triliun yang dilakukan baik melalui penerbitan SBN, maupun pelaksanaan pinjaman. Dalam pembiayaan tersebut, dimungkinkan fleksibilitas antara penerbitan SBN dengan penarikan pinjaman, serta penggunaan SAL/SILPA.

“Jadi kalau dalam tahun berjalan, misalnya bulan Februari bulan Maret ataupun bulan Mei Juni, ada penerbitan SBN, ada pelaksanaan pinjaman, ini artinya bukan Pemerintah itu melakukannya secara sporadis, tapi tentu dalam satu kerangka rencana APBN satu tahun”, jelas Rico.

Di tengah tantangan pasar keuangan dan pembiayaan tahun 2022, Riko melihat peluang dan faktor pendukung pembiayaan, salah satunya adalah APBN yang semakin berkinerja baik ditunjang penerimaan yang tumbuh dan belanja yang optimal.

“Dengan hal-hal tersebut, maka kita melakukan pembiayaan utang dengan strategi dan mitigasi risiko yang sangat terukur, dimana tadi yang pertama adalah fleksibilitas pembiayaan, kemudian penyesuaian target dan timing lelang, optimalisasi penerbitan SBN Ritel, optimalisasi pembiayaan non-utang, melanjutkan koordinasi dengan BI dan otoritas terkait, dan tentunya seperti yang kita harapkan adanya potensi pengurangan pembiayaan”, ungkapnya.

Dalam kesempatan yang sama, Dirjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (Dirjen PPR), Luky Alfirman menambahkan bahwa prefunding atau penarikan utang lebih cepat dari pelaksanaan APBN 2022 masih dimungkinkan meski kemungkinannya kecil.

“Kami tidak menutup adanya pintu untuk melakukan prefunding, tapi dari segi probabilitas, itu kemungkinan sangat-sangat kecil karena tadi Insya Allah Alhamdulillah kinerja APBN kita realisasinya sangat baik sampai dengan di bulan November kemarin”, kata Dirjen PPR.(rls)